Catatan: Analisis kasus berikut ini telah diterbitkan dalam buku sumber karya Ichsan Malik, Boedhi Wijardjo, Noer Fauzi dan Antoinette Royo, berjudul “Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam”, diterbitkan oleh Yayasan Kemala, Jakarta, 2003, h500-06. Saya berterimakasih kepada Adhi Prasetyo, sebagai advokat masyarakat dari RACA Institute di Jakarta; dan Antoinette Royo yang telah memberikan banyak masukan.
===============================================
PENTINGNYA pengawalan dari para pendamping, pegiat, organisers, dan para lawyers yang terbuka untuk dimensi perjuangan non-peradilan, terutama pada saat terjadi perundingan-perundingan, adalah pelajaran yang penting yang dapat ditarik dari kasus konflik tanah yang terjadi antara warga masyarakat desa Ciseru, kecamatan Cipari, kabupaten Cilacap, Jawa Tengah melawan perkebunan yang lebih dikenal dengan nama desa itu sendiri tapi berada di bawah manajemen PT Indo Java Rubber Planting Company ókasus laten ini jadi terbuka setidaknya sejak 1998.
Analisis kasus ini membahas secara khusus tentang proses menyeimbangkan kekuatan rakyat dan membuka jalan-jalan non-peradilan yang dapat membantu menyelesaikan konflik. Kiranya menjadi revelan di sini jika kita simak lebih jauh lagi proses penguatan yang terjadi pada kasus ini dan secara khusus menyoroti kasus proses "negosiasi" yang berlangsung. Negosiasi atau perundingan antara petani dan para pihak lain sempat terjadi dalam kasus konflik tanah warga Ciseru. Ini prestasi tersendiri yang patut ditarik pelajaran.
Tawaran Negosiasi yang Tak Sempat Ditanggapi Sepenuhnya
Cilacap, Jawa Tengah. Sekitar pertengahan 2000. Setelah rentetan kejadian yang cukup keras melanda warga desa Ciseru yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan karet itu, pemerintah kabupaten Cilacap, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, Kanwil BPN Jawa Tengah, BPN Cilacap, akhirnya mau melakukan "negosiasi secara serius" dengan warga "Ketanbanci". Sebutan ini, kependekan dari "Kelompok Tani Korban Ciseru Cipari", dipakai oleh warga desa tersebut untuk menyintalkan identitas perjuangan gerakan penyelesaian konflik tanah. Di satu sisi, pasca pemenjaraan beberapa warga petani dari desa yang memperjuangkan hak tanah itu, Desember 1999, kampanye kasus konflik tanah itu di tingkat nasional memang membawa dampak positif. Namun, di sisi lain, proses pengurusan kasus tindak pidana oleh polisi dan aparat hukum lainnya tetap terus berjalan sehingga menguras tenaga para pegiat bantuan hukum dan para organisernya. Jumlah pengacara publik yang tersedia dan diakui dalam sistem yurisdiski setempat juga tak memadai, meskipun dana relatif masih tersedia.
Dalam keadaan susah payah semacam itu, tawaran dan proses negosiasi akhirnya tak sempat diurus dengan baik. Namun, barangkali juga diakibatkan oleh bias institusi lembaga bantuan hukum. Akibatnya, pengawalan tak bisa dilakukan secara optimal baik oleh warga petani Ketanbanci sendiri, Serikat Tani Merdeka (SeTAM) maupun divisi tanah dan lingkungan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. LBH Yogyakarta waktu itu sangat disibukkan dengan proses litigasi atas 36 anggota Ketanbanci yang dituduh melakukan aksi perusakan truk Brimob Polwil Purwokerto dan Polres Cilacap. Kasus pidana itu sendiri dipecah menjadi lima kasus sehingga jadi beban yang lebih merepotkan para pegiat bantuan hukum.
