Tuesday, May 31, 2005

Bahaya atau Peluang? Konflik Masyarakat Desa Pergulaan versus PT London Sumatra Tbk

Catatan: Tulisan berikut ini telah diterbitkan dalam buku sumber karya Ichsan Malik, Boedhi Wijardjo, Noer Fauzi dan Antoinette Royo, berjudul “Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam”, diterbitkan oleh Yayasan Kemala, Jakarta, 2003. Saya berterimakasih kepada beberapa petani dari desa Pergulaan, Sumatra Utara; RACA Institute di Jakarta; dan Antoinette Royo yang telah memberikan banyak masukan.
============================================


Analisis kasus konflik tanah di sebuah desa di Sumatra Utara ini memusatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan: Siapa para pihak yang bertikai? Siapa pihak-pihak lain sekalipun tak langsung tampak? Apa sumber-sumber konflik itu? Sejauh mana para pihak memandang konflik yang dihadapi sebagai bahaya atau peluang, secara khusus dipusatkan pada para warga petani sendiri. Bagaimana relativitas dari bahaya dan atau peluang yang dihadapi? Di manakah kekuatan dan kelemahan darip para pihak yang terlibat? Peluang apakah yang diambil oleh para pihak? Pertanyaan-pertanyaan ini penting diketengahkan untuk menguji tingkat dari konflik tanah dan usaha-usaha penyelesaian yang sejauh ini telah dilakukan oleh para pihak berkonflik tersebut.


Akar Masalah dan Para Pihak dalam Konflik

Pihak-pihak yang bersengketa adalah masyarakat desa Pergulaan, kecamatan Sei Rampah, kabupaten Deli Serdang, kira-kira 80 kilometer ke arah tenggara dari kota Medan (arah ke kota Pakanbaru dari Medan), Sumatera Utara (Sumut), berselisih klaim pemilikan tanah seluas lebih dari 165,6 hektar dengan perusahaan perkebunan PT London Sumatera Tbk (seterusnya Lonsum). Sampai sekarang perusahaan ini telah menguasai sejumlah tanah mendekati 4.000 hektar tanah perkebunan, dengan status HGU dari pemerintah. Namun dalam perjalanan waktu tampaknya keluasan itu dirasa belum cukup sehingga tanah rakyat yang berada di ujung tenggara perkebunan juga dicaplok oleh perusahaan kelapa sawit itu.

Dengan berbagai cara intimidasi dan kekerasan sepanjang tahun 1974, lahan 165,6 hektar itu dihaki oleh Lonsum. Sejumlah 517 kepala keluarga digusur. Sejumlah 54 rumah permanen hunian warga dihancurkan. Ganti rugi dipaksakan. Tanah itu kemudian ditanami dengan kakao dan kelapa sawit seperti tanaman bisnis lain yang dikomoditikan oleh perusahaan tersebut. Sepanjang 1974 sampai setelah reformasi 1998 penduduk tak bisa apa-apa. Kalau ada upaya merebut kembali tanah itu, segala macam cara menghambat diancamkan kepada penduduk, mulai dari mempekaíikan sampai melakukan kekerasan terhadap penduduk. Salah satu korban yang tragis adalah almarhum Pak Kasiat yang dianiaya dengan setrum listrik. Ia cacat sampai meninggalnya 1999. Tak ada pemulihan apa pun untuknya.

Izin HGU perusahaan itu sendiri yang didapat dari pemerintah tahun 1968 sudah habis masa berlakunya 1998 dengan ketentuan luas 3.787 hektar. Tapi kemudian pemerintah pusat memperbaruinya dengan HGU No 2/1997, namun anehnya luasnya meningkat jadi 4069,84 hektar. Peningkatan jumlah areal ini adalah suatu bentuk legal pencaplokan tanah yang semakin membuat masyarakat Pergulaan menentangnya. Karenanya, persis juga ketika keterbukaan reformasi sedang berlangsung, warga desa Pergulaan mulai berupaya memperjuangkan entah bagaimana caranya pokoknya harus sampai bisa memiliki kembali harta milik tanah mereka itu. Mereka telah mendapatkan hak atas tanah itu jauh sebelum perusahaan perkebunan itu mendapat izin dari pemerintah daerah dan pusat tahun 1968 untuk membudayakan tanah perkebunan.

Di satu sisi, terlibat dalam konflik ini para pihak lain pada lapis berikutnya. Pada lapis lokal terdapat Badan Pertanahan Nasional tingkat kabupaten Deli Serdang, bupati Deli Serdang. Pada lapis provinsi terdapat gubernur Sumatera Utara yang sebenarnya memiliki wewenang penataan dan perbaikan ke depan demi kesejahteraan dan kedamaian masyarakat setempat. Para aparat keamanan setempat yang bisa berasal dari lapis-lapis struktural dari Polda Sumatera Utara sampai polsek Deli Serdang, atau komando rayon militer setempat. Dalam proses ini pihak militer tidak tampak aktif, kecuali "menyaksikan". Di lain pihak setelah analisis semakin menajam Badan Pertanahan Nasional pada tingkat pusatlah yang berperan besar, setidaknya dalam meloloskan perpanjangan HGU 1997 untuk Lonsum dalam keluasan yang melonjok tak sesuai dengan perjanjian awal.

Di lain sisi, terdapat pula para organisasi non-pemerintah yang berupaya mendorong proses transformasi konflik dengan berbagai kegiatan standar yang mereka lakukan, mulai dari advokasi kasus konflik tanah, pelatihan produksi pertanian, intervensi peningkatan kesadaran dan pengetahuan sosial politik para pihak berkonflik.


Profil ekonomi konflik

Berdasarkan perhitungan warga desa Pergulaan, dalam jangka waktu 29 tahun (1974-2000) saja, pendapatan serobotan dari tanah warga yang dilakukan oleh Lonsum setidaknya mencapai 97,5 milyar rupiah. Hitungan ini didasarkan pada perkiraan minimum bisnis industri pertanian kelapa sawit (saja): 1 hektar tanah idealnya terdiri dari 125 pokok pohon kepala sawit; klaim kepemilikan warga seluas 165,6 hektar; harga buah sawit per kilo Rp 500 (sampai tahun 2003); minimum dua kali pemetikan buah kelapa sawit per bulan; hitungan masa produktif selama 26 tahun. Belum lagi ditambah dengan nilai kepemilikan tanah yang dicaplok itu sendiri. Berdasarkan perkiraan ini dapatlah ditaksir bahwa per tahun Lonsum mengeruk pemasukan sebesar 92,16 milyar rupiah, dengan dasar keluasan seluruh lahan perusahaan tersebut sebesar 4069,84 hektar. Ini baru untuk bisnis industri kepala sawit saja. Kepemilikan tanah warga hanyalah empat persen dibandingkan dengan seluruh kekayaan perusahaan.

