Monday, February 28, 2005

Agama, Adat dan Tantangan Masyarakat Madani

MASYARAKAT madani adalah salah satu benteng yang perlu terus dibangun untuk menegakkan pembangunan negara dalam menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan hidup bersama dalam masyakarat. Sampai dewasa ini perjuangan menuju masyarakat madani yang kuat belum lagi tuntas dan masih banyak ketimpangan serta kekurangan di berbagai lini kehidupan. Dalam membangun masyarakat madani yang kuat inilah agama dan adat budaya masyarakat tetap memiliki peranan kritis yang menentukan untuk ketahanan kehidupan masyarakat.

Apalagi sekarang ketika demokrasi kelembagaan dicoba terus dikembangkan dengan dominasi politik partai dan politik massa terbuka. Demokrasi membuka partisipasi, tapi juga dapat disalahgunakan untuk mendorong kepentingan kelompok secara tertutup. Dalam dimensi yang sejajar, demikian pula agama dan nilai-nilai etno-budaya, kecuali memberi makna pada penghayatan religius dan suku secara pribadi atau kelompok, dapat bermanfaat untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat, namun juga dapat digunakan secara negatif untuk terlalu menekankan kepentingan sempit.

Di satu sini, keadaan ini membuat kita sadar bahwa penataan organisasi-organisasi masyarakat menjadi sangat penting. Namun masalahnya sekarang, ketika peran negara melemah, situasi penataan ormas-ormas belumlah optimal. Tentunya kita tak dapat membandingkannya dengan keadaan semasa kekuasaan Orde Baru yang jelas tak ideal. Mengharapkan peranan negara secara aktif pun sebenarnya sekarang sudah tak mungkin lagi, meskipun tentunya kita tak boleh putus meminta pertanggungjawaban dan aksi-positif dari pemerintah-negara.

Di sini lain, ketika keseimbangan sosial politik berbalik arah, ketika seharusnya kita tak lagi total menggantungkan diri pada negara, kemudian kita jadi terperanjat, karena ternyata masyarakat madani kita tak sekuat seperti dibayangkan ketika masyarakat mendesakkan perlunya reformasi politik. Sementara perubahan politik-ekonomi sudah tak dapat dicegah lagi ketika globalisasi dan politik ekonomi internasional terus mendesak bahkan ke dalam lingkup internal masyarakat, termasuk komunitas-komunitas agama dan adat kita.

Masyarakat kita sekarang ini dituntut bekerja lebih keras lagi daripada sekedar secara internal membangun kelompok-kelompok yang paling dapat memenuhi kepentingan-kepentingan masyarakat secara langsung, seperti partai politik, komunitas keagamaan, masyarakat adat, komunitas bisnis, serikat pekerja, dlsb. Keadaan kelompok, paguyuban dan ormas-ormas itu pada umumnya sekarang masih terpisah-pisah. Masing-masing condong sibuk dengan pemenuhan kepentingan internal. Waktu terserap habis untuk mengurusi kepentingan dapur masing-masing lembaga, lebih daripada berorientasi keluar. Sementara itu, kesulitan ekonomi dan sumberdaya manusia menandai ciri perencanaan strategis dari masing-masing lembaga tersebut.

Dalam keadaan yang masih serba compang-camping itu, apa yang sebenarnya dituntut ketika tantangan keterbukaan ini masih belum kita genggam kuat-kuat dalam tangan? Pertama, mendorong lebih banyak lagi upaya mengorganisasi-kan masyarakat, tapi sekaligus dengan memperkuat dimensi mengaitkan kepentingan internal dengan kepentingan publik di sekitar secara positif dan terbuka. Kedua, membentuk dan menjalin hubungan antarlembaga itu dalam kaitan-kaitan kepentingan yang konkret dan interdependen satu sama lain, malah sejauh mungkin secara kolektif, setidaknya untuk tujuan jangka pendek terlebih dahulu, yaitu memperkuat ketahanan masyarakat madani dari kemungkinan tindak bertujuan pintas, apalagi jika digunakan aksi provokasi.