Ada satu skenario pembusukan terhadap gerakan warga desa Ciseru dan para pendukungnya tetap berlangsung. Seorang pemuka para wakil rakyat setempat yang berpengaruh dan sesungguhnya juga disegani oleh warga kabupaten melakukan "pendekatan" terhadap keluarga-keluarga yang dikriminalkan dan warga-warga lain dari desa itu agar tidak lagi bergabung dengan SeTAM dan memutuskan hubungan dengan LBH Yogyakarta. Namun, upaya penggembosan organisasi tani tersebut tidak menyurutkan langkah perjuangan. Pengurus organisasi tani yang masih tersisa bersama dengan SeTAM dan LBH Yogyakarta melakukan kampanye kasus di tingkat nasional dengan mendatangi BPN, Komnas HAM dan lembaga jaringan gerakan lainnya untuk ikut mendapatkan dukungan dan melakukan berbagai tekanan dalam bentuk apa saja yang mungkin.
Pada skenario lain muncul pengacara umum lokal di tingkat kabupaten yang disewa oleh perusahaan perkebunan PT Indo Java Rubber Planting Company giat memanfaatkan situasi tak menguntungkan bagi para petani Ketanbanci itu. Pengacara tersebut ótentunya didasarkan afirmasi sikap perusahaan sendirió menawarkan "kue kecil" yang dipandang akan menenteramkan situasi secara umum, yaitu tanah seluas 11 hektar yang hendak diserahkan secara "formal" kepada warga desa Ciseru. Semua isu kasus Ketanbanci total bergeser hanya ke "kue kecil" itu. Perhatian warga Ciseru yang sudah klenger karena pemenjaraan para tokoh petaninya, juga tak bisa lepas dari "kue kecil" ini. Ini hebatnya manuver para "tokoh" lokal itu. Pemuka wakil rakyat berpengaruh sendiri juga mendukungnya. Dalam pertemuan-pertemuan dengan para pihak dan juga ketika berkunjung ke keluarga para petani yang dipenjarakan ia berucap: "Perjuangan menuntut hak atas tanah tidak harus dilakukan dengan kekerasan."
Kondisi sudah menjurus pada satu arah yang memihak pemuka masyarakat setempat. Dengan membawa "kue kecil" itu, mereka mendekati tiga orang tetua di sekitar desa Ciseru: pertama, "Bapak" Abdullah (yang kuat posisinya sebagai pemimpin budaya dan agama tapi dalam pandangan dunia yang kelabu)1; kedua, "Bapak" Suksdino (seorang mantan kepala desa dari desa yang bertetangga dengan desa Ciseru); dan ketiga, "Bapak" Ahmad Sulaya (seorang aktivis partai politik setempat). Suatu kekuatan bikinan baru dalam rejim setempat mendorong munculnya tiga orang tokoh itu yang kemudian menamakan diri mereka sebagai "jembatan" antara pemerintah, DPRD dan perkebunan. Inilah skenario "negosiasi" yang selayaknya patut dijadikan titik tolak bagi warga desa untuk melanjutkan tawar-menawar. Sayangnya, tawaran itu tak sempat lagi ditanggapi sepenuhnya, sementara tenaga para pendamping sudah habis. Akibatnya negosiasi terasa sudah ditentukan hasilnya: tanah seluas 11 hektar. Lumayan memang, tapi tak sebanding dengan investasi perjuangan yang telah dipasokkan ke kasus Ciseru selama itu.
Kondisi Ketanbanci yang baru saja mengalami tindak pemidanaan dan trauma pemenjaraan tidak mampu merespons dengan baik sehingga tiga orang tokoh lokal "jembatan" itu membelokkan proses "negosiasi", yang dibuat "seolah-olah petani melakukan gugatan terhadap perkebunan dan tercapai perdamaian." Perundingan dan tarik ulur ini sendiri berjalan cukup alot. Di tengah-tengah keadaan setengah sadar, para warga Ciseru dan para pendukungnya masih mencoba mengajukan prasyarat minim, yaitu pertama, perundingan tak boleh dihadiri oleh aparat militer (babinsa atau kodim setempat) karena kasus ini bukan urusan mereka; kedua, posisi duduk para warga Ciseru dalam perundingan harus berdekatan dengan pintu untuk memastikan praktisnya kemungkinan mengambil sikap untuk menggantungkan buntu selisih sikap dengan "walk-out".