Lonsum sendiri mempekerjakan sekitar 1.628 orang buruk perkebunan, dengan pengandaian satu orang buruh tani idealnya mengurus seluas 2,5 hektar lahan industri kelapa sawit. Gaji buruh tani terendah sekitar Rp 480.000 per bulan sampai pertengahan 2003; tapi masih ditambah dengan jatah beras yang volumenya tergantung tanggungan jumlah anggota keluarga para buruh. Rata-rata kebutuhan per bulan untuk kehidupan para buruh mencapai Rp 650.000. Dengan pendapat semepet ini ancangan ancangan ke depan untuk pendidikan anak-anak dan generasi mudah tak lagi mungkin dipikirkan.

Dari warga desa Pergulaan hanya sekitar 100-an orang yang menjadi buruh Lonsum, sisanya umumnya berusaha dan bekerja dengan cara menyewa tanah dari kawasan tetangga desa Bah Sidua-dua, desa Sri Utama dan desa Sukasari. Tingkat pendapat mereka pun mepet sekali untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Sulit dibayangkan adanya kekuatan ekonomi yang dapat menjadi modal lebih kuat untuk menghadapi konflik tanah yang merundung warga desa itu.

Warga desa sendiri masih menghadapi tantangan yang besar mengingat tingkat pendidikan warga desa Pergulaan hanya pas-pasan. Kebanyakan lulusan sekolah menengah umum, tapi belum lagi diuji kemampuan dan kesiapan mereka menghadapi tantangan bekerja secara produktif.

Jika tak ada peluang apa pun yang lain, pendapatan pokok mereka hanyalah dari jadi buruh tani harian lepas pada perusahaan perkebunan itu. Yang sungguh kesulitan menemukan pekerjaan di sekitar desa umumnya lalu memutuskan untuk merantau.

Perlu dicatat pula bahwa dampak lingkungan yang pasti terjadi adalah bahwa kelapa sawit menguruskan tanah. Memang dampak ini belum terukur secara ilmiah, namun pengalaman di berbagai daerah telah memberikan hikmah pada para petani. Lebih dari itu pabrik minyak kelapa sawit dalam wilayah perusahaan meracuni udara lingkungan sekitar Lonsum. Penduduk langsung terimbas dampaknya.


Perjuangan (Fisik) untuk Merebut Tanah Itu

Masyarakat Pergulaan pada dasarnya menginginkan tanah mereka dikembalikan. Sekalipun tanpa ada bantuan siapa pun, mereka tetap berusaha memperolehnya. Misalnya dengan melakukan aksi begitu saja menanam ubi dan pisang. Melihat aksi reklaiming ini tentu saja perusahaan perkebunan itu tidak terima. Pendudukan harus dihentikan. Intimidasi (harus) dilakukan, dengan mengundang dan membayar polisi. Ratusan brigade mobil polisi dikerahkan. Pemuda Pancasila dan Pamswakarsa disewa ototnya untuk mengancam warga desa dan kalau perlu memukuli warga yang berkeras kepala. Semua ini tentu saja "ongkos" untuk Lonsum.

Aksi reklaiming dan pengusiran berlangsung beberapa kali. Tercatat sampai akhir 2000 aksi reklaiming dan pengusiran sudah terjadi lima kali. Namun, kegagalan demi kegagalan meyakinkan warga ada di pihak yang lemah. Dalam hal ini tampak jelas keadaan kekuatan yang tak seimbang antara para pihak yang langsung terlibat dalam konflik. Upaya "pendudukan" kembali sering hendak dilakukan lagi, tapi melihat gelagat pam swakarsa mau datang, penduduk menghindari kemungkinan bentrok. Warga Pergulaan tak merasakan ada hasilnya. Upaya penguatan dan pemberdayaan dari berbagai segi masih sangat dibutuhkan oleh warga Pergulaan sendiri.


Negosiasi

Sejak Lonsum menyadari semakin meningkatnya klaim sengketa tanah dari pihak warga Pergulaan, beberapa pemuka warga menjadi kepentingan perusahaan pertanian itu untuk "diajak berbicara". Namun, tampaknya negosiasi itu palsu, sebab itikad Lonsum untuk berdialog tampak semu. Lonsum masih berniat untuk membujuk warga agar menerima suap. Empat orang pemuka warga secara diam-diam lewat selembar surat ketika sedang berdialog disodori kemungkinan menerima uang sebesar 200 juta rupiah untuk masing-masing. Para pemuka warga itu menepis tawaran ini.

Negosiasi yang akhirnya bermuara di forum dengar pendapat di DPRD Sumatera Utara, 5 September 2000, tak berbuntut apa-apa kecuali mulut terbungkam dari direktur utama Lonsum. DPRD Sumut sudah tegas menyatakan dukungan agar "masalah lahan antara Lonsum dan masyarakat hendaknya dikembali ke posisi semula" [buletin Hanura 2/2003:35]. Fasilitasi negosiasi yang didesakkan pada DPRD kiranya masih berada dalam posisi minimal. Desakan dan proses resolusi konflik belum mendapatkan perhatian dan pemikiran yang lebih mendasar.


Bahaya dan Peluang?

Di satu pihak, bahaya yang paling dikhawatirkan lagi oleh warga desa Pergulaan adalah kemungkinan bentrok dan kekerasan yang memang --tidak hanya "dirasakan"-- sangat aktual. Potensi konflik sementara ini kiranya dapat dikatakan "tidak laten" karena relatif dapat dilakukan kontrol dengan adanya organisasi warga setempat, tapi juga bukan tidak mungkin tiba-tiba muncul jadi "terbuka". Kondisi di antara "laten" dan "terbuka" ini (mencuat, emerging) secara silang-silih jadi merepotkan para pengurus warga dalam proses perjuangan yang dilakukan. Kekerasan menimbulkan ketakutan. Ketakutan berdampak mengerutnya semangat perjuangan merebut tanah itu. Ironi terasa kuat ketika disadari bahwa tanah itu sebetulnya adalah tanah "kami" sendiri. Masyarakat takut merebut tanahnya sendiri ..

Di lain pihak, ancaman internal kiranya juga bukan sedikit. Agak tak mudah dibayangkan potensi konflik internal yang mungkin muncul ke permukaan pada tataran praktik di lapangan dan kehidupan sehari-hari di lingkungan desa dan perkebunan itu. Sebanyak 100-an warga desa menjadi buruh atau pekerja pada Lonsum. Anggota keluarga dari seorang warga yang berjuang mendapatkan kembali tanahnya tak sedikit yang bekerja pada Lonsum. Komunikasi bocor yang tak dikehendaki dapat terjadi. Hal-hal yang selayaknya jadi rahasia di antara pegiat perjuangan mendapatkan tanah ómisalnya jika aksi reklaiming hendak atau sedang dilakukanó dapat bocor ke pihak Lonsum. Pemuka warga dapat diintimidasi, jika misalnya anaknya diancam Lonsum agar orangtuanya tak usah berjuang merebut tanahnya. Atau, sang anak dipindahkan ke wilayah pekerjaan yang lebih jauh sehingga beban kerjanya lebih banyak.