Kedua hal ini tampaknya sudah kedengaran seperti suatu anjuran yang kuno dan terkesan tak nzamani lagi, ketika politik massa merupakan bagian tak terpisahkan dari demokrasi itu sendiri. Memang inilah salah satu sisi berat dari suatu hal positif yang tiap kali itu juga kita rasakan “kurang menarik” dan “itu-itu juga”, “tak markettable”. Tapi masalahnya adalah harga yang harus dibayar sangatlah tinggi jika terjadi hal-hal yang secara endogen merugikan komunitas-komunitas kita sendiri. Semua ini barulah sekedar “pagar”, atau “pembatas” paling minimal, yang sebenarnya juga belum kita capai secara optimal.
Pengertian masyarakat madani sendiri pun tidaklah cukup hanya condong dimaknai dalam pengertiannya yang “kontroversial”, ketika kita mengartikannya dalam perspektif eksternalnya sebagai penanding kekuatan militer. Namun, saat yang sama tentu saja makna ini tak selayaknya kita abaikan dan kita singkirkan. Justru sebaliknya tetap semestinya menjadi dasar utama. Kita tak bisa melupakan bahwa gerakan anti-militer telah mendorong dan tampaknya masih tetap akan terus memotivasi bangkitnya masyarakat madani.

Namun, lebih serius lagi daripada hal itu, tantangannya sekarang adalah memperkaya makna tersebut dengan dimensi memperkuat kelompok-kelompok madani itu sendiri, termasuk di dalamnya adalah komunitas-komunitas adat dan agama. Masyarakat madani selayaknya mampu membuktikan bahwa mereka tak kalah daripada militer. Jika masyarakat madani sendiri amburadul, perimbangan kekuatan politik segera akan berubah. Belum lagi jika diingat bahwa transformasi dan perpecahan kepentingan dalam tubuh lembaga militer/polisi sudah terbukti menimbulkan perpecahan pula di antara masyarakat sipil, dengan berbagai dalih, salah satunya adalah agama, seperti kasus kekerasan kolektif di Maluku.

Di Indonesia telah terjadi berbagai macam konflik berikut kekerasan yang mengorbankan ribuan nyawa manusia. Mulai dari kekerasan keagamaan, etnik, perjuangan keadilan, persaingan pasar, separatisme, dll. Tapi, dari semua itu agama dan adat sebagai dasar memobilisasi massa dalam persaingan kepentingan politik condong menjadi sarana pengembang mobilisasi politik yang efektif dan efisien. Dalam gabungan kepentingan etnik dan keagamaan, kekerasan yang ditimbulkan bisa sangat berbahaya, terutama karena ciri kekerasan yang ditimbulkan bisa berlangsung paling lama (durability) dan berakibat sangat serius (dalam pengertian jumlah yang tewas dan harta benda yang dirusakkan).

Keterlibatan masyarakat kini juga harus dimaknai dengan mengisi interaksi optimal di antara anggota masyarakat madani itu sendiri. Ada dua hal yang rekomendatif perlu dilakukan. Pertama, membuka diri dan memasuki serta menggunakan perspektif dari agama dan adat budaya lain dari segi dalam, dan kedua, membuka diri untuk memahami kepentingan publik, secara bersama-sama di antara berbagai kelompok dari berbagai latar belakang.

Namun, jaringan minimal ini tidaklah cukup, karena gelombang provokasi berlatar kepentingan masih mampu merusakkan jaringan masyarakat madani yang primitif ini. Berdasarkan pengamatan dan studi mendalam di kota-kota India, di mana kerusuhan berlatar belakang agama tak kalah menyeruak, peranan masyarakat madani dengan ideologi Mahatma Gandhi yang tak tergoyahkan itu pun mengalami pasang surut. Indira Gandhi yang lebih mengutamakan pemerintah nasional bertentangan dengan para pemimpin partai di tingkat lokal. Tapi pelajaran dari praktik ajaran Gandhi sekaligus juga sangat menegaskan bahwa peranan jalinan lembaga-lembaga sipil, sejauh bersikap kritis terhadap kekuasaan, dan konsisten lebih berat memusatkan perhatian pada transformasi sosial di kalangan masyarakat, sangatlah mampu menahan gelombang kerusuhan dan provokasi politik dari kelompok-kelompok kepentingan (Varsney 2002). Pelajaran dari India menegaskan pentingnya dua jenis keterlibatan madani di mana kelompok-kelompok agama menjadi titik putar yang krusial.
Pertama, keterlibatan silaturahmi. Dalam konteks membangun masyarakat, hubungan antarkelompok agama dan budaya dalam konteks sehari-hari dalam masyarakat menjadi sangat penting. Contohnya adalah kunjungan rutin antarwarga dan antarkeluarga yang saling berbeda iman, sejauh mana orang rela makan bersama dengan orang atau kelompok lain, menghadiri perayaan-perayaan, sejauh mana merelakan anak-anak boleh bermain bersama di antara kelompok masyarakat yang berbeda, dst. Pada tingkat ini, kejadian-kejadian penyerangan dan penutupan gereja atau masjid pada tingkat maksimum kabupaten dapat kiranya dicegah. Budaya silaturahmi didasarkan pada sikap tak ingkar janji dan sikap sopan santun secara aktif merupakan kunci utama, yang tampaknya sudah banyak berkarat dalam berbagai kalangan masyarakat kita.

