Wednesday, June 01, 2005

Arah Dasar dalam Menyelesaikan Konflik (Sumber Daya Alam)

Tulisan berikut ini saya susun dan tulis kembali sebagai pendahuluan buku berjudul "Menyeimbangkan Kekuatan", yang diprakarsai oleh Ichsan Malik, Boedhi Wijardjo, Noer Fauzi dan Antoinette Royo, diterbitkan oleh Yayasan Kemala, Jakarta, 2003, h1-14. Gagasan dasar tulisan ini berasal dari pemikir hukum kritis Michael W. Reisman & Aaron M. Schreiber 1987 bertajuk "Jurisprudence: Understanding and Shaping Law, Cases, Reading, Commentary". Rujukan ini semula merupakan tawaran dari Antoinette Royo yang pernah mengikuti kuliah-kuliah kedua pengajar tersebut.
========================================================



PARA pihak yang terlibat dalam proses transformasi konflik kini sedang berusaha mencari dan menemukan prinsip-prinsip bagaimana rakyat dapat menentukan diri sendiri dan memilih langkah-langkah konkrit. Tampaknya, sekiranya hendak kita ibaratkan, mereka tengah melihat bintang petunjuk jalan di langit. Cukup jelas dapat dilihat, tapi bintang-bintang itu tak cukup jelas menerangi jalan dan jalur di mana kaki melangkah setapak demi setapak. Jika terlalu mendongak memandang bintang, dapat jadi kaki tersandung batu, atau terperosok ke dalam lubang yang tak terlihat. Meskipun ada bintang-bintang yang lain, cahaya yang telah tampak itu setidaknya adalah alternatif yang sifatnya sudah sangat jelas atau konstitutif dalam proses perjuangan mempertahankan hak-hak yang berkaitan dengan sumber-sumber daya alam. Konstitutif dalam arti mengandung unsur-unsur yang konstruktif, formatif tapi sekaligus hakiki. Konstitutif juga berarti bahwa cahaya itu tidak lagi abstrak dengan konsep-konsep tapi malah sedang membimbing tindakan yang nyata dan spesifik ke arah dan tujuan yang jelas, yaitu proses mengambil keputusan dan bertindak.

Karenanya, kalau dikatakan secara singkat, buku sumber ini bagaikan bintang petunjuk jalan, meskipun tentunya kita sadar ada alternatif yang lain. Cahaya bintang ini berupaya menawarkan pelajaran dari proses-proses bagaimana banyak pihak berupaya menyelesaikan berbagai konflik. Inilah salah satu alat pendukung untuk terus menguatkan para petani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat pada umumnya. Mereka lebih sering kalah dalam perjuangan menyelesaikan sengketa dan konflik sumber daya alam. Tanggapan kita, sementara terus-menerus bertanya: Bagaimana cara menguatkan mereka secara efektif, efisien, jelas, dan mencapai tujuan, dan mencegah kecondongan jadi bertele-tele karena rumitnya permasalahan? Apa yang paling penting bagi para pihak dalam proses transformasi konflik yang mereka jalani agar proses itu berlangsung secara efektif? Apa syarat-syarat dasar yang harus dilatih agar mereka yang terlibat dalam proses perubahan sosial dan politik sampai pada tujuan pemulihan para korban? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang sebagian dicoba dijawab dalam buku "Menyeimbangkan Kekuatan" ini.

Pemenuhan cita-cita menyelesaikan berbagai konflik sumber daya alam yang merebak di berbagai lokasi di Indonesia kiranya masih jauh dari tercapai. Memang sudah ada yang pulih, sebagian kecil setidaknya, sejak pergeseran rejim 1998 di Indonesia ini, seperti mendapatkan hak-hak miliknya atas tanah. Tapi pemulihan itu masih sangat sedikit. Di antara yang pulih itu pun masih terancam oleh berbagai potensi bahaya yang mencemaskan. Keadaannya, masih tetap tak sebanding dan tak seimbang. Malah ada kecondongan semakin mengerasnya kemungkinan perubahan yang berorientasi semakin menekan ke bawah. Formasi establishment politik ekonomi semakin membeku.


RUANG lingkup buku sumber ini adalah proses fasilitasi. Dan, proses fasilitasi transformasi konflik yang tak bertele-tele, yang kita maksudkan di sini, tidak hanya concern pada acara dan agenda pelatihan demi pelatihan serta perangkat-perangkat yang dibutuhkan, tapi semestinya juga memrediksi dan mempengaruhi suatu kompleks dari para pihak berkonflik (bisa lembaga, bisa "berbentuk", bisa "tak berbentuk") yang berkaitan dengan pengambilan keputusan melangkah ke depan, baik yang formal, informal, terorganisasi, tak terorganisir, kelompok-kelompok dan individu-individu yang semuanya memiliki andil dan pengaruh terhadap para korban yang menjadi subjek dari keprihatinan dalam proses transformasi itu. Seluruh peristiwa ketersingkiran para korban itu tidaklah hanya sekedar kejadian kekerasan, aksi penggusuran, tindak penyingkiran yang dialami oleh para korban. Keputusan yang diambil oleh para perpetrators itu sendiri juga bukan sekedar seperti tampak dalam bentuk surat keputusan badan pertanahan nasional, izin kontrak karya, surat keputusan menteri, dan lain-lain, yang serba kotak, putih, dingin dan kaku. Hampir-hampir "tak berekspresi". Sementara itu, semua bentuk formal yang lebih sering kita tengarai sebagai perubahan itu dipengaruhi oleh berbagai faktor dan pihak-pihak lain, misalnya kepentingan para pengusaha atau tengkulak ke tangan-tangan sekelompok pemegang kuasa kekerasan koersif, atau bahkan koalisi sekutu hitam yang mereka lakukan dengan sipil bersenjata, atau segerombolan preman dan tukang pukul. Anda akan ditantang untuk menegaskan karakteristik hakiki dari kompleksitas itu. Dalam hal ini proses fasilitasi transformasi konflik yang sedang dikembangkan tak bisa tidak harus tidak bertele-tele, tapi juga tidak gegabah. Para korban itu sendiri sudah bagaikan tenggelam ke dalam arus deras perubahan yang tak dikehendakinya, masih lebih baik jika tampak mulutnya yang berteriak minta pertolongan. Kebisuan para korban pengelolaan ngawur terhadap sumber daya alam akan menantang para pelaksana proses fasilitasi agar tetap partisipatif, bukan hubungan guruómurid, tapi sungguh-sungguh jadi pendamping, bidan, penyapih yang memiliki kepekaan batin dan jiwa besar.