Peluang dan Kekuatan

Sekarang ini, ketika perjuangan yang sudah lama dilakukan belum menghasilkan yang diharapkan, tampaknya terasa tak ada kekuatan dan peluang nyata yang ada di tangan warga desa Pergulaan. Tapi, apa yang memotivasi sehingga toh mereka tetap mau memperjuangkan tanah milik mereka yang faktual ada di tangan Lonsum? Ada beberapa argumen mendasar yang kiranya perlu disebutkan di sini.

Pertama, kekuatan terletak pada dimensi moral yang mendasar, yaitu bahwa tanah itu (pernah jadi) adalah milik warga, tapi diserobot dengan paksa oleh Lonsum. Kekuatan terletak pada argumen kepemilikan yang kuat ini tidak hanya didasarkan pada kejernihan nurani tentang kebenaran dan didukung oleh rasa keadilan dan hak hukum yang sah dari masyarakat warga desa Pergulaan itu sendiri, tapi juga oleh bukti-bukti pembayaran pajak atas garapan tanah yang sekian lama telah selalu dilunasi oleh warga desa. Memang, bukti ini bukan berupa "sertifikat", tapi surat pajak telah membuktikan fakta hak sejarah yang sifatnya primer sebagai bentuk pengakuan publik dan terbuka. Lebih dari itu, hak garap dan keberadaan warga desa tersebut didukung oleh dokumen pencatatan pada asisten wedana Sei Rampah (sekarang kecamatan) dalam bentuk kartu pemakai tanah yang dilindungi oleh UU Darurat No 8/1955.

Kedua, fakta bahwa warga desa Pergulaan telah puluhan tahun tinggal dan menggarap lahan yang sekarang mereka tuntut adalah kekuatan hukum dasariah yang dibenarkan oleh keyakinan akan hak untuk hidup dan bekerja mendapatkan nafkah. Hak untuk hidup tak seimbang jika dibandingkan dengan pengutamaan atau penyalahgunaan "hak guna usaha" yang melindungi (melulu) bisnis sebuah perusahaan perkebunan.

Ketiga, pemerintah dan mereka yang berkuasa atas dasar suara rakyat sendiri sesungguhnya wajib dan bertanggungjawab untuk menjamin kehidupan masyarakatnya.

Keempat, dukungan dari sekian banyak pihak baik dari jawatan-jawatan pemerintahan setempat maupun berbagai kalangan publik yang lain seperti jaringan perjuangan para petani.

Kelima, keyakinan dan potensi pertumbuhan keyakinan itu sendiri untuk jadi semakin kuat bahwa hukum dan kebenaran berada di pihak warga desa adalah kekuatan objektif yang diharapkan mampu mengubah keseimbangan kekuatan dalam konflik.

Keenam, adanya tak sedikit peluang, kemungkinan, alternatif pemecahan terhadap konflik ini sendiri juga merupakan kekuatan moral yang disadari oleh para warga desa.

Namun, sejak menyadari terus-menerus ditimpa kegagalan dalam usaha mempertahankan hak mereka itu, meskipun warga desa Pergulaan sudah berusaha beberapa kali melakukan aksi reklaiming, kekuatan internallah yang kini mereka yakini harus dipastikan proses penguatannya. Dalam hal ini mereka sangat sadar akan bahaya reklaiming karena akan langsung dibalas dengan kekerasan dari aparat negara yaitu Brimob. Konflik terbuka itu memberikan pelajaran bahwa pengalaman bersengketa dengan perusahaan itu sendiri menumbuhkan hasrat untuk lebih bersikap hati-hati, cermat dan seksama dalam menanggapi konflik yang masih terus mengancam. Bentrok-bentrok awal yang terjadi memberikan pelajaran bahwa kekerasan dibalas dengan kekerasan tak akan menyelesaikan masalah. Keputusan untuk menghindari bentrok sejak September 2000 menimbulkan gagasan untuk menyilih pengelolaan konflik ini dengan cara menempuh jalan meluruskan politik hukum maupun jalan penguatan masyarakat terlebih dahulu. Sementara ini, warga Pergulaan mengaku jalan hukum di pengadilan kiranya tak dirasakan keperluannya. Namun, jika alternatif ini tidaklah tertutup, sebab jalan litigasi juga diyakini mampu menguji dan menguak tingkat konsistensi logika hukum secara publik.

Penguatan organisasi warga desa dimulai dengan membangun kerjasama dan aliansi dengan para pegiat advokasi kasus pertanian. Yayasan Bitra Indonesia ó Medan yang kemudian didirikan 1985 adalah rekan pertama yang dikenal warga lewat informasi terbuka dalam masyarakat. Kontak kerja dengan Lembaga Bantuan Hukum Medan membuka peluang untuk membangun jaringan dengan sesama organisasi para petani di Sumatera Utara. Intervensi yang dilakukan oleh kedua organisasi ini mendorong para warga untuk memahami persoalan menjadi lebih jelas dan jernih, sementara potensi kekerasan yang dapat menimbulkan korban dapat dicegah dan diperhalus tingkat ekspresinya. Potensi konflik disalurkan dan diubah menjadi kekuatan positif untuk menyusun kekuatan dari pihak para warga Pergulaan. Diharapkan dalam prospek perjalanan ke depan konstelasi kekuatan menjadi lebih berimbang sehingga dapat menjamin keputusan yang akan diambil jika tiba saatnya reklaiming dilakukan lagi.

Bangunan awal dari kekuatan sudah mulai tampak. Di satu sisi, Badan Perjuangan Petani Sumatera Utara (BPPSU) adalah rantai yang mengaitkan para petani berkasus dan mengambil jalan kerja advokasi kasus tanah. Sementara itu di sisi lain kerja sama dengan organisasi tani yang menekankan teknik pertanian pun diperlukan, yaitu Forum Petani Sumatera Utara (FPSU). Pada tingkat yang lebih luas (regional), kedua sisi hidup petani yang serba susah ini dijaring oleh minat Rapid Agrarian Conflict Appraisal (RACA) Institute di Jakarta yang merintis ruang politik kaum petani Indonesia dengan mulai membangun kelompok kerja para petani. Targetnya tentu akan mencapai seluruh petani di Indonesia.

Di tingkat desa Pergulaan sendiri dibangun organ bernama Badan Perjuangan Masyarakat Pergulaan (BPMP). Yang paling nyata jadi kekuatan organ ini adalah hadirnya kekuatan 50 orang warga menjadi "Tim 50" yang tugas utamanya adalah inti konstituen warga tani desa itu karena di tangan merekalah ketulusan dan militansi dapat diharapkan. Masing-masing anggota tim menjaring kepastian dukungan dari 10 orang warga desa tersebut. Tugas jaringan yang paling menonjol adalah membangun solidaritas dan menangkis segala kemungkinan jalur informasi bocor. Counter-intelligence melawan musuh adalah jaringan dasar yang menjamin kekuatan paguyuban warga desa Pergulaan. "Menggunting musuh" adalah kewajiban moral yang imperatif dilakukan jika saatnya tiba.