Kedua, keterlibatan asosiasional. Dinamika masyarakat madani haruslah diisi dengan jalinan dan kerjasama yang semakin menguat serta meluas dalam berbagai bidang seperti bisnis mulai dari yang bermodal rendah sampai tinggi, organisasi-organisasi profesi, kelompok-kelompok studi, klub baca, organisasi penyelenggara perayaan publik, kelompok olahraga, serikat buruh, partai politik kader, dlsb. Keterlibatan asosiasional ini menjamin keterlibatan keseharian itu berubah menjadi ketahanan sosial yang ampuh dan bertahan jika harus menghadapi hempasan rangkaian kerusuhan massal yang menghebohkan, seperti peristiwa-peristiwa Situbondo 1996, Tasikmalaya 1996, kerusuhan Mei 1998, dan seluruh badai kekerasan sosial pasca pergeseran rejim sampai menjelang 2001, dlsb.

Keterlibatan yang terakhir ini secara konstitutif merupakan prasyarat mutlak bagi dinamika dasar masyarakat madani yang kuat, karena perasaan keagamaan, etnik, kelompok (dan semua ciri askriptif yang lain) itu sendiri memiliki kodrat yang mendua, yaitu bahwa nilai keagamaan dan nilai budaya lokal etnik, misalnya, dapat mendukung tujuan hidup mulia tapi sekaligus dapat digunakan untuk kepentingan yang mematikan. Kebebasan beragama dan kebebasan berasosiasi pun dapat menjadi kedok.

Ciri-ciri askriptif ini menjadikan kelompok-kelompok masyarakat condong secara internal lebih kuat mengobjekkan kelompok lain secara negatif. Dari berbagai pengalaman tampak jelas bahwa kemungkinan negatif ini sungguh lebih besar daripada setidaknya memandang kelompok lain dari sudut pandang kepentingan publik. Bukankah sulit melihat tengkuk sendiri tanpa menggunakan bantuan cermin?

Mengingat ciri kemenduaan agama, adat dan semua pengelompokan masyarakat yang berciri askriptif dari pengelompokan masyarakat mampu menggoyahkan ketahanan masyarakat, maka keterlibatan asosiasional dan keterlibatan silaturahmi sulit dipungkiri merupakan prasyarat paling minimal jika harmoni antarkelompok hendak dikembangkan sebagai tonggak ketahanan masyarakat madani yang sejati.***

Setelah Kekerasan Militer yang Menewaskan 14 Petani, 17 November 2004, Pembaruan Agraria Filipina Bakal Mengambang?

Ironi sangat pahit harus ditelan lagi oleh masyarakat Filipina. Sampai Rabu 17/11/2004 ini, sebanyak 14 orang petani dan keluarganya, termasuk 2 anak kecil, telah tewas dilindas tindakan sangat keras tentara di Filipina. Kejadian brutal itu mulai berlangsung Selasa 16/11 di sekitar pintu gerbang masuk perkebunan swasta seluas 6.000 hektar Hacienda Luisita, Provinsi Tarlac, Luzon Utara, milik keluarga mantan presiden Filipina Cory Aquino, yang justru terkenal secara internasional karena semangat anti-kekerasannya.

Gerebeg timah panas yang dilakukan sejumlah 200-300 pasukan anti-hura-hara dari tentara Filipina (AFP) dengan menarik picu senjata api otomatis secara sporadis telah menewaskan di tempat 7 orang petani. Ratusan terluka. Hari berikutnya 7 mayat lain ditemukan, termasuk anak-anak kecil tewas tak bisa bernafas karena konsentrasi gas air mata yang tinggi.

Kejadian kekerasan terhadap petani yang kesekian kalinya ini sekarang mencapai titik yang lebih pahit daripada sekedar ironi. Kita ingat bagaimana negeri tetangga yang dikenal dengan revolusi damai 1986 ini juga sangat tersohor karena program pembaruan agrarianya berada di antara yang paling berhasil di dunia.