Dalam proses perundingan itu hampir seluruh analisis masalah kasus bergeser. Proses itu memaksa warga Ciseru tak berbicara lain kecuali menerima tiga caucus perundingan. Pertama, menambah kehadiran orang-orang yang mengklaim hak atas tanah sengketa; jumlah 287 kepala keluarga yang mengklaim ditambah menjadi 451 nama, berarti ada 164 nama baru, yang ternyata alamat-alamat pribadinya kebanyakan berada jauh di luar kawasan desa Ciseru sendiri (Jakarta, Kebumen, Semarang, dll), óyang buntutnya setiap orang hanya memperoleh 243,9 meter persegi saja, jauh dari tuntutan semula seluas 1.393,7 meter persegi; kedua, menyingkirkan beberapa nama penting yang saat itu sedang menjalani proses pemenjaraan (Sudiran, Sardju, dan puluhan orang lainnya) ópara motor gerak rakyat; ketiga, pembentukan tim verifikasi pemilikan hak atas tanah itu yang (harus) dianggotai oleh BPN Cilacap, polisi setempat, pengurus Ketanbanci, ketiga tokoh "jembatan", camat Cipari dan masih dipaksakan hadirnya babinsa.
"Tokoh jembatan (seolah-olah juga) melakukan kompromi" dengan pengacara perkebunan dan mengatasnamakan petani menyatakan bersedia untuk mengakhiri sengketa dan pihak perkebunan menyerahkan tanah HGU-nya seluas 11 hektar. Perdamaian tersebut ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Cilacap melalui Putusan Perkara Perdata No 42/PDT.G/2000/PN.Clp, 14 November 2000, dengan rumusan warga Ciseru "tidak akan mengganggu gugat lagi, baik langsung maupun tak langsung, semua tanah HGU perkebunan."
Setelah "negosiasi" tersebut usai hanya dalam dua kali pertemuan pembukaan dan penutupan, perjuangan dilanjutkan dengan proses pelepasan HGU dan pengukuran tanah sampai dengan proses sertifikasi. Walaupun telah memperoleh tanah seluas 11 hektar, beberapa tokoh Ketanbanci masih menganggap perjuangan belum berakhir.
Sebelum mengalihkan strategi, masih ada pelajaran yang perlu ditarik, untuk fakta proses "negosiasi" itu sendiri: Jika semua sumber kekuatan dapat dipersiapkan dengan baik, sebuah tawaran dari pihak yang kuat selayaknya diterima sebagai suatu bentuk titik awal dari sikap terbuka untuk berkomunikasi dan melakukan negosiasi. Sekalipun tawaran itu bisa jadi dirasakan mencurigakan karena belum terkuak semua ruang lingkupnya, namun jika dilanjutkan dengan terus menawar (misalnya meningkatkan jumlah luasan hektar tanah yang ditawarkan), titik awal itu menjadi peluang yang dapat membuka komunikasi selanjutnya. Apalagi tawaran itu sudah diberi kerangka sementara dalam bentuk suatu "negosiasi" oleh pihak lain. Namun, ada prasyaratnya, jika suatu proses negosiasi secara serius hendak dilakukan, semua persiapan termasuk waktu, perhatian dan tenaga negosiator, lawyers dan tim kerja yang siap menanggapi hendaknya sungguh-sungguh tersedia dan diupayakan.