Di samping kekuatan kelompok kerja warga desa, kepala desa sendiri menjadi pemuka organisasi perjuangan dalam upaya merebut kembali tanah itu. Kekuatan "institusional" ini tentu mempermudah jalinan solidaritas di antara warga desa.


Kekuatan atau Bahaya?

Dalam perkembangan proses perjuangan yang dilakukan, terutama setelah strategi mengurus "politik hukum" ditekuni, tampaknya kekuatan yang dirasakan oleh warga desa Pergulaan adalah bahwa hampir semua pejabat pemerintah lokal secara terbuka menyatakan dukungannya. Pernyataan itu terungkap dari pihak bupati Deli Serdang, pihak kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional, pihak gubernur Sumatera Utara, dan juga para wakil rakyat di DPRD Sumatera Utara. Kekuatan verbal secara tertulis pun sudah dinyatakan secara terbuka bahwa hak atas tanah 165,6 hektar itu ada di tangah warga masyarakat Pergulaan. Tapi kelanjutan pernyataan mereka tak kurang mengimplikasikan ancaman, jika bukan "bahaya". Para pejabat daerah itu mengakui hak tanah warga Pergulaan, tapi juga menyatakan mereka tak mampu mengambil keputusan .. Keputusan ada di tangan pemerintah pusat, dalam hal ini BPN Pusat di Jakarta, yang telah mengeluarkan perpanjangan HGU tahun 1997. Apakah warga Pergulaan hendak menunggu 30 tahun lagi sampai 2027 untuk ditipu lagi dan menanti 30 tahun berikutnya? Konflik struktural ini menampakkan kerumitan dan kemungkinan untuk setiap kali memperlemahkan kembali kekuatan dari bawah.

Apakah ini artinya? Warga Pergulaan diingatkan dengan segala jenis kolusi dan korupsi yang juga sudah biasa terjadi hampir di semua lini kehidupan publik di Indonesia. Bukankah masyarakat lokal, siapa pun mereka yang selayaknya mengurus kehidupan sosial dalam kebersamaan menuju kesejahteraan bersama? Sogok dari Lonsum sedang berbicara? Siapa lagi yang kemungkinan mendapatkan uang untuk inaction dan cukup "mengakui" saja? Apakah ini yang disebut dengan "pengakuan kosong"? Para pejabat daerah hanya dapat memberikan "rekomendasi" dan "bukan aksi". Tampaknya belum dapat diharapkan adanya "keberanian politik moral" yang lebih jauh dari mereka.

Kabar burung memberitakan bahwa para pejabat itu takut nanti akan digugat oleh Lonsum.. Ongkosnya buat mereka bisa tidak sedikit .. Konflik ini terasa begitu nyata bagi banyak pihak. Bagaimana mungkin BPN Pusat enak saja mengeluarkan perpanjangan HGU untuk Lonsum tahun 1997, sekalipun pejabat setarafnya di departemen dalam negeri sudah memperingatkan jauh-jauh sebelumnya tahun 1978: "... apabila perkebunan masih menginginkan tanah tersebut akan diusulkan pemberian hak guna usahanya jika telah ada penyelesaian terlebih dahulu dengan pihak penggarap yang dibuktikan dengan keterangan dari bupati (setempat) tentang telah diselesaikannya masalah tanah garapan tersebut." [buletin Hanura 2/2003:37] Sampai akhir Juni 2003 pihak BPN Pusat masih mengulur konflik dengan dalih melakukan kompromi óyang bisa jadi berbentuk korupsi dan kolusió dengan pihak perusahaan perkebunan itu.

Keputusan tindak lanjut tetap ada di tangan warga desa Pergulaan sendiri. Mereka akan memutuskan apa yang hendak dilakukan, seandainya pengakuan tertulis itu pun nanti akhirnya bisa keluar dari BPN Pusat sebagai kementerian agraria.


"Kesabaran"

Sangat ironis jika "kesabaran" tergolong sebagai kekuatan masyarakat Pergulaan. Tapi tampaknya inilah pilihan aktual warga desa itu. Sejak aksi reklaiming kelima September 2000 yang gagal, warga memutuskan untuk memulai jalan menggarap "politik hukum" pemerintah dan para kroninya. Sementara ini dukungan yang sangat minim tapi resmi dari para pejabat daerah dapat menjadi modal mendesak pemerintah pusat. Pengakuan pihak pemerintah pusat adalah sasaran utama warga desa pada saat yang genting ini. Maka desakan di bawah dalam bentuk aksi reklaiming tak dilakukan terlebih dahulu, sementara kekuatan dipusatkan pada desakan ke pusat masalah. Disadari bersama bahwa reklaiming pada saat genting dan penantian ini dapat menimbulkan hal-hal yang konter-produktif. Isu nasional yang sedang condong menggunakan argumen "anti-terorisme" juga tak dirasakan mendukung pembangunan momentum warga desa.

Suatu fakta non-case yang cukup mencolok yang patut jadi catatan pinggir adalah perbedaan sikap aparat keamanan polisi di Sumatera Utara terhadap warga desa Pergulaan dibandingkan dengan terhadap warga Porsea yang sedang kembali menghadapi kembalinya si perusak lingkungan PT Inti Indorayon Utama atau PT Toba Pulp Lestari. Pada kasus Indorayon aparat mengriminalkan warga Porsea, sedang pada kasus Pergulaan tak satu warga pun dikriminalkan, meskipun aksi bentrok sudah menelan mobil dan sepeda motor polisi.

Namun, pada saat yang sama penguatan warga terus dijalankan. Program menggalang dukungan dan solidaritas lewat iuran seribu rupiah sebulan sudah berjalan baik dalam organisasi warga desa yang berjuang, meskipun tentu bukan berarti apa-apa tapi sekaligus sangat bermakna bagi pertumbuhan dan perkembangan kesadaran bersama di antara para warga.***

"Negosiasi ala Ketanbanci" dalam Konflik Tanah antara Warga Desa Ciseru, Cilacap versus PT Indo Java Rubber Planting Company

Catatan: Analisis kasus berikut ini telah diterbitkan dalam buku sumber karya Ichsan Malik, Boedhi Wijardjo, Noer Fauzi dan Antoinette Royo, berjudul “Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam”, diterbitkan oleh Yayasan Kemala, Jakarta, 2003, h500-06. Saya berterimakasih kepada Adhi Prasetyo, sebagai advokat masyarakat dari RACA Institute di Jakarta; dan Antoinette Royo yang telah memberikan banyak masukan.
===============================================



PENTINGNYA pengawalan dari para pendamping, pegiat, organisers, dan para lawyers yang terbuka untuk dimensi perjuangan non-peradilan, terutama pada saat terjadi perundingan-perundingan, adalah pelajaran yang penting yang dapat ditarik dari kasus konflik tanah yang terjadi antara warga masyarakat desa Ciseru, kecamatan Cipari, kabupaten Cilacap, Jawa Tengah melawan perkebunan yang lebih dikenal dengan nama desa itu sendiri tapi berada di bawah manajemen PT Indo Java Rubber Planting Company ókasus laten ini jadi terbuka setidaknya sejak 1998.