Fasilitasi transformasi konflik adalah proses pembentukan komunitas dan kelompok kerja yang tanggap terhadap fakta dan tantangan lapangan. Tugas fasilitasi ini adalah membuka kemungkinan-kemungkinan adanya peluang-peluang baru, atau lama tapi diperbarui, menjalin aliansi, menggandeng koalisi, menguatkan bobot pemahaman dan tindakan. Fasilitasi ini adalah proses sosial yang pertama-tama dibimbing oleh kehausan akan pemahaman duduk perkara konflik secara komprehensif, lalu fasilitasi juga menegaskan identifikasi siapa pemegang kekuatan yang akan menentukan nasib para korban, dan bagaimana kekuatan (dan juga kekuasaan) itu dapat digunakan secara efektif untuk pemihakan kepentingan rakyat. Karena fasilitasi yang sifatnya komprehensif itu pada dasarnya adalah menentukan proses mengambil keputusan, penentuan peluang, penegasan pilihan dapat dicapai, maka mereka yang terlibat dalam proses fasilitasi itu haruslah memusatkan perhatian pada mengidentifikasi langkah-langkah dasar dari proses mengambil keputusan itu sendiri ditentukan. Tentunya proses fasilitasi ini juga concern pada pemahaman unsur-unsur dasar dalam proses mengambil keputusan: membangun kesepakatan, menetapkan kata putus, mengakhiri perjanjian, dan seterusnya.

Ini ringkasan pokok peran sentral para pihak dan siapa pun yang terlibat dalam proses transformasi konflik: (1) Analisis masalah pokok yang dihadapi secara menyeluruh, menentukan konteks dengan kepastian keberpihakan pada keadilan untuk para korban, (2) Analisis terhadap cakupan yang lebih sempit, detil tapi relevan, yang berpengaruh terhadap: [a] lingkungan atau situasi di sekitar, [b] proses yang menjamin efektivitas kekuatan dan kekuasaan, [c] proses penentuan kesepakatan yang sifat lebih formal, [d] hasil dan capaian-capaian dari proses itu. Yang tercakup dalam "hasil" adalah bagaimana tingkat produktivitas dari pengambilan keputusan, bagaimana distribusi dari keputusan itu dirasakan oleh para pihak, terutama subjek dari fasilitasi, beban dan kelegaan yang dirasakan, atau "nilai-nilai" apa yang dikandung dalam proses mengambil keputusan itu, termasuk apa dampaknya terhadap lingkungan manusia dan lingkungan alam.

Fasilitasi pada dasarnya adalah seni memecahkan masalah, menyelesaikan konflik, melerai sengketa. Fungsi ini berada pada titik krusial menerjemahkan pengetahuan, nilai-nilai dan gagasan menjadi rencana yang sah (adil) dan memang sungguh dapat berfungsi baik, (relatif) cocok untuk semua pihak. Hanya jika fungsi ini dipenuhi, fasilitasi itu dapat dikatakan "bermanfaat", ada gunanya untuk masyarakat.

Seni menyelesaikan konflik ini bertugas menentukan bahwa apa yang diinginkan bersama memang sungguh jadi nyata terealisasi di lapangan. Seni ini menegaskan bahwa perubahan sosial yang diinginkan itu tidak akan jalan dengan sendirinya begitu saja, tapi haruslah ditentukan terlebih dahulu apa saja prasyaratnya, menjelaskan alternatif-alternatif yang lebih condong diinginkan bersama, metode-metodenya untuk mencapai tujuan itu dan tentu saja mengalkulasikan langkah-langkah yang harus diambil dalam mengimplementasikannya, terutama jika sudah bersentuhan langsung dengan kerumitan dan kompleksitas "kenyataan lapangan" yang keras dan penuh dengan tarik-ulur kepentingan.