Sekarang keadaan konflik tanah dan kondisi para petani memang sudah seperti harus mulai dari "dasar" lagi. Kasus negosiasi Ketanbanci yang tak sempat ditawar dan ditanggapi lebih serius itu kini mendorong banyak pihak di sekitar kawasan kabupaten Cilacap memperhatikan banyaknya warga petani yang mengalami kasus konflik tanah yang sejenis. Hasil dan pelajaran dari perjuangan warga desa Ciseru dilirik oleh banyak warga petani yang lain, meskipun sementara itu hasil "negosiasi" tersebut terasa bukan apa-apa, karena tak sebanding dengan apa yang (semula) dituntut petani. Warga Ciseru sendiri bermaksud melanjutkan perjuangan memperoleh kembali sisa hak tanah yang masih berada di bawah perusahaan perkebunan dengan cara membuka peluang-peluang baru. Sementara itu disadari pula bahwa terlalu memusatkan pada konflik tanah sendiri akan menutup kemungkinan perluasan perspektif kepemilikan tanah yang berkorelasi dengan cakupan sosial politik yang lebih luas dan lebih memungkinkan dibukanya prospek positif penguatan masyarakat tani.
Inilah saatnya membuka koalisi dengan para warga petani lain di sekitar kabupaten Cilacap untuk perlahan-lahan membangun kekuatan yang akan lebih menghasilkan tombak perjuangan yang lebih tajam dengan hasil capaian yang lebih memadai. Sejak tiga tahun terakhir telah tergabung aliansi petani dalam lima kelompok: (1) kelompok Singa Tangi [Indonesia: "singa bangkit"] dari desa Mekarsari, kecamatan Cipari; kelompok ini menuntut lahan tanaman basah dan kering seluas 150 hektar [atas nama 366 orang petani] terhadap tanah yang dikuasai oleh PT Rumpun Sari Antan [RSA], sebuah perusahaan perkebunan kakao; (2) kelompok Mangkubumi, dari desa Karangreja, kecamatan Cipari; kelompok ini mengupayakan advokasi terhadap kasus tukar guling tanah seluas 34 hektar dari 106 orang petani yang juga dikuasai oleh PT RSA; (3) kelompok Cinta Tani, dari desa Wanareja, kecamatan Cipari; petani di desa ini menghadapi sengketa tanah yang dikuasai oleh PT Perkebunan Negara setempat seluas 85 hektar, terdiri dari 284 orang petani; (4) kelompok Tri Manunggalsari; organisasi tani setempat yang terdiri dari warga kecamatan Cipari dan beberapa warga desa lain, di antaranya desa Penyerang, kecamatan Sidareja; desa Cidadap dan desa Citayem dari kecamatan Karang Pucung; dan desa Bantar Panjang, kecamatan Cimangu; (5) kelompok Mukti Sari, dari kecamatan Gandrungmangu; petani di desa ini menghadapi sengketa tanah seluas 34 hektar dengan Perhutani setempat.2 Pada umumnya kelompok-kelompok tani berkasus ini sedang menjalani proses pendataan kepemilikan dan mendesakkan pengakuan kepada pihak-pihak instansi pemerintah setempat.
Sorot Balik: Proses Penyeimbangan Kekuatan pada Tahap Awal
Warga masyarakat membuka tanah (trukah) pada masa penjajahan Belanda dan hasil trukah tersebut ditengarai sebagai tanah kemenangan rakyat. Semua pihak tampaknya mengingat trukah ini sebagai titik sejarah awal kepemilikan atas sebidang tanah, yang kini tak sepenuhnya berada di tangan warga itu. Tanah tersebut mulai digarap secara intensif oleh petani sejak tahun 1942 dengan luas kurang lebih 45 hektar. Tanggal 4 Maret 1955 tanah garapan petani tersebut memperoleh tanda hak yang disebut sebagai "kartu kuning".
Namun tahun 1966 tanda hak tersebut dirampas oleh aparat tanpa alasan yang jelas. Kondisi politik gonjang-ganjing paska tuduhan pemberontakan G30S/PKI tampaknya menutup semua jenis pertanyaan yang muncul dalam pikiran rakyat. Paska perampasan tanda hak sebagian petani masih menggarap tanah tersebut tapi diharuskan melakukan bagi hasil dengan perkebunan: 40 persen untuk perkebunan dan 60 persen untuk penggarap. Yang lebih parah lagi, mulailah 1973 terjadi penggusuran secara besar-besaran oleh pihak perkebunan dengan dibantu oleh aparat keamanan.