Analisis kasus ini membahas secara khusus tentang proses menyeimbangkan kekuatan rakyat dan membuka jalan-jalan non-peradilan yang dapat membantu menyelesaikan konflik. Kiranya menjadi revelan di sini jika kita simak lebih jauh lagi proses penguatan yang terjadi pada kasus ini dan secara khusus menyoroti kasus proses "negosiasi" yang berlangsung. Negosiasi atau perundingan antara petani dan para pihak lain sempat terjadi dalam kasus konflik tanah warga Ciseru. Ini prestasi tersendiri yang patut ditarik pelajaran.


Tawaran Negosiasi yang Tak Sempat Ditanggapi Sepenuhnya

Cilacap, Jawa Tengah. Sekitar pertengahan 2000. Setelah rentetan kejadian yang cukup keras melanda warga desa Ciseru yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan karet itu, pemerintah kabupaten Cilacap, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, Kanwil BPN Jawa Tengah, BPN Cilacap, akhirnya mau melakukan "negosiasi secara serius" dengan warga "Ketanbanci". Sebutan ini, kependekan dari "Kelompok Tani Korban Ciseru Cipari", dipakai oleh warga desa tersebut untuk menyintalkan identitas perjuangan gerakan penyelesaian konflik tanah. Di satu sisi, pasca pemenjaraan beberapa warga petani dari desa yang memperjuangkan hak tanah itu, Desember 1999, kampanye kasus konflik tanah itu di tingkat nasional memang membawa dampak positif. Namun, di sisi lain, proses pengurusan kasus tindak pidana oleh polisi dan aparat hukum lainnya tetap terus berjalan sehingga menguras tenaga para pegiat bantuan hukum dan para organisernya. Jumlah pengacara publik yang tersedia dan diakui dalam sistem yurisdiski setempat juga tak memadai, meskipun dana relatif masih tersedia.

Dalam keadaan susah payah semacam itu, tawaran dan proses negosiasi akhirnya tak sempat diurus dengan baik. Namun, barangkali juga diakibatkan oleh bias institusi lembaga bantuan hukum. Akibatnya, pengawalan tak bisa dilakukan secara optimal baik oleh warga petani Ketanbanci sendiri, Serikat Tani Merdeka (SeTAM) maupun divisi tanah dan lingkungan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. LBH Yogyakarta waktu itu sangat disibukkan dengan proses litigasi atas 36 anggota Ketanbanci yang dituduh melakukan aksi perusakan truk Brimob Polwil Purwokerto dan Polres Cilacap. Kasus pidana itu sendiri dipecah menjadi lima kasus sehingga jadi beban yang lebih merepotkan para pegiat bantuan hukum.

Ada satu skenario pembusukan terhadap gerakan warga desa Ciseru dan para pendukungnya tetap berlangsung. Seorang pemuka para wakil rakyat setempat yang berpengaruh dan sesungguhnya juga disegani oleh warga kabupaten melakukan "pendekatan" terhadap keluarga-keluarga yang dikriminalkan dan warga-warga lain dari desa itu agar tidak lagi bergabung dengan SeTAM dan memutuskan hubungan dengan LBH Yogyakarta. Namun, upaya penggembosan organisasi tani tersebut tidak menyurutkan langkah perjuangan. Pengurus organisasi tani yang masih tersisa bersama dengan SeTAM dan LBH Yogyakarta melakukan kampanye kasus di tingkat nasional dengan mendatangi BPN, Komnas HAM dan lembaga jaringan gerakan lainnya untuk ikut mendapatkan dukungan dan melakukan berbagai tekanan dalam bentuk apa saja yang mungkin.

Pada skenario lain muncul pengacara umum lokal di tingkat kabupaten yang disewa oleh perusahaan perkebunan PT Indo Java Rubber Planting Company giat memanfaatkan situasi tak menguntungkan bagi para petani Ketanbanci itu. Pengacara tersebut ótentunya didasarkan afirmasi sikap perusahaan sendirió menawarkan "kue kecil" yang dipandang akan menenteramkan situasi secara umum, yaitu tanah seluas 11 hektar yang hendak diserahkan secara "formal" kepada warga desa Ciseru. Semua isu kasus Ketanbanci total bergeser hanya ke "kue kecil" itu. Perhatian warga Ciseru yang sudah klenger karena pemenjaraan para tokoh petaninya, juga tak bisa lepas dari "kue kecil" ini. Ini hebatnya manuver para "tokoh" lokal itu. Pemuka wakil rakyat berpengaruh sendiri juga mendukungnya. Dalam pertemuan-pertemuan dengan para pihak dan juga ketika berkunjung ke keluarga para petani yang dipenjarakan ia berucap: "Perjuangan menuntut hak atas tanah tidak harus dilakukan dengan kekerasan."

Kondisi sudah menjurus pada satu arah yang memihak pemuka masyarakat setempat. Dengan membawa "kue kecil" itu, mereka mendekati tiga orang tetua di sekitar desa Ciseru: pertama, "Bapak" Abdullah (yang kuat posisinya sebagai pemimpin budaya dan agama tapi dalam pandangan dunia yang kelabu)1; kedua, "Bapak" Suksdino (seorang mantan kepala desa dari desa yang bertetangga dengan desa Ciseru); dan ketiga, "Bapak" Ahmad Sulaya (seorang aktivis partai politik setempat). Suatu kekuatan bikinan baru dalam rejim setempat mendorong munculnya tiga orang tokoh itu yang kemudian menamakan diri mereka sebagai "jembatan" antara pemerintah, DPRD dan perkebunan. Inilah skenario "negosiasi" yang selayaknya patut dijadikan titik tolak bagi warga desa untuk melanjutkan tawar-menawar. Sayangnya, tawaran itu tak sempat lagi ditanggapi sepenuhnya, sementara tenaga para pendamping sudah habis. Akibatnya negosiasi terasa sudah ditentukan hasilnya: tanah seluas 11 hektar. Lumayan memang, tapi tak sebanding dengan investasi perjuangan yang telah dipasokkan ke kasus Ciseru selama itu.