BAYANGKAN jika Anda seorang tokoh masyarakat di pedesaan Aceh, yang membawahi sekian puluh ribu massa petani dan buruh tani yang semuanya berteriak tak punya tanah dan dihambat jaringan tengkulak, diserang oleh politik revolusi hijau, pembangunanisme dan ancaman kekerasan militer. Budaya di lingkungan Anda adalah patronase, korupsi, cari untung sendiri. Setelah perang anti-separatis, katanya, pemerintah pusat menetapkan untuk memaksakan rejim kekuasaan lokal yang baru. Cirinya militeristik, kaku, ikut perintah atasan. Negeri ini, termasuk desa Anda, diubah jadi negeri polisi. Setiap hari Anda diinteli. Tapi anehnya, semuanya berjalan dengan teratur, semua didasarkan pada hukum yang jelas dan kepastian yang tinggi. Syariat Islam ditegaskan ulang untuk melegitimasikan rejim itu. Kekerasan yang dilakukan oleh penguasa rejim juga dipaterikan dengan hukum yang disahkan.

Anda sendiri memiliki komitmen yang kuat terhadap demokrasi, hukum dan martabat manusia. Anda terkenal karena visi dan pemikiran Anda sebagai tokoh masyarakat dipandang jernih, memiliki reputasi nomor wahid sebagai tokoh berwibawa dan berprikemanusiaan. Rejim penguasa tertarik pada peran Anda. Lewat jalur kementerian dalam negeri, komando tentara lokal dan dinas sosial politik, Anda tidak disingkirkan dan tidak dipandang sebagai separatis. Rejim membutuhkan Anda dan reputasi Anda, untuk ikut mendukung rejim (menceriterakan kebaikan rejim) baik di antara warga desa dan provinsi Aceh serta Indonesia umumnya, tapi juga luar negeri. Anda sendiri sangat sadar bahwa Anda dimanfaatkan dan nanti pasti juga akan ditendang dan disingkirkan jika rejim itu sudah tak butuh Anda lagi. Tentu Anda juga khawatir dengan keamanan diri Anda, seperti juga banyak orang lain di Aceh. Tapi, justru karena komitmen Anda pada kemanusiaan, hukum dan kebenaran sangat mendalam, Anda jadi bingung dan timbul konflik batin yang mendalam pula.

Ada beberapa alternatif yang tersedia dan Anda harus memilih salah satu: (1) Menerima kenyataan bahwa kekuasaan militer itu memang brutal dan menyesuaikan diri dengan kebrutalan itu agar dapat selamat baik diri sendiri maupun warga desa Anda; (2) Mundur ke desa, bersembunyi entah di mana, menunggu terjadinya perubahan; (3) Melanjutkan jadi tokoh masyarakat secara terbuka tapi berperilaku baik dan bersikap ëlow profileí demi keselamatan, tapi terus berusaha mengritik rejim militer dan korupsi; (4) Pergi ke pengasingan di luar negeri dan berjuang melawan rejim itu dari sana; (5) Mengguyur diri dengan bensin dan membakar diri di depan istana negara di Jakarta; (6) Ikut para gerilyawan di gunung-gunung.

Ada beberapa alternatif, tapi jika Anda tersudut hanya dapat mengambil satu pilihan atau masuk dalam keadaan terpaksa harus menjawab ya dan tidak yang sifatnya eksklusif, situasi ini sangatlah merepotkan, bagaikan buah simalakama. Padahal, pilihan-pilihan jawaban yang ada sifatnya juga sangat hipotetis, ada banyak pengandaian di belakangnya. Pilihan-pilihan jawaban itu didasari oleh latar belakang pemikiran tertentu tentang tujuan hidup dalam masyarakat dan model pengambilan keputusan yang dilakukan serta cara-cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan itu. Latar belakang ini mempengaruhi analisis, cara mengidentifikasi masalah dan konflik yang ada, serta bagaimana memecahkan konflik-konflik itu.

Setelah menguak kembali berbagai masalah etika hidup sepanjang zaman, buku "Menyeimbangkan Kekuatan" menghadirkan latar belakang pemikiran dan sikap-sikap dasar manusia sepanjang sejarah sehubungan dengan pilihan-pilihan yang mereka ambil. Setelah menegaskan prioritas yang akan harus diambil, setelah mempertimbangkan semua pendapat dan sikap yang ada di sekitar Anda ódi mana rakyat selalu kalah dalam pertandingan, persaingan dan konflik yang tak seimbangó dan dalam sejarah manusia, Anda akan siap masuk ke dalam aras dan poros yang sangat jelas: supremasi hak-hak asasi manusia, atau keadilan dalam perjalanan pemikiran manusia. Dilema-dilema terus akan Anda hadapi sepanjang penjelasan bacaan buku sumber ini, tapi dalam intensitas yang semakin menyempit pada aras konsep, semakin membesar pada poros menemukan titik temu dan jalan keluar dari konflik.

Tema besar yang melatarbelakangi seluruh buku ini tidaklah hanya sekedar latihan berpikir tentang konsep-konsep abstrak, refleksi berbagai pengalaman yang tak terjangkau atau tak terbayangkan karena keterlibatan yang mendalam para pihak dalam transformasi sosial itu sendiri, tapi buku ini juga memancing Anda untuk mencari dan menemukan pilihan-pilihan yang barangkali bisa jadi tidak ringan tanggungannya, baik untuk masyarakat secara umum atau pun untuk subjek fasilitasi yang Anda lakukan. Pengalaman lapangan sendiri akan bicara pada Anda. Kesadaran tentang penyelesaian konflik pada dasarnya adalah tantangan untuk bertindak. Jika tidak bertindak, Anda hanya akan jadi pakar, bukan para pihak-peserta subjek pelaku perubahan yang terlibat di dalamnya.

Namun, sebelumnya Anda ditantang untuk terlebih dahulu memahami konflik secara mendasar dalam kaitan dengan sumber daya alam dan seluruh latar belakang konsep eksploitasi politik ekonomi di belakangnya. Kemudian Anda akan dibawa lebih jauh masuk ke dalam persoalan-persoalan mendasar di balik kekacauan dan kehancuran karena pengelolaan sepihak atas sumber daya alam di Indonesia (sebagai bagian dari politik dunia). Akhirnya hal-hal yang mengarah pada tindakan menyelesaikan konflik kembali akan menantang Anda untuk mengambil keputusan untuk menentukan bentuk dan model fasilitasi yang selayaknya dilakukan, baik dalam kegiatan advokasi langsung maupun dalam bentuk perundingan (negosiasi) atau mediasi. Relung dan pernik yang melatarbelakangi preferensi "menyeimbangkan kekuatan" dari bawah ini dapat mempengaruhi cara Anda menyelesaikan konflik, mengambil keputusan, dan tentunya juga apakah dampaknya pada cara kita menyelesaikan masalah memang ada manfaatnya untuk masyarakat dan rakyat yang jadi subjek fasilitasi secara luas itu sendiri. "Menyeimbangkan Kekuatan" menawarkan bahan-bahan dasar yang menjabarkan berbagai permasalahan etis ódan karenanya sekaligus praktis dalam hidup warga masyarakat, dan karenanya juga mengantisipasi kemungkinan cara kita bersikap dan menangani konflik dan sengketa sumber daya alam. Inilah alasan dasar dari proses yang kita jalani ini: mencoba membangkitkan inisiatif Anda dari bawah untuk menyelesaikan sendiri konflik-konflik yang terjadi.

Preferensi "menyeimbangkan kekuatan" tidak begitu saja didapatkan oleh para penulis dan pengarah buku sumber ini. Dalam suatu masyarakat demokratis, setiap orang diandaikan ikut serta berpartisipasi dalam mengambil keputusan. Para pihak ditantang untuk memberikan sumbangan dalam mencari penyelesaian dan titik temu atas berbagai konflik dan sengketa dalam masyarakat: kepentingan-kepentingan bersama apakah yang terus harus ditemukan dan diyakinkan bersama. Tak sedikit pula godaan untuk mereka yang mulai belajar memiliki banyak pengaruh, banyak konstituen. Di tengah godaan itu, para pegiat masih pula ditantang untuk membangkitkan, menghimpun dan menularkan kekuatan dalam bentuk ketrampilan yang dilatih dan kepribadian yang ditempa. Tapi pelajaran dari semua pengalaman ini sangatlah relevan untuk kesehatan dan ketahanan serta kekuatan tubuh sosial politik dan ekonomi masyarakat kita.

Sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam proses transformasi konflik Anda semuanya menjadi pusat, subjek tapi juga objek dari proses tersebut. Cara Anda memandang diri sendiri dan proses-proses dalam kelompok subjek fasilitasi dan perangkat-perangkat pikiran yang Anda butuhkan untuk mendesakkan perubahan sosial secara bersama-sama akan diuji apakah sungguh-sungguh jadi efektif. Mungkin agak kurang biasa jika kita menganggap bahwa pemikiran atau gagasan adalah "perangkat kerja"; begitu pula dengan konsep atau metode untuk memusatkan perhatian Anda pada masalah yang dihadapi, proses pengumpulan informasi dan data, lalu mengolahnya untuk kemudian memecahkannya. Namun sarana inilah yang kita ciptakan untuk memenuhi kebutuhan kita dalam menganalisis dan bertindak menjalankan tugas.

Berikut ini akan diketengahkan empat sarana yang dibutuhkan untuk menegaskan pilihan-pilihan dalam mengambil keputusan yang berguna sepanjang proses fasilitasi, proses advokasi dan proses pendampingan dalam transformasi konflik. Pertama, titik pandang kritis pada diri sendiri. Sarana ini dibutuhkan agar kinerja transformasi sosial itu jadi lebih efektif. Sarana ini sifatnya subsidier tapi kiranya justru mendorong agar sarana operasional utama menjadi lebih efisien. Kedua, cara pandang kita terhadap komunitas atau kelompok masyarakat yang kita fasilitasi; di sini digunakan beberapa "kacamata" yang dirancang agar jadi lebih tajam mengarah pada salah satu aspek dari sasaran (target) dan menguranginya ketika dibutuhkan, menyaring atau menekan aspek-aspek lain. Ketiga, proses-proses yang kita coba pengaruhi dan kemudian proses-proses itu juga mempengaruhi diri kita sendiri dan para pengambil keputusan yang lain. Keempat, adalah teknik-teknik nyata dalam mengambil keputusan.


Titik Pandang Kritis

Dalam berbagai hal yang melibatkan proses fasilitasi dan tindakan intervensinya untuk mempengaruhi proses-proses sosial, alat yang paling ampuh dalam melakukan keterlibatan dan menentukan pilihan adalah diri kita sendiri, cara berpikir kita, yang mempengaruhi pemahaman kita dan cara pandang kita terhadap pilihan-pilihan yang kita ambil.

Ada dua pokok mengapa titik pandang kritis ini diperlukan. Pertama adalah kebutuhan untuk mengambil jarak. Anda adalah bagian dari proses fasilitasi yang sedang dijalankan tapi sekaligus Anda juga bukan sepenuhnya berada di sana atau bahkan termasuk mentah-mentah di sana. Preferensinya tentu berada pada tingkat cara kita berpikir, ada dalam benak kita, dan bukan menarik diri secara fisik. Dengan "menarik diri", Anda memiliki peluang untuk memahami diri Anda sendiri secara lain, secara berbeda. Kedua, kebutuhan memandang diri Anda sendiri sebagai pendukung proses fasilitasi dan keterlibatan itu, sekaligus juga jika menentukan pilihan-pilihan. Semua orang menjadi sasaran untuk dipengaruhi, termasuk fasilitator transformasi itu sendiri, ódipengaruhi oleh situasi dan kondisi, yang akhirnya menentukan cara pandang kita dan cara kita mengambil pilihan tindakan, juga sangat mungkin mendistorsi tindakan yang kita ambil.

Ada tiga hal yang dapat mendistorsi tindakan kita. Pertama, kecondongan emosi yang dapat berpengaruh pada tindakan kita; semua orang memiliki kecondongan ini; kedua, kecondongan kita jadi sempit karena latar belakang budaya dalam kelompok, bangsa, dan sistem bahasa; ketiga, distorsi yang timbul karena keterlibatan yang intens dalam suatu unsur kelembagaan tertentu; misalnya: mereka yang lama dididik sebagai psikolog tentu akan memandang persoalan dari sudut pandang pendidikannya.

Karena adanya kecondongan-kecondongan distorsi ini, setiap peserta pihak dan pengambil keputusan hendaklah mengembangkan cara-cara dan metode untuk menguji dirinya sendiri, mengaca diri sejauh mana emosinya mempengaruhi tindakan, apakah memiliki kecondongan parokial "kedaerahan", apakah bias lembaga pendidikan atau tempatnya bekerja. Anda dapat mencari sendiri bentuk-bentuk yang cocok; ada banyak cara dan teknik yang dapat dikembangkan untuk terus-menerus menjamin terselenggaranya "titik pandang kritis" ini.


Fokus

Kacamata jenis apa saja yang diperlukan bagi mereka yang terlibat dalam proses transformasi untuk memulai upaya transformasi konflik "Menyeimbangkan Kekuatan" dan dalam mengambil keputusan? Pertama-tama, kacamata itu haruslah komprehensif untuk menganalisis konflik dengan makroskop daripada mikroskop. Jika orang menganalisis konflik, sering komentar dilontarkan: "Ini konflik karena kerakusan pengusaha dan pemerintah." atau "Ini konflik etnis." atau "Ini konflik karena senjang ekonomi." dsb. Komentar itu sering begitu saja kita anggap benar. Tapi sesungguhnya kenyataan konflik itu tak sekaku seperti komentar-komentar itu. Batas-batas, mana bidang ekonomi, mana lingkup etnis, atau politik, batas provinsi, ini wilayah pedesaan, ini konflik perkotaan, dan sebagainya, sebenarnya tak menggambarkan keadaan yang sesungguhnya dalam kenyataan. Penekanan yang dilakukan secara eksplisit dalam memandang masalah konflik secara komprehensif akan membuat para pihak yakin bahwa diri mereka masing-masing sungguh telah berpijak pada suatu lingkup keseluruhan di hadapan suatu masalah tertentu yang sifatnya spesifik. Di samping itu, kita harus menerima bahwa sumber-sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak dan mereka yang diserahi mengambil keputusan pada dasarnya terbatas. Oleh karena itu kebutuhan untuk memandang konflik dengan kacamata komprehensif haruslah diimbangi dengan sikap selektif dan kalkulasi sumber daya yang selayaknya.

Konsep dan teori memang diperlukan untuk menentukan fokus perhatian kita. Kita membutuhkan teori, baik secara eksplisit atau pun implisit, ketika menarik kesimpulan: apakah ciri-ciri, variabel dan jenis hubungan tertentu memang perlu dikaji dan diuji atau sebaliknya tak perlu sama sekali. Lagi pula teori atau kerangka pemahaman itu hendaknya bersifat realistis. Yang menghasilkan pola-pola keputusan yang sifatnya mantap dan tetap biasanya justru kerangka (teori) yang muncul dari bawah di antara masyarakat sendiri. Yang dari bawah inilah biasanya mencetuskan sesuatu yang lebih tahan uji. Karenanya model ini akan menantang para peserta-pihak dan para pengambil keputusan itu sendiri, sementara mereka berupaya mempengaruhi kelompok masyarakat yang dilayani.

Dalam menentukan fokus fasilitasi ini, prasyarat untuk tidak hanya mempertimbangkan hal-hal yang sifatnya subjektif haruslah diberi tempat. Kita tak bisa hanya melihat sebelah mata pada apa yang dikatakan orang tapi juga apa yang sesungguhnya mereka lakukan. Perlu keseimbangan antara penekanan pada perspektif (apa yang dikatakan dan yang dipikirkan) dan operasi pelaksanaan (apa yang dilakukan di lapangan). Berkaitan dengan hal ini, diperlukan pertimbangan yang mendasar sehubungan dengan, di satu pihak, apa yang dianggap benar oleh masyarakat óinilah ruang lingkup target dari kesadaran masyarakat konvensionaló dan, di lain pihak, apa yang sebenarnya hendak dilakukan. Di sini dibutuhkan keseimbangan antara pentingnya menekankan wewenang (yaitu apa yang dianggap benar oleh masyarakat) dan kontrol (terhadap apa yang hendak dilakukan).

Dalam hal ini kita lebih membutuhkan konsep-konsep baru yang sifatnya dinamis dan berorientasi pada proses, dan bukan "ketentuan-ketentuan hukum" (konstitusi) yang sifatnya kaku, tapi pengutamaan pada proses yang "menentu" (konstitutif). Dalam kenyataan, yang justru membuat suatu lembaga (bukan harus berupa kantor) mampu bertahan dan berkembang dasar-dasarnya bukanlah ketentuan-ketentuan yang dihasilkan oleh lembaga itu. "Ketentuan" mengindikasikan adanya dokumen-dokumen yang sifatnya pasti tentang bagaimana suatu keputusan berfungsi atau bagaimana keputusan tertentu sebenarnya diharapkan. Padahal dokumen-dokumen itu tak melukiskan dimensi-dimensi nafas hidup lembaga itu secara persis dan representatif. Di sini kita membutuhkan suatu kacamata yang fokusnya mengarah pada proses-proses yang sifatnya "menentu", yaitu proses mengambil keputusan yang terus berjalan dan berlangsung. Di situlah wewenang dan kontrol ditetapkan dan disepakati bersama. Dalam proses itu akan tampak bagaimana hal-hal mendasar dari pihak-pihak yang bertikai atau subjek fasilitasi transformasi konflik tetap bertahan dan berkembang.

Perlu dicatat pula munculnya suatu kontras antara ruang privat, ruang komunitas, ruang publik dan ruang negara dalam masyarakat kita. Ke mana fokus fasilitasi diarahkan? Di Indonesia negara telah jauh campur tangan ke ruang-ruang komunitas (adat), ruang publik sipil, bahkan ruang pribadi masyarakat. Jika fokus kita tetap mendua antara negara dan sisanya, maka tak jelaslah preferensi kita pada proses perubahan sosial menuju perbaikan dan kemajuan. Di sini fokus kita terarah pada penguatan masyarakat, penyeimbangan kekuatan. Sebab, kehancuran sistem-sistem komunitas telah membuat mekanisme-mekanisme komunitas itu tak berdaya memulihkan dirinya sendiri. Ruang sipil dan ruang komunitas haruslah dijamin dalam fokus fasilitasi ini.


Mengelola Wewenang dan Kontrol

"Advokasi langsung" sangatlah dibutuhkan dalam konteks kondisi ketidakseimbangan di antara pihak-pihak yang berkonflik, di mana rakyat umumnya kalah karena lemah. Objek dari pilihan dan keputusan sosial dalam fasilitasi mengarah kepada advokasi langsung menentang penindasan dan represi yang terus terjadi. Namun represi yang tak juga berhenti itu sudah merembet lebih jauh dan mengacaubalaukan masyarakat dan rakyat sebagai pihak yang kalah. Akibatnya, pekerjaan para pegiat advokasi tak mencukupi tanpa melengkapi diri dengan penegasan penguatan ke dalam komunitas yang dilayani, dan pada saat yang sama proses penguatan itu pun harus berorientasi ke luar.

Dalam hal mengelola wewenang dan kontrol, tidaklah cukup hanya mengidentifikasi proses-proses represi yang terjadi menindas rakyat dan kemudian menentukan sasaran tindakan advokasi dengan menekan balik dalam memastikan perubahan-perubahan sosial yang ditargetkan. Di sini diperlukan pula "analisis fase" yang jelas. Harus ditetapkan siapa aktor-aktor yang terlibat dalam konflik (para peserta proses transformasi), bagaimana masing-masing pihak ambil posisi, apa harapan mereka masing-masing baik pada masa lalu maupun ke depan, apa tuntutan-tuntutan mereka (perspektif), bagaimana posisi interaksi konflik di antara para pihak, faktor-faktor dan sumber-sumber daya apa saja yang dipakai dalam interaksi konflik untuk mencapai hasil tertentu yang mereka sasar (basis kekuatan dan kekuasaan mereka), bagaimana sumber-sumber daya itu dimanipulasikan baik secara paksa dengan kekerasan atau pun secara persuasif, bagaimana strateginya apakah diarahkan kepada pribadi-pribadi tertentu atau kelompok masyarakat atau cakupan sosial yang lebih luas lagi, dan akhirnya apa dampak-dampaknya. Berdasarkan "analisis kebutuhan" (needs assessment), deskripsi dan penentuan dampak konflik ini perlu pula dipertajam spesifikasinya agar dapat ditentukan ruang lingkup proses perubahan sosial dan perubahan nilai-nilai yang terjadi. Kalau perlu, pada perubahan nilai-nilai sosial itu, analisis dipertajam lagi agar jadi relevan berdasarkan aspek-aspek ini: kekuasaan, harta-kekayaan, akses informasi, kemampuan dan ketrampilan (teknologi), kesejahteraan, nafkah batin, harga diri, gengsi sosial, dll. Analisis fase dan analisis kebutuhan ini dapat membantu para pengambil keputusan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku para pihak dan akhirnya memanfaatkannya untuk mencapai perubahan sosial yang ditargetkan bersama.


Apa yang Harus Dilakukan: Basis Kegiatan Mengambil Keputusan

Menghadapi berbagai kelemahan rakyat yang pada umumnya membuat mereka selalu kalah dalam memperjuangkan hak-hak mereka, siapa pun yang terlibat dalam proses transformasi sosial menuju situasi yang lebih baik tidak bisa lagi hanya mengambil keputusan bertindak jika sedang ada masalah atau terjepit atau ada kasus saja, alias sambil lalu secara intuitif mengambil keputusan. Menghadapi keadaan semacam itu secara komprehensif, prosedur mengambil keputusan tidak bisa hanya sekedar menerapkan proses jangka pendek dan mengikutsertakan beberapa gelintir orang saja, tapi haruslah menempatkan proses fasilitasi dalam kesinambungan yang terus-menerus yang dapat dievaluasi dan diuji objektivitas kegunaannya. Detik-detik pengambilan keputusan bisa mendebarkan jantung para pihak, tapi juga dapat dideskripsikan dan diterapkan secara sistematis dan dalam ketenangan serta kemantapan, tanpa menimbulkan kehebohan.
Beberapa pokok berikut ini dapat menjadi bermanfaat sebagai bagian inti dari dimensi intelektual pengambilan keputusan, yakni:

a. Tujuan harus jelas!
Perlu dipertimbangkan apakah ada kesenjangan yang terlalu lebar antara keinginan dalam proses fasilitasi kita jalankan dan kemampuan yang ada? Antara apa yang disukai dan kemampuan kita dan kelompok dalam memrediksi tercapainya suatu tujuan yang ditentukan bersama? Apa saja masalah-masalah yang terkait dengan tujuan yang hendak dicapai bersama?

b. Belajar dari sejarah!
Mengingat tujuan yang hendak dicapai, belajar dari mereka yang berada pada garis perjuangan yang sama sangatlah penting. Siapa saja musuh-musuh dan para pesaing yang ada di sekitar? Dengan siapa aliansi dan koalisi dapat dibangun dan dijalin? Strategi apa yang cocok diterapkan? Hambatan-hambatan apa yang dapat diperkirakan akan menghadang upaya transformasi yang dilakukan? Sumber-sumber daya apa saja yang mungkin dimiliki? Teknik-teknik apa yang dapat dipelajari dan dikembangkan? Mungkinkah belajar dari keberhasilan dan kegagalan di masa lalu? (trend analysis)

c. Analisis faktor
Sejarah tak perlu berulang, kecuali dalam situasi yang sama dicapai suatu hasil yang (minimal) memang baik. Malah kalau bisa tentu opsi pilihan yang lebih baik yang harus ditetapkan dan dipastikan untuk masa depan yang diprogramkan bersama. Namun kondisi sering berubah, bisa perubahan total, atau bisa jadi hanya perubahan parsial. Belajar dari masa lalu pada aspek faktor-faktor yang berperan dalam seluruh proses transformasi dapat membantu menentukan opsi dan strategi di masa depan, tapi perlu ditegaskan sebelumnya perbedaan konteks keadaan di masa lalu dan masa yang akan datang.

d. Melakukan prediksi
Inilah salah satu tugas yang paling sulit mengingat tingginya tingkat represi dalam konteks sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Melakukan prediksi pada tingkat detil-detil perubahan pada ruang lingkup yang lebih sempit kiranya sangat dibutuhkan dewasa ini. Memang jarang ada nabi yang muncul di dunia modern ini, namun suatu proyeksi ke depan dengan mengetengahkan gambaran (sekalipun khayal atau kiasan) akan sangat berguna dalam proses komunikasi penguatan kelompok. Gambaran ini haruslah diintegrasikan ke dalam proses pengambilan keputusan untuk transformasi sosial yang diperjuangkan.

e. Menemukan atau menentukan alternatif
Jika rakyat yang berada pada posisi tertindas atau berada dalam konflik entah sifatnya vertikal atau horizontal sudah melakukan semua opsi dalam proses transformasi yang sejauh itu mampu dibayangkan dan dikembangkan tapi toh tetap tak menghasilkan perubahan apa pun yang ditargetkan, inilah saatnya para pihak, para pemuka di antaranya, ditantang secara jujur untuk menawarkan alternatif-alternatif. Dari para pihak yang terlibat dalam proses ini diharapkan munculnya cetusan-cetusan alternatif yang cerdas dalam strategi perjuangan. Inilah raison díËtre eksistensi dari proses transformasi konflik.

f. Jangan Lupa Tersenyum!
Nelson Mandela di Afrika Selatan, Dalai Lama di Nepal, atau pegiat perdamaian Adam Curle adalah orang-orang yang dilahirkan dengan "instink tersenyum". Thich Nhat Hanh seorang biksu, penyair tapi juga pegiat perdamaian dari Vietnam, tidak hanya tersenyum dengan "menentramkan hati" ketika konflik sedang melanda, tapi ia juga menegaskan praktik "tersenyum" sebagai metode transformasi konflik berakar dalam pengalaman kebijaksanaan tradisional. "Jika [hati] kita damai, jika kita bahagia, kita dapat tersenyum dan berseri-seri seperti bunga mekar, dan setiap orang di sekitar kita, dalam masyarakat kita mendapatkan rasa keberuntungan dari rasa damai dalam hati kita.î [Nhat Hanh 1987] Gagasan "tersenyum" sebagai pendekatan menyelesaikan konflik ini didasarkan pada keyakinan (teori) bahwa kita berasal dari sumber yang sama dan unsur-unsur dalam sumber yang sama itu saling tergantung satu sama lain (interdependent co-origination). Inilah bagian dari praktik "keprihatinan kita yang sungguh terlibat dalam masyarakat dan rakyat seumumnya". Keprihatinan ini mengingatkan kita bahwa para pihak dalam transformasi konflik juga harus ber tanggung jawab pada transformasi masing-masing dirinya sendiri bersamaan dengan proses transformasi yang dijalaninya. [Miall 2001]

Namun, tetap ada suatu pertanyaan yang mengganjal dalam hati kita. Kekalahan-kekalahan rakyat dalam menyelesaikan konflik berhadapan dengan negara, pengusaha dan sekutunya, belum tercerahkan juga bagaimana mengatasinya, kecuali mengujarkan bahwa diperlukan upaya-upaya menyeimbangkan. Memang, akhirnya semua ada di tangan kita sendiri. Namun, jika kita bertanya, dengan ujaran yang sedikit lebih tajam: Apakah ada kunci suksesnya dalam jangka relatif dekat ini? Berbagai jawaban muncul jika kita tanyakan kepada mereka yang bergulat langsung di lapangan. Beberapa alinea akhir ini mencoba menyarikan suatu alternatif jawaban mereka.

Kepada para pendamping dan mereka yang terlibat dalam usaha penyelesaian konflik, pada dasarnya rakyat berharap menjadi partner, tidak ingin ditunggangi, dipakai, dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingan rakyat. Rakyat ingin "dimudahkan" dalam usaha-usaha mereka menemukan jalan keluar. Itulah hakikat makna kata dari bahasa Latin "facil" yang kemudian kita pinjam untuk menyebut semua upaya penyelesaian konflik sebagai "fasilitator" atau "fasilitasi", pribadi-pribadi atau proses-proses yang diharapkan "memudahkan" hal-hal yang sulit, rumit dan penuh pertentangan.

Sementara dari cakupan makro, yakni ruang sosial, politik dan ekonomi, kunci sukses perjuangan rakyat pada dasarnya adalah terselenggaranya "wadah" (organisasi) dan tumbuhnya semangat dan kemauan untuk menghidupkannya. "Semangat" ini adalah basis kesadaran rakyat dan perjuangannya. Dalam semangat dan perwujudannya itu haruslah ada kekuatan untuk mempertahankan diri dengan memangkas setiap kecondongan membelokkan perjuangan menjadi lebih mengutamakan kepentingan individu, yang menyebabkan perjuangan menjadi terpecah-belah dan tak kuat. Kebersamaan yang sifatnya "kolektif" adalah unsur hakiki eksistensi organisasi. Semangat perjuangan itu berpusat pada rakyat itu sendiri sebagai manusia yang menjadi pusat keprihatinan. Kata lainnya yang dapat ditawarkan di sini: "ideologi petani-isme", "ideologi indijenusisme" (masyarakat adat), "ideologi rakyatisme", dll. Dari semangat ini dituangkan suatu perwujudan perjuangan panjang dalam mencapai "kemandirian politik dan logistik". Ruang politik ini akan dicapai jika integritas rakyat jadi utuh sehingga sanggup menjamin dirinya sendiri. Dalam aspek hukum dan budaya, kemandirian ini haruslah diwujudkan dalam proses pertumbuhan yang dijamin oleh mekanisme penentuan kesepakatan bersama. Rakyat yang mandiri adalah rakyat yang "kritis sekaligus sejahtera", seimbang antara eksistensi dirinya sebagai manusia dan alam di mana ia hidup.

Namun, pada masa sebelum Soeharto lËngsËr, organisasi-organisasi rakyat, termasuk yang berbasis sumber daya alam, barulah sekedar menjadi "kelompok-kelompok penekan" rejim otoriter. Kini perjuangan itu sudah akan harus berwujud suatu "gerakan politik rakyat" yang dijamin oleh organisasi yang mandiri. Salah satu unsur penyatu dan pengadanya adalah bahwa gerakan ini tidak bisa lagi hanya jadi semacam "gerakan moral", tapi sudah akan harus mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik. Di satu sisi, masih terus akan ada perdebatan tentang sarana-sarana mana yang lebih sesuai dengan ciri-ciri masing-masing kelompok rakyat yang berjuang, namun dalam kaitan dengan sumber daya alam suatu "sistem pengamanan hak milik" (tanah atau dalam bentuk yang lain; lokasi penangkapan ikan untuk nelayan, misalnya) adalah tak terelakkan, apa pun bentuknya. Di sini lain, sekarang sudah tak sedikit rakyat yang berbasis hidup pada sumber daya alam ini telah mampu melakukan desakan-desakan dan lobbies sendiri tanpa dikawal oleh pegiat dan pendorong gerakan moral. Mereka juga telah sedikit demi sedikit menambah kemampuan teknis yang dipelajari dan dikembangkan karena kebutuhan mendesak. Tapi cakupan unit perjuangan itu masih sempit dan terpisah-pisah karena umumnya lebih dominan di tingkat daerah dan sporadis di sana-sini. Sementara itu, ketidakjelasan dan kongkalikong secara halus di antara rejim di tingkat pusat dan daerah masih tetap sangat merugikan nasib rakyat sendiri. Tanpa suatu organisasi yang kuat, cita-cita ini tetap akan tinggal dalam pikiran saja, ketika peluang yang kita lihat sampai titik ini tak juga menjadi mobilizing points untuk maju selangkah lagi. Sampai pada tahap kesadaran ini, ruang politik yang lebih leluasa untuk rakyat bagaimana pun menjadi kebutuhan yang dirasa mendesak.***