Perjuangan untuk pengembalian hak atas tanah yang telah dirampas telah dimulai tahun 1984 dengan masih mengandalkan keberanian dari beberapa tokoh masyarakat. Selama masa sulit di bawah rejim Soeharto, hanya seorang petani bersemangat bernama Sudiran yang menjadi penggerak utama dari keseluruhan 280 kepala keluarga petani yang mengklaim balik kepemilikan tanah seluas lebih dari 45 hektar.
Aksi menuntut hak dengan cara reklaiming memang telah sekali dilakukan selama rejim otoriter Soeharto masih berkuasa. Tahun 1985 tanah seluas 12 hektar dengan 227 pemilik telah dikuasai kembali oleh petani. Sertifikat baru keluar 1988.3 Pengalaman tahun 1985 ini menjadi ancangan untuk perjuangan tahap berikutnya, kendati situasi sosial politik masih tetap represif. Satu-satunya ruang terbuka hanyalah bentuk formal melayangkan surat desakan tanpa kekuatan melakukan tekanan apa pun. Tapi semua warga sangat sadar bahwa tanah itulah milik mereka. Para tetua warga mengisahkan riwayat keringat dan banting tulang yang mereka lakukan untuk membudayakan tanah milik itu.
Waktu itu penuntutan petani hanya dilakukan dengan mendatangi instansi terkait, yaitu BPN, departemen dalam negeri, Pemda provinsi Jawa Tengah dan Pemda kabupaten Cilacap. Pengajuan tuntutan pada waktu itu sifatnya masih insidental sehingga dirasakan tidak memberikan hasil yang memuaskan. Belum ada strategi yang lebih terpadu, sementara situasi politik memang represif. Namun, dengan keterbukaan paska pergeseran rejim Mei 1998, gerakan perjuangan pengembalian hak dirasakan oleh petani perlu mendapatkan dukungan dari pihak-pihak lain.
Dukungan diperoleh ketika petani mengadukan permasalahannya kepada LBH Yogyakarta, 21 Juni 1998. Itu pun dengan jalan memutar karena ketaktahuan mereka mengenai persoalan yurisdiksi sistem peradilan dan lembaga bantuan hukum di Indonesia. Semula mereka menghubungi LBH Bandung, lalu LBH Semarang, dan akhirnya perpaduan dengan divisi tanah dan lingkungan dari LBH Yogyakarta membuahkan proses belajar yang dapat ditarik di sini.
"Ketanbanci": Trademark Pengorganisasian Petani
Julukan "Ketanbanci" muncul dalam suatu pertemuan awal untuk memperjelas identitas perjuangan menuntut balik tanah hak milik itu. Pengorganisasian dimulai dengan membentuk kelompok kerja ini yang difasilitasi oleh LBH Yogyakarta pada tanggal 21 Oktober 1998. Semula hanya 19 orang warga desa Ciseru yang terlibat, ójumlah yang tak banyak jika dibandingkan dengan kehendak dan cita-cita perjuangan mendapatkan kembali tanah, tapi dari praktik organisasi tampak sedikitnya jumlah tidak menyurutkan langkah untuk berjuang menuntut keadilan dan pengembalian hak dengan terus melakukan komunikasi dan koordinasi.
Dalam perjalanan yang singkat selama 15 bulan antara Oktober 1998 sampai awal Desember 1999, anggota Ketanbanci semakin bertambah. Momentum reformasi membuka peluang mengorganisir rakyat. Kekuatan massa di bawah sudah mencapai 10.000-an jiwa penggugat kepemilikan, baik langsung maupun tak langsung. Bersamaan dengan itu, pertengahan 1999 fasilitasi dari LBH Yogyakarta mendorong berdirinya Serikat Tani Merdeka, sebuah organisasi yang memayungi seluruh perjuangan petani berkasus di Jawa Tengah bagian selatan.