Kejadian kekerasan 17 November di Tarlac mengingatkan peristiwa sejenis yang terjadi di jembatan Mendiola di Metro-Manila, 22 Januari 1987, yang menewaskan 13 orang petani, ketika ratusan organisasi tani hendak mendesak masuk ke Istana Malacañang. Setelah kejadian itu proses pengundangan pembaruan agraria tampak berjalan lancar. Tapi para penguasa dan tuan tanah tidak mau menyerahkan begitu saja. Sekalipun UU Pembaruan Agraria (UU PA 1988) telah disahkan, kekuasaan nyata atas tanah tetap berada di tangan segelintir tuan tanah. Demokrasi rakyat telah lama dibajak, demokrasi bossisme meraja.

Banyak pembaharu agraria di dunia mencoba belajar dari program transformasi agraria di Filipina. Filipina berada di urutan ke-5 setelah Cuba, Bolivia, Nicaragua, dan Chile. Menurut data dari bagian perencanaan Departemen Pembaruan Agraria (DAR) yang belum lama ini saya hubungi, Filipina telah mencapai di atas 83% dari target redistribusi tanah. Data ini bisa saja terlalu dipakai untuk membenarkan diri pemerintah.

Tapi, bagaimana pun dengan terulangnya kebrutalan terhadap petani, program itu sekarang sedang diuji ulang oleh para penegaknya sendiri dan masyarakat Filipina umumnya. Banyak pihak mengatakan program pembaruan agraria menyeluruh ini sudah dapat dikatakan gagal. Jika tidak diupayakan resolusi konflik yang memadai, kejadian sejenis sangat mungkin terjadi lagi di masa depan jangka dekat, dengan dampak negatif yang lebih parah, sementara globalisasi pasar neo-liberal terus sangat mempersulit kehidupan ekonomi masyarakat sampai di desa-desa.

Akar konflik
Akar konflik antara para petani dan tuan tanah di Hacienda Luisita sebenarnya mengacu pada kewajiban semua pihak menjalankan pembaruan agraria sebagai bagian dari tuntutan masyarakat pasca jatuhnya rejim otoriter Ferdinand Marcos 1986. Namun, para tuan tanah berusaha menghindarkan diri dari kewajiban itu. Memang cara yang ditempuh oleh para tuan tanah tidaklah sampai mengubah UU PA 1988. Namun, karena prosesnya dapat menjadi sangat fleksibel, prosedur hubungan pembaruan agraria dengan mudah dapat diubah-ubah oleh tuan tanah.

Tentunya, yang diharapkan petani pada umumnya adalah redistribusi dan pemilikan sepenuhnya atas tanah, namun para tuan tanah tak akan merelakan begitu saja. Berbagai macam prosedur dicoba diselenggarakan. Untuk tanah-tanah yang dulu dikuasai oleh mantan president Marcos, sebagian besar sudah dapat diredistribusikan melalui pengalihan-wajib (compulsory acquisition, CA), atau melanjutkan program sejenis yang sudah dimulai Marcos sendiri dengan dekritnya (No.27) yaitu dengan modus operation land transfer, OLT. Namun pada kenyataannya masih banyak areal tanah yang berada di bawah penguasaan para tuan tanah, meskipun mereka tidak memiliki hak sah berdasarkan hukum. Tanah-tanah yang berareal luas inilah yang sekarang menimbulkan kesulitan luar biasa dalam menjalankan kerangka program di bawah legalitas UU PA 1988 (CARP).

Karena masing-masing tuan tanah itu independen, bahkan karena kepintaran, pendidikan dan penguasaan seluk-beluk hukum, politik lokal dan nasional serta perekonomian global, banyak cara diupayakan untuk menghindarkan pelaksanaan UU itu di areal-areal perkebunan yang mereka kuasai. Manajemen hacienda milik keluarga Cojuangco (ayah Cory), misalnya, dikelola atas nama ayah Cory, yaitu José Cojuangco, setelah menantunya Benigno Aquino, si martir demokrasi Filipina itu, tewas tertembak. Manajemen Cojuangco sangat aktif mencari jalan pencegahan pelaksanaan pembaruan agraria yang disahkan oleh Cory sendiri dan malah sangat memanfaatkan kedudukan adiknya yang waktu itu sedang jadi presiden. Menjelang Revolusi Damai 1986, Danding Cojuangco, adik ipar Cory, terpaksa melarikan diri bersamaan dengan Marcos, namun kroni Marcos ini berhasil masuk lagi dan menguasai kembali areal tanah luas di Visayas yang sedianya harus sudah masuk ke dalam program CARP.

Cara mempertahan tanah
Ada dua cara pencegahan yang ditempuh oleh para tuan tanah, yang sebenarnya tak mengandung unsur redistribusi tanah yang substansial. Cara pertama --inilah yang ditempuh Cojuangco dan diikuti tuan-tuan tanah yang lain-- adalah mengajak para buruh tani untuk mempertahankan hubungan kerja yang sama tapi memberikan janji pembagian hasil yang lebih baik untuk para buruh tani. Modus ini disebut stock distribution option (SDO). Kedua, pemindahan pemilikan tanah secara sukarela (voluntary land transfer, VLT), yang sangat dikaitkan dengan kebutuhan pasar global dengan membudidayakan hanya tanaman-tanaman produktif yang laku di pasar global, seperti pisang, ananas, mangga, asparagus (market-led agrarian reform, MLAR). Cara kedua ini didorong habis-habisan ketika Filipina berada di bawah presiden mantan jenderal militer Fidel Ramos. Dalam statistik Departement Pembaruan Agraria, setidaknya tampak jelas lonjakan hasilnya.

Namun, dalam praktik SDO, tuan tanah mengatakan bahwa petani tidak akan bisa mengongkosi biaya produksi karena tak punya uang. Fakta tak punya biaya ini memang diakui oleh para buruh tani. Sementara itu, tuan tanah terus membujuk petani agar lebih baik menerima modus SDO karena petani akan menjadi bagian dari perusahaan perkebunan dan akan mendapatkan bagian yang besar dengan bagi-hasil panen yang lebih baik. Namun, dalam perkembangan selama 15 tahun lebih, keadaan petani tidak membaik, malah memburuk. Pemuka petani mengeluh bahwa pada awalnya mereka memperoleh antara 5 s.d. 6 hari kerja, tapi sekarang 3 s.d. 4 hari saja, malah banyak yang hanya satu hari kerja dalam seminggu. Menurut ketua serikat buruh tani Luisita, rata-rata setiap hari seorang petani dan keluarganya entah bagaimana caranya harus hidup dengan upah sebesar 9,5 peso (~Rp 1.520). Hacienda Luisita, dengan berbagai pengembangan lain seperti jasa komersial, pariwisata, olahraga dan tempat hiburan, mempekerjakan 5.000 lebih buruh tani dan 500 pegawai. Total asetnya mencapai US $28,39 juta, klaim pemasukan bersih per tahun pada Juni 2002 mencapai 14 juta peso (~Rp 2,24 milyar).

Sementara itu, seperti dituduhkan oleh para musuh petani, terutama para tuan tanah, pemerintah pusat dan pihak militer, gerakan petani di kawasan Luzon Tengah ini telah ditunggangi oleh para politisi kiri, bahkan oleh para komunis dalam barisan Partai Komunis Filipina (CCP) atau bahkan gerakan radikal bersenjata (NPA). Dalam sejarah, kawasan ini pernah menjadi daerah kekuasaan para pemberontak Hukbalahap setelah mereka ikut berjuang mengusir pasukan pendudukan Jepang. Tapi pertengahan tahun 1950-an pemerintah Magsaysay sudah melumpuhkannya. Usaha melumpuhkan kelompok bersenjata NPA pun terus dilakukan, termasuk oleh Cory Aquino sendiri.

Saling tuduh
Para anggota Kongres pendukung petani mendesak Malacañang melakukan investigasi resmi atas kekerasan yang terjadi. Tapi President Gloria M. Arroyo menolaknya. Polisi menuduh para petani membawa senjata ketika berdemonstrasi dan memprovokasi tentara dan polisi. Polisi menyatakan ada snipers yang bersembunyi di balik truk-truk pengangkut tebu. Organisasi petani membantah keras karena bukti-bukti senjata yang ditemukan itu bukan milik mereka tapi bisa saja dimiliki oleh para satpam dari hacienda. Cory Aquino di rumahnya merasa cukup dengan memanjatkan doa perdamaian.