Kondisi Ketanbanci yang baru saja mengalami tindak pemidanaan dan trauma pemenjaraan tidak mampu merespons dengan baik sehingga tiga orang tokoh lokal "jembatan" itu membelokkan proses "negosiasi", yang dibuat "seolah-olah petani melakukan gugatan terhadap perkebunan dan tercapai perdamaian." Perundingan dan tarik ulur ini sendiri berjalan cukup alot. Di tengah-tengah keadaan setengah sadar, para warga Ciseru dan para pendukungnya masih mencoba mengajukan prasyarat minim, yaitu pertama, perundingan tak boleh dihadiri oleh aparat militer (babinsa atau kodim setempat) karena kasus ini bukan urusan mereka; kedua, posisi duduk para warga Ciseru dalam perundingan harus berdekatan dengan pintu untuk memastikan praktisnya kemungkinan mengambil sikap untuk menggantungkan buntu selisih sikap dengan "walk-out".

Dalam proses perundingan itu hampir seluruh analisis masalah kasus bergeser. Proses itu memaksa warga Ciseru tak berbicara lain kecuali menerima tiga caucus perundingan. Pertama, menambah kehadiran orang-orang yang mengklaim hak atas tanah sengketa; jumlah 287 kepala keluarga yang mengklaim ditambah menjadi 451 nama, berarti ada 164 nama baru, yang ternyata alamat-alamat pribadinya kebanyakan berada jauh di luar kawasan desa Ciseru sendiri (Jakarta, Kebumen, Semarang, dll), óyang buntutnya setiap orang hanya memperoleh 243,9 meter persegi saja, jauh dari tuntutan semula seluas 1.393,7 meter persegi; kedua, menyingkirkan beberapa nama penting yang saat itu sedang menjalani proses pemenjaraan (Sudiran, Sardju, dan puluhan orang lainnya) ópara motor gerak rakyat; ketiga, pembentukan tim verifikasi pemilikan hak atas tanah itu yang (harus) dianggotai oleh BPN Cilacap, polisi setempat, pengurus Ketanbanci, ketiga tokoh "jembatan", camat Cipari dan masih dipaksakan hadirnya babinsa.

"Tokoh jembatan (seolah-olah juga) melakukan kompromi" dengan pengacara perkebunan dan mengatasnamakan petani menyatakan bersedia untuk mengakhiri sengketa dan pihak perkebunan menyerahkan tanah HGU-nya seluas 11 hektar. Perdamaian tersebut ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Cilacap melalui Putusan Perkara Perdata No 42/PDT.G/2000/PN.Clp, 14 November 2000, dengan rumusan warga Ciseru "tidak akan mengganggu gugat lagi, baik langsung maupun tak langsung, semua tanah HGU perkebunan."

Setelah "negosiasi" tersebut usai hanya dalam dua kali pertemuan pembukaan dan penutupan, perjuangan dilanjutkan dengan proses pelepasan HGU dan pengukuran tanah sampai dengan proses sertifikasi. Walaupun telah memperoleh tanah seluas 11 hektar, beberapa tokoh Ketanbanci masih menganggap perjuangan belum berakhir.

Sebelum mengalihkan strategi, masih ada pelajaran yang perlu ditarik, untuk fakta proses "negosiasi" itu sendiri: Jika semua sumber kekuatan dapat dipersiapkan dengan baik, sebuah tawaran dari pihak yang kuat selayaknya diterima sebagai suatu bentuk titik awal dari sikap terbuka untuk berkomunikasi dan melakukan negosiasi. Sekalipun tawaran itu bisa jadi dirasakan mencurigakan karena belum terkuak semua ruang lingkupnya, namun jika dilanjutkan dengan terus menawar (misalnya meningkatkan jumlah luasan hektar tanah yang ditawarkan), titik awal itu menjadi peluang yang dapat membuka komunikasi selanjutnya. Apalagi tawaran itu sudah diberi kerangka sementara dalam bentuk suatu "negosiasi" oleh pihak lain. Namun, ada prasyaratnya, jika suatu proses negosiasi secara serius hendak dilakukan, semua persiapan termasuk waktu, perhatian dan tenaga negosiator, lawyers dan tim kerja yang siap menanggapi hendaknya sungguh-sungguh tersedia dan diupayakan.

Sekarang keadaan konflik tanah dan kondisi para petani memang sudah seperti harus mulai dari "dasar" lagi. Kasus negosiasi Ketanbanci yang tak sempat ditawar dan ditanggapi lebih serius itu kini mendorong banyak pihak di sekitar kawasan kabupaten Cilacap memperhatikan banyaknya warga petani yang mengalami kasus konflik tanah yang sejenis. Hasil dan pelajaran dari perjuangan warga desa Ciseru dilirik oleh banyak warga petani yang lain, meskipun sementara itu hasil "negosiasi" tersebut terasa bukan apa-apa, karena tak sebanding dengan apa yang (semula) dituntut petani. Warga Ciseru sendiri bermaksud melanjutkan perjuangan memperoleh kembali sisa hak tanah yang masih berada di bawah perusahaan perkebunan dengan cara membuka peluang-peluang baru. Sementara itu disadari pula bahwa terlalu memusatkan pada konflik tanah sendiri akan menutup kemungkinan perluasan perspektif kepemilikan tanah yang berkorelasi dengan cakupan sosial politik yang lebih luas dan lebih memungkinkan dibukanya prospek positif penguatan masyarakat tani.

Inilah saatnya membuka koalisi dengan para warga petani lain di sekitar kabupaten Cilacap untuk perlahan-lahan membangun kekuatan yang akan lebih menghasilkan tombak perjuangan yang lebih tajam dengan hasil capaian yang lebih memadai. Sejak tiga tahun terakhir telah tergabung aliansi petani dalam lima kelompok: (1) kelompok Singa Tangi [Indonesia: "singa bangkit"] dari desa Mekarsari, kecamatan Cipari; kelompok ini menuntut lahan tanaman basah dan kering seluas 150 hektar [atas nama 366 orang petani] terhadap tanah yang dikuasai oleh PT Rumpun Sari Antan [RSA], sebuah perusahaan perkebunan kakao; (2) kelompok Mangkubumi, dari desa Karangreja, kecamatan Cipari; kelompok ini mengupayakan advokasi terhadap kasus tukar guling tanah seluas 34 hektar dari 106 orang petani yang juga dikuasai oleh PT RSA; (3) kelompok Cinta Tani, dari desa Wanareja, kecamatan Cipari; petani di desa ini menghadapi sengketa tanah yang dikuasai oleh PT Perkebunan Negara setempat seluas 85 hektar, terdiri dari 284 orang petani; (4) kelompok Tri Manunggalsari; organisasi tani setempat yang terdiri dari warga kecamatan Cipari dan beberapa warga desa lain, di antaranya desa Penyerang, kecamatan Sidareja; desa Cidadap dan desa Citayem dari kecamatan Karang Pucung; dan desa Bantar Panjang, kecamatan Cimangu; (5) kelompok Mukti Sari, dari kecamatan Gandrungmangu; petani di desa ini menghadapi sengketa tanah seluas 34 hektar dengan Perhutani setempat.2 Pada umumnya kelompok-kelompok tani berkasus ini sedang menjalani proses pendataan kepemilikan dan mendesakkan pengakuan kepada pihak-pihak instansi pemerintah setempat.


Sorot Balik: Proses Penyeimbangan Kekuatan pada Tahap Awal

Warga masyarakat membuka tanah (trukah) pada masa penjajahan Belanda dan hasil trukah tersebut ditengarai sebagai tanah kemenangan rakyat. Semua pihak tampaknya mengingat trukah ini sebagai titik sejarah awal kepemilikan atas sebidang tanah, yang kini tak sepenuhnya berada di tangan warga itu. Tanah tersebut mulai digarap secara intensif oleh petani sejak tahun 1942 dengan luas kurang lebih 45 hektar. Tanggal 4 Maret 1955 tanah garapan petani tersebut memperoleh tanda hak yang disebut sebagai "kartu kuning".

Namun tahun 1966 tanda hak tersebut dirampas oleh aparat tanpa alasan yang jelas. Kondisi politik gonjang-ganjing paska tuduhan pemberontakan G30S/PKI tampaknya menutup semua jenis pertanyaan yang muncul dalam pikiran rakyat. Paska perampasan tanda hak sebagian petani masih menggarap tanah tersebut tapi diharuskan melakukan bagi hasil dengan perkebunan: 40 persen untuk perkebunan dan 60 persen untuk penggarap. Yang lebih parah lagi, mulailah 1973 terjadi penggusuran secara besar-besaran oleh pihak perkebunan dengan dibantu oleh aparat keamanan.

Perjuangan untuk pengembalian hak atas tanah yang telah dirampas telah dimulai tahun 1984 dengan masih mengandalkan keberanian dari beberapa tokoh masyarakat. Selama masa sulit di bawah rejim Soeharto, hanya seorang petani bersemangat bernama Sudiran yang menjadi penggerak utama dari keseluruhan 280 kepala keluarga petani yang mengklaim balik kepemilikan tanah seluas lebih dari 45 hektar.

Aksi menuntut hak dengan cara reklaiming memang telah sekali dilakukan selama rejim otoriter Soeharto masih berkuasa. Tahun 1985 tanah seluas 12 hektar dengan 227 pemilik telah dikuasai kembali oleh petani. Sertifikat baru keluar 1988.3 Pengalaman tahun 1985 ini menjadi ancangan untuk perjuangan tahap berikutnya, kendati situasi sosial politik masih tetap represif. Satu-satunya ruang terbuka hanyalah bentuk formal melayangkan surat desakan tanpa kekuatan melakukan tekanan apa pun. Tapi semua warga sangat sadar bahwa tanah itulah milik mereka. Para tetua warga mengisahkan riwayat keringat dan banting tulang yang mereka lakukan untuk membudayakan tanah milik itu.

Waktu itu penuntutan petani hanya dilakukan dengan mendatangi instansi terkait, yaitu BPN, departemen dalam negeri, Pemda provinsi Jawa Tengah dan Pemda kabupaten Cilacap. Pengajuan tuntutan pada waktu itu sifatnya masih insidental sehingga dirasakan tidak memberikan hasil yang memuaskan. Belum ada strategi yang lebih terpadu, sementara situasi politik memang represif. Namun, dengan keterbukaan paska pergeseran rejim Mei 1998, gerakan perjuangan pengembalian hak dirasakan oleh petani perlu mendapatkan dukungan dari pihak-pihak lain.

Dukungan diperoleh ketika petani mengadukan permasalahannya kepada LBH Yogyakarta, 21 Juni 1998. Itu pun dengan jalan memutar karena ketaktahuan mereka mengenai persoalan yurisdiksi sistem peradilan dan lembaga bantuan hukum di Indonesia. Semula mereka menghubungi LBH Bandung, lalu LBH Semarang, dan akhirnya perpaduan dengan divisi tanah dan lingkungan dari LBH Yogyakarta membuahkan proses belajar yang dapat ditarik di sini.


"Ketanbanci": Trademark Pengorganisasian Petani

Julukan "Ketanbanci" muncul dalam suatu pertemuan awal untuk memperjelas identitas perjuangan menuntut balik tanah hak milik itu. Pengorganisasian dimulai dengan membentuk kelompok kerja ini yang difasilitasi oleh LBH Yogyakarta pada tanggal 21 Oktober 1998. Semula hanya 19 orang warga desa Ciseru yang terlibat, ójumlah yang tak banyak jika dibandingkan dengan kehendak dan cita-cita perjuangan mendapatkan kembali tanah, tapi dari praktik organisasi tampak sedikitnya jumlah tidak menyurutkan langkah untuk berjuang menuntut keadilan dan pengembalian hak dengan terus melakukan komunikasi dan koordinasi.

Dalam perjalanan yang singkat selama 15 bulan antara Oktober 1998 sampai awal Desember 1999, anggota Ketanbanci semakin bertambah. Momentum reformasi membuka peluang mengorganisir rakyat. Kekuatan massa di bawah sudah mencapai 10.000-an jiwa penggugat kepemilikan, baik langsung maupun tak langsung. Bersamaan dengan itu, pertengahan 1999 fasilitasi dari LBH Yogyakarta mendorong berdirinya Serikat Tani Merdeka, sebuah organisasi yang memayungi seluruh perjuangan petani berkasus di Jawa Tengah bagian selatan.


Reklaiming: Sebuah Pilihan Moral

Sementara itu, dukungan ribuan warga desa Ciseru sendiri sudah ada di tangan, karena kondisi pematangan yang tampak sudah lama dilakukan, sampai ke bentuk potensi aksi lapangan, meskipun masih harus selalu dicek lagi oleh para pendamping. Rapat-rapat yang lebih representatif perlu didesakkan agar rencana aksi dapat sungguh jadi terkontrol. Alat komunikasi kampung loud speakers yang biasa dipakai untuk acara perkawinan atau di masjid-masjid disewa untuk mengoordinasikan rapat-rapat bersama menuju proses mengambil keputusan.

Kombinasi pengurus yang cukup ideal kiranya memperkuat pemusatan tombak perjuangan. Sudiran adalah tipe pribadi keras dengan pilihan-pilihan aksi lapangan, Priyono berkepribadian "penuh perhitungan", sementara Sardju adalah seorang "administrator yang baik". Tarik ulur pilihan politik berjalan alot. Jalur formal mendesak instansi-instansi pemerintah, sementara ini, telah dilalui. Masih juga ada yang luput dari potensi aktualisasi kekuatan. Aksi penyeimbangan kekuatan apa lagi yang diperlukan? Pilihan publik tokoh Sudiran rupanya sudah lama mendapatkan momentumnya: tindak nyata memiliki kembali tanah itu harus dilakukan! Reklaiming itulah pilihan yang diperdebatkan dalam rapat-rapat mengambil keputusan. Tapi, mana yang hendak dipilih dalam tindak reklaiming? Menanam dulu dengan berbagai tanaman tumpang sari di antara pepohonan karet, meracun pohon-pohon karet, atau aksi cepat: tebang semua, besok dibersihkan dan lusa bisa ditanam? Masing-masing tindak ini memiliki bobot politik lokal yang berbeda. Pada pilihan yang paling kontroversial, dampaknya dapat jadi tak terduga.