Reklaiming: Sebuah Pilihan Moral
Sementara itu, dukungan ribuan warga desa Ciseru sendiri sudah ada di tangan, karena kondisi pematangan yang tampak sudah lama dilakukan, sampai ke bentuk potensi aksi lapangan, meskipun masih harus selalu dicek lagi oleh para pendamping. Rapat-rapat yang lebih representatif perlu didesakkan agar rencana aksi dapat sungguh jadi terkontrol. Alat komunikasi kampung loud speakers yang biasa dipakai untuk acara perkawinan atau di masjid-masjid disewa untuk mengoordinasikan rapat-rapat bersama menuju proses mengambil keputusan.
Kombinasi pengurus yang cukup ideal kiranya memperkuat pemusatan tombak perjuangan. Sudiran adalah tipe pribadi keras dengan pilihan-pilihan aksi lapangan, Priyono berkepribadian "penuh perhitungan", sementara Sardju adalah seorang "administrator yang baik". Tarik ulur pilihan politik berjalan alot. Jalur formal mendesak instansi-instansi pemerintah, sementara ini, telah dilalui. Masih juga ada yang luput dari potensi aktualisasi kekuatan. Aksi penyeimbangan kekuatan apa lagi yang diperlukan? Pilihan publik tokoh Sudiran rupanya sudah lama mendapatkan momentumnya: tindak nyata memiliki kembali tanah itu harus dilakukan! Reklaiming itulah pilihan yang diperdebatkan dalam rapat-rapat mengambil keputusan. Tapi, mana yang hendak dipilih dalam tindak reklaiming? Menanam dulu dengan berbagai tanaman tumpang sari di antara pepohonan karet, meracun pohon-pohon karet, atau aksi cepat: tebang semua, besok dibersihkan dan lusa bisa ditanam? Masing-masing tindak ini memiliki bobot politik lokal yang berbeda. Pada pilihan yang paling kontroversial, dampaknya dapat jadi tak terduga.
Sementara itu perlu diingat pula, masih tetap adanya selisih pendapat di antara para pegiat petani sendiri tentang pilihan tindak reklaiming. Organisasi intervensi dengan bobot legal di bidang hukum membawa bias tak akan menyetujui aksi yang menjurus pada isyu moral politik yang memiliki implikasi hukum pidana. Sementara konsep perjuangan non-pengadilan belum lagi berkembang. Pilihan-pilihan di luar hukum formal masih sepi dari tanggapan masyarakat, sekaligus tak dapat dibicarakan secara antisipatif-konkrit, kecuali praktik lapangan sendiri yang akan menentukan arah ke mana hendak melangkah. Apakah arti kata "siap" dari para petani sendiri jika pilihan mereka adalah aksi reklaiming dengan total menebang pohon-pohon karet yang sementara itu didukung oleh rejim koersif yang masih efektif? Apakah harus dicegah?
Reklaiming dan Pemidanaan
Tapi, tanggal 7 Desember 1999 menentukan. Bulan puasa. Dilakukan pematokan atas tanah sengketa, kemudian dilanjutkan dengan aksi reklaiming dengan melakukan penebangan semua pohon karet yang ada di tanah sengketa.
Sudah diduga atau pun sengaja tak mau menduga karena pilihan sudah dirasakan matang: aksi reklaiming itu bukan tanpa perlawanan dari aparat keamanan. Aparat keamanan menyikapinya dengan mengirimkan dua truk pasukan Brimob. Hari pertama polisi mobil itu (masih) diam saja. Hari kedua, setelah sahur semua siap sedia sampai dengan lima chainsaws dan parang, warga terus menuju ke lahan hak milik mereka tapi diklaim dengan hukum formal perkebunan milik perusahaan atau lahan sengketa. Pembabatan dilanjutkan. Aparat keamanan meminta petani untuk menghentikan aksi rekaliming tapi para petani tak menghiraukan. Polisi rupanya kesal dan nekad menembak-nembakkan senapan. Memang tak ada korban sampai tewas, tapi sebutir peluru panas melukai pangkal paha kanan seorang kiai tokoh masyarakat warga itu. Seorang kiai tokoh masyarakat tertembak? Ini massa kritis! Bunyi titir ketongan bertalu. Ledakan kemarahan petani tidak dapat dikendalikan. Bentrokan fisik antara petani dengan aparat keamanan terjadi dan dua truk Brimob dibakar oleh massa. Akibatnya, ratusan warga diseret dan diangkut ke Polres Cilacap.