Tuduh-menuduh memanas. Senator oposisi mantan jenderal Juan Ponce Enrile mempertanyakan mengapa tentara sampai harus dikirimkan ke perkebunan itu. Sementara itu sekretaris Menteri Tenaga Kerja Filipina Patricia Sto. Tomas membantah bahwa dirinya memerintahkan para tentara di perkebunan untuk menarik picu senjata. Para tuan tanah di Filipina memiliki pasukan bersenjata dan sering menyewa para tentara atau brigade mobil polisi untuk menjaga keamanan hacienda. Di pihak para petani Tarlac, mereka akan mengarak jenazah para korban untuk menghormati para pahlawan perjuangan tanah yang gugur, dan bersumpah tidak akan berhenti mendesak semua pihak. Namun, yang lebih memprihatinkan, Departemen Pembaruan Agraria (DAR) tegas menyatakan tidak memiliki wewenang untuk mencampuri konflik di hacienda Luisita. Keadaan tampak semakin rumit dan dapat menegang lagi.

Di balik aksi tuduh-menuduh yang menandakan rumitnya keadaan hubungan agraria dengan semua anasir sistem politik masyarakat Filipina, kasus kekerasan di hacienda Luisita ini sendiri menyimpan bara yang sulit dipadamkan dalam sistem perundangan yang ada. Keluarga Cojuanco sudah berhasil memaksakan lolosnya modus SDO dalam sebuah momorandum “kesepakatan” (deferment) untuk masa 30 tahun sejak disahkan Mei 1989. Selama itu legalitas dan legitimasi apa pun dari segi pembaruan agraria, sekalipun sudah disahkan oleh negara, sulit digunakan untuk mendesak keluarga kaya itu meredistribusikan tanah-tanahnya.

Karenanya jalan satu-satunya yang diambil oleh para buruh tani Tarlac adalah memanfaatkan saluran hukum perburuhan, seperti diindikasikan oleh modus SDO itu. Namun, jalan ini adalah jalan sangat terjal karena legalitas modus SDO ini telah menundukkan para petani di bawah kerangkéng hukum tuan tanah dan hukum pasar global. Para petani di Tarlac telah kehilangan peluang hukum yang sebenarnya tersedia di bawah UU PA 1988. Namun, sekalipun UU ini dapat dijadikan pijakan politik rakyat, masih tetap harus ditanggapi dengan pandangan kritis dan wawasan demokrasi dari bawah yang harus dibangun selama bertahun-tahun.

Kunci sukses
Dalam pengalaman pembaruan agraria (CARP) selama lebih dari 15 tahun di Filipina, keberhasilan proses redistribusi tanah hanyalah dapat dijamin jika kepastian perundangan pembaruan agraria itu sungguh-sungguh dihidupkan, yaitu bahwa suatu areal tanah memang memiliki legalitas yang dapat diproses oleh para aktor negara dan aktor masyarakat, mulai dari tingkat pusat, provinsi sampai kabupaten/kotamadya, dengan hasil yang sangat bervariasi dan tersebar-sebar.

Di desa Magsalisi, provinsi Nueva Ecija, dibutuhkan rentang waktu 1992-1997, untuk mentransformasikan tanah seluas 12.000 ha; di Candaba, San Luis, Pampanga 1992-1996, 1.000 ha; di perkebunan kepala hacienda Maloles, Sta. Catalina Sur, Candeleria, Quezon, 1992-1997, 6.000 ha. Namun di hacienda Esperanza, Negros Occ., dibutuhkan 13 tahun dengan perjuangan gigih anti-kekerasan dari para petani dan para pendukungnya (1991-2003), 572 ha; di desa Catulin, Buenavista, Quezon, 1996-2002, dengan dampak pembunuhan dua tokoh petani oleh para enkargardos (intel-satpam-tukang pukul) dan komplikasi politik elektoral di tingkat kabupaten serta kerjasama antara tuan tanah dan gerakan ekstrim NPA melawan petani dan pemerintah.

Dalam hal ini, Departemen Pembaruan Agraria Filipina memainkan peranan penting. Namun, tanpa kerjasama dari berbagai kantor pemerintah yang lain di semua tingkat dan lembaga bank tanah (LBP), ditambah dengan desakan militan dari para petani dan koalisi organisasi-organisasi tani beserta aktor-aktor masyarakat, baik yang memiliki cakupan pengaruh nasional maupun para organizers masyarakat petani di lapangan, keberhasilan pembaruan agraria masih akan memakan waktu yang lama. Akankah para petani di Tarlac menunggu sampai 2018 untuk merintis pelaksanaan UU PA 1988 di Filipina ini?