Sementara itu perlu diingat pula, masih tetap adanya selisih pendapat di antara para pegiat petani sendiri tentang pilihan tindak reklaiming. Organisasi intervensi dengan bobot legal di bidang hukum membawa bias tak akan menyetujui aksi yang menjurus pada isyu moral politik yang memiliki implikasi hukum pidana. Sementara konsep perjuangan non-pengadilan belum lagi berkembang. Pilihan-pilihan di luar hukum formal masih sepi dari tanggapan masyarakat, sekaligus tak dapat dibicarakan secara antisipatif-konkrit, kecuali praktik lapangan sendiri yang akan menentukan arah ke mana hendak melangkah. Apakah arti kata "siap" dari para petani sendiri jika pilihan mereka adalah aksi reklaiming dengan total menebang pohon-pohon karet yang sementara itu didukung oleh rejim koersif yang masih efektif? Apakah harus dicegah?


Reklaiming dan Pemidanaan

Tapi, tanggal 7 Desember 1999 menentukan. Bulan puasa. Dilakukan pematokan atas tanah sengketa, kemudian dilanjutkan dengan aksi reklaiming dengan melakukan penebangan semua pohon karet yang ada di tanah sengketa.

Sudah diduga atau pun sengaja tak mau menduga karena pilihan sudah dirasakan matang: aksi reklaiming itu bukan tanpa perlawanan dari aparat keamanan. Aparat keamanan menyikapinya dengan mengirimkan dua truk pasukan Brimob. Hari pertama polisi mobil itu (masih) diam saja. Hari kedua, setelah sahur semua siap sedia sampai dengan lima chainsaws dan parang, warga terus menuju ke lahan hak milik mereka tapi diklaim dengan hukum formal perkebunan milik perusahaan atau lahan sengketa. Pembabatan dilanjutkan. Aparat keamanan meminta petani untuk menghentikan aksi rekaliming tapi para petani tak menghiraukan. Polisi rupanya kesal dan nekad menembak-nembakkan senapan. Memang tak ada korban sampai tewas, tapi sebutir peluru panas melukai pangkal paha kanan seorang kiai tokoh masyarakat warga itu. Seorang kiai tokoh masyarakat tertembak? Ini massa kritis! Bunyi titir ketongan bertalu. Ledakan kemarahan petani tidak dapat dikendalikan. Bentrokan fisik antara petani dengan aparat keamanan terjadi dan dua truk Brimob dibakar oleh massa. Akibatnya, ratusan warga diseret dan diangkut ke Polres Cilacap.

Hari ketiga, aksi reklaiming mereda tapi konsolidasi warga sangat mendesak dilakukan. Para pegiat ikut serta memperantarai sebagai pendukung hak milik petani. Keadaan dapat dikendalikan, sementara polisi mobil tetap berjaga. Begitu pegiat bantuan hukum pergi untuk mengurus kasus penangkapan, saat itulah polisi mobil merangsek warga desa, mengobrak-abrik perumahan warga dan menangkap tokoh petani Sudiran. Para pegiat merasa kecolongan tapi toh kesadaran utuh masih terbatas. Proses belajar warga dan para pendampingnya terus berjalan. Total 36 warga termasuk semua pengurus inti Ketanbanci harus meringkuk dalam penjara, kecuali Priyono.

Ketanbanci mengalami banyak kendala paska "kriminalisasi". Kelompok inti pejuang petani sendiri kocar-kacir. Konsolidasi kelompok tani korban ini tak bisa diteruskan lagi. Para istri mereka menangis mengibakan hati. Bagaimana nasib suami saya di tahanan? Mereka belum biasa menghadapi kejadian semacam ini. Tenaga para pegiat bantuan hukum habis untuk mengurus proses legal pidana. Proses-proses non-pengadilan jadi terbengkalai, tak terperhatikan. Depresi di antara para petani semakin terasa. Para tetua warga Ciseru yang semula diam tak mempertanyakan, kini mulai bimbang pada tindak pemenjaraan warga desa. Pemenjaraan berdampak pada timbulnya rasa rendah diri. Kadangkala, terasa akut dan mengecutkan hati. Di sinilah para pegiat bantuan hukum ditantang untuk berperan menguatkan mental dan semangat petani. Banyak macam cara dapat dilakukan. Intinya adalah bahwa hukum yang berkeadilan harus tetap ditegakkan.

Dampaknya sangat terasa, karena kegiatan non-pengadilan sendiri praktis tetap berhenti, padahal kegiatan itu semestinya lebih ditekankan. Lowong kemasyarakatan dari upaya penegakan keadilan sejati di ruang publik artinya adalah peluang bagi rejim lokal baru untuk memulai menggencarkan proses pembusukan terhadap Ketanbanci. Isyu agama yang sifatnya sensitif pernah dilancarkan. Ketanbanci diisyukan telah mengorbankan suatu umat beragama hanya karena ketua organisasi tani berlainan agama. Dampaknya memang terasa berat, bagaikan dicubit tapi dengan catut membara yang baru saja dipanaskan dalam api. Setelah mengambil tindakan "memotong sebelah tangan sendiri", penyelesaian masalah ini hanya dapat disilih dengan mengedepankan payung organisasi SeTAM, tapi sekaligus juga dengan penampilan yang low-profile.

Gema publik dari kasus Ketanbanci ini sendiri terasa cukup heboh dalam masyarakat di kabupaten Cilacap dan Jawa Tengah. Belum pernah ada kejadian di mana rakyat, yang selama ini tertindas di bawah rejim otoriter, (berani) membakar truk aparat keamanan negara, aparat negara óartinya melawan negara juga secara langsung. Memang, dalam kesadaran para petani yang melakukan reklaiming, negara itu tidak ada. Ketua DPRD Cilacap sangat menyadari pilihan moral politik para petani yang telah lama memendam persoalan hak milik tanah mereka. Ketika berkunjung ke penjara, ia mendukung para tertuduh aksi pembakaran truk dan penghasutan masyarakat dengan pesan moral sekedar menghibur: "Orang-orang ini (warga Ciseru) jangan diapa-apakan ya .." Peran pegiat bantuan hukum sendiri tetap dihormati baik di penjara dan di pengadilan. Inilah potensi kekuatan yang masih ada di tangan para pejuang keadilan.***