Hari ketiga, aksi reklaiming mereda tapi konsolidasi warga sangat mendesak dilakukan. Para pegiat ikut serta memperantarai sebagai pendukung hak milik petani. Keadaan dapat dikendalikan, sementara polisi mobil tetap berjaga. Begitu pegiat bantuan hukum pergi untuk mengurus kasus penangkapan, saat itulah polisi mobil merangsek warga desa, mengobrak-abrik perumahan warga dan menangkap tokoh petani Sudiran. Para pegiat merasa kecolongan tapi toh kesadaran utuh masih terbatas. Proses belajar warga dan para pendampingnya terus berjalan. Total 36 warga termasuk semua pengurus inti Ketanbanci harus meringkuk dalam penjara, kecuali Priyono.
Ketanbanci mengalami banyak kendala paska "kriminalisasi". Kelompok inti pejuang petani sendiri kocar-kacir. Konsolidasi kelompok tani korban ini tak bisa diteruskan lagi. Para istri mereka menangis mengibakan hati. Bagaimana nasib suami saya di tahanan? Mereka belum biasa menghadapi kejadian semacam ini. Tenaga para pegiat bantuan hukum habis untuk mengurus proses legal pidana. Proses-proses non-pengadilan jadi terbengkalai, tak terperhatikan. Depresi di antara para petani semakin terasa. Para tetua warga Ciseru yang semula diam tak mempertanyakan, kini mulai bimbang pada tindak pemenjaraan warga desa. Pemenjaraan berdampak pada timbulnya rasa rendah diri. Kadangkala, terasa akut dan mengecutkan hati. Di sinilah para pegiat bantuan hukum ditantang untuk berperan menguatkan mental dan semangat petani. Banyak macam cara dapat dilakukan. Intinya adalah bahwa hukum yang berkeadilan harus tetap ditegakkan.
Dampaknya sangat terasa, karena kegiatan non-pengadilan sendiri praktis tetap berhenti, padahal kegiatan itu semestinya lebih ditekankan. Lowong kemasyarakatan dari upaya penegakan keadilan sejati di ruang publik artinya adalah peluang bagi rejim lokal baru untuk memulai menggencarkan proses pembusukan terhadap Ketanbanci. Isyu agama yang sifatnya sensitif pernah dilancarkan. Ketanbanci diisyukan telah mengorbankan suatu umat beragama hanya karena ketua organisasi tani berlainan agama. Dampaknya memang terasa berat, bagaikan dicubit tapi dengan catut membara yang baru saja dipanaskan dalam api. Setelah mengambil tindakan "memotong sebelah tangan sendiri", penyelesaian masalah ini hanya dapat disilih dengan mengedepankan payung organisasi SeTAM, tapi sekaligus juga dengan penampilan yang low-profile.
Gema publik dari kasus Ketanbanci ini sendiri terasa cukup heboh dalam masyarakat di kabupaten Cilacap dan Jawa Tengah. Belum pernah ada kejadian di mana rakyat, yang selama ini tertindas di bawah rejim otoriter, (berani) membakar truk aparat keamanan negara, aparat negara óartinya melawan negara juga secara langsung. Memang, dalam kesadaran para petani yang melakukan reklaiming, negara itu tidak ada. Ketua DPRD Cilacap sangat menyadari pilihan moral politik para petani yang telah lama memendam persoalan hak milik tanah mereka. Ketika berkunjung ke penjara, ia mendukung para tertuduh aksi pembakaran truk dan penghasutan masyarakat dengan pesan moral sekedar menghibur: "Orang-orang ini (warga Ciseru) jangan diapa-apakan ya .." Peran pegiat bantuan hukum sendiri tetap dihormati baik di penjara dan di pengadilan. Inilah potensi kekuatan yang masih ada di tangan para pejuang keadilan.***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment