Ringkasan
Bukan tak mungkin jajak pendapat dipergunakan untuk membantu proses rekonstruksi suatu komunitas yang hancur karena kekerasan seperti kerusuhan sosial, genosida, perang, dll. Untuk konteks pasca konflik dan bentrok kekerasan, pada saat yang tepat dan kebutuhan yang mendesak, metode jajak pendapat mendorong proses pembentukan kesadaran anggota masyarakat dari segi peranan sosio-politik komunitas yang terkoyak oleh konflik. Sekalipun biasanya dipakai untuk mengetahui suatu fenomena sosial secara umum dan dalam waktu yang cepat, seperti sering dipraktikkan oleh media massa atau lembaga-lembaga riset sosial, jajak pendapat yang dilaksanakan secara partisipatif dengan kerjasama pihak-pihak bertikai dalam proses pembangunan masyarakat mendorong proses penyelesaian konflik.
Kasus jajak pendapat di kawasan konflik Maluku membuktikan bahwa cara ini tidak hanya mendorong proses transformasi konflik, tapi membantu penguatan proses perdamaian yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bertikai sebagai bagian utuh dari proses itu. Temuan lain dari jajak pendapat ini memperlihatkan bahwa integritas hubungan sosial dalam masyarakat Maluku dalam konflik berdarah yang terjadi tidak hanya rusak di kota tingkat provinsi tapi jauh sampai ke pedesaan dan bahwa peranan integritas pengolahan informasi secara memadai kiranya meredam dan mencegah eskalasi konflik berkepanjangan.
* Untuk mendapatkan diagram dan tabel yang lain, silakan menghubungi penulis.
TULISAN ini mengeksplorasi, pertama, sebagian proses transformasi konflik dan latar belakang konseptualnya, dan kedua, bagaimana menempatkan jajak pendapat dalam proses itu berserta konfrontasi dengan hasil penjajakan. Diharapkan dapat diketengahkan di sini suatu kemungkinan survey yang cukup mudah dan terbuka yang mampu melibatkan para peserta-pihak dari suatu proses transformasi konflik. Latar belakangnya: di satu sisi, survey yang rumit dan teoretik sering membuat para peserta-pihak sulit mengikuti apalagi berpartisipasi dalam perancangan dan prosesnya; di sisi lain, dirasakan adanya kebutuhan akan sebuah petunjuk yang jelas tentang keadaan masyarakat. Dapat dibayangkan di sini ketika masyarakat kebingungan dan informasi simpang siur --sebagai bagian dari konflik itu sendiri--, suatu investigasi konvensional atau penelitian, bahkan intervensi transformasi konflik yang meleset perhitungan tentu jadi sulit dilakukan karena kondisi tak memungkinkan. Di situ jajak pendapat yang bersifat partisipatif mungkin dilakukan untuk mendorong gerak proses penyelesaian konflik yang melanda suatu kawasan.
Namun, ada satu hal yang perlu dicamkan agar tidak salah dimengerti. Jajak pendapat seperti seumumnya diketahui pada prinsipnya tidak pertama-tama "diarahkan untuk mengubah masyarakat" atau pun menjadi suatu cara standar melakukan penelitian ilmiah dalam bidang ilmu-ilmu sosial yang konvensional. Dalam hal ini jajak pendapat dirancang untuk (hanya) dapat membantu dan mempermudah suatu proses sosial yang dijalani oleh suatu masyarakat. Dan, dalam kaitannya dengan penelitian, hasil jajak pendapat kiranya dapat membantu memperkuat argumen yang berhubungan dengan riset konflik sosial, apa pun latar belakangnya.
Di samping itu, saya juga mencoba melengkapi pemahaman transformasi konflik ini dengan suatu alternatif pendekatan yang berasal dari bidang ilmu sosial politik terhadap fenomena kekerasan etnik. Dari sini saya mencoba menarik simpulan awal yang diharapkan dapat menjadi tumpuan untuk melakukan pengamatan lebih jauh lagi. Proses transformasi konflik ini tak hanya bergantung pada opsi "partisipatif" tapi juga "keterlibatan yang lebih objektif". Keduanya kiranya memiliki sumbangan yang dapat membantu proses penyelesaian konflik baik pada taraf kebijakan maupun pada taraf pelaksanaan program kemasyarakatan seperti "rekonstruksi komunitas pasca konflik".
1. Proses umum jajak pendapat dan transformasi konflik Maluku
Dalam proses transformasi konflik (transkonflik) yang diupayakan sampai saat ini di Maluku Tengah, sudah tiga kali dilakukan jajak pendapat oleh upaya transkonflik yang kemudian dinamai "BakuBaeMaluku". Sebagai salah satu bentuk kegiatan menuju penyelesaian konflik, jajak pendapat dilakukan bersama dengan para peserta-pihak dari kawasan konflik pulau Ambon dan sekitarnya, selama dan setelah terjadi bentrok berdarah yang menewaskan ribuan nyawa manusia sejak 1999. Sebagai sebuah opsi cara ini diterapkan untuk "membantu dan mendorong dan meningkatkan mutu" proses penyelesaian konflik di Maluku.
Jajak pendapat yang pertama (JP1) dilaksanakan sekitar bulan September 2000. Hasil jajak pendapat kemudian memperkuat dasar pelaksanaan pertemuan transkonflik berikutnya yang dilaksanakan Oktober 2000 di Denpasar, Bali, yang melibatkan dua kali lebih banyak jumlah peserta-pihak dibandingkan yang pertama. Salah satu di antara hasil pertemuan ini adalah rekomendasi untuk melakukan jajak pendapat berikutnya (JP2).
JP2 memusatkan perhatian pada masalah ekonomi dan pendidikan. JP2 dilakukan November 2000 di pulau Ambon dan sekaligus menjadi suatu bentuk persiapan penyelenggaraan pertemuan transkonflik berikutnya (ke-4) yang dihadiri lebih dari 100 orang yang berkepentingan dengan proses penyelesaian masalah konflik Maluku di Yogyakarta, Desember 2000. Hasil survey JP2 dipaparkan pada para hadir agar mereka mendapatkan gambaran keadaan "faktual di lapangan". JP2 juga dimaksudkan untuk mempersiapkan kegiatan-kegiatan ekonomi kecil dan pendidikan yang direncanakan sebagai bagian dari program penyelesaian masalah konflik di Maluku Tengah. Dari pertemuan tersebut diharapkan dicetuskan rekomendasi yang "memadai karena ancangan yang disusun didasarkan pada fakta".
Jajak pendapat ketiga (JP3) dilakukan Maret dan April 2002, setelah pemerintah pusat melakukan upaya sejenis yaitu penyelesaian konflik Maluku yang dijuluki dengan "Perjanjian Malino" (Februari 2002). Pertemuan Malino dirasakan oleh kebanyakan peserta transformasi konflik BakuBae sebagai "terlalu mengutamakan kalangan politik lokal dan nasional", sehingga tampak lebih sulit dibayangkan "dapat menjangkau kepentingan masyarakat korban di bawah". Karenanya, suatu kegiatan JP dirasa perlu dilakukan lagi untuk mengetahui sejauh mana masyarakat Maluku (masih) mendukung proses penyelesaian konflik yang khas itu, yaitu dengan pendekatan "mengutamakan para korban kekerasan" atau "pendekatan dari bawah".
Untuk mengantar hubungan antara jajak pendapat dan proses transkonflik, pada bagian berikut ini perlu dijelaskan latar belakang konseptual dan sebagian praksis dari upaya transformasi konflik. Latar belakang ini mencoba memberi penjelasan bahwa jajak pendapat partisipatif mendukung proses perdamaian.
2. Rancangan konseptual dan capaian proses perdamaian
a. Konsep proses perdamaian
Dalam "pengurusan konflik" setidaknya dikenal tiga model: manajemen konflik, resolusi konflik, dan transformasi konflik (Miall 2001). Model penyelesaian yang dilakukan oleh para peserta-pihak BakuBae bersama dengan para inisiatornya pada dasarnya lebih condong pada model ketiga. Istilah dan model "transformasi konflik" ini dicoba dikembangkan untuk mencakup keluasan masalah konflik di Maluku dan berbagai daerah lain di Indonesia pada umumnya dalam konteks sosial dan politik masyarakat Indonesia.
Mengacu pada pemikir terdepan dari pendekatan "transformasi konflik", psikolog sosial J.P. Lederach, yang banyak diacu oleh para praktisi, pilihan ini diambil terutama karena menyadari kompleksitas yang lebih rumit lagi yang berkaitan dengan masalah transisi politik di Indonesia setelah pergantian rejim 1998. Berbeda dari pilihan "manajemen konflik", transformasi konflik menyediakan peluang lebih banyak kepada para aktor transformasi dalam menghadapi tantangan konflik di tengah rumitnya situasi kekerasan masih sedang terjadi atau baru saja terjadi dan masih belum jelas apakah sudah akan berhenti. Namun pendekatan ini tak dirasakan mencukupi dan harus digabungkan dengan model "resolusi konflik".
* Keberatan terhadap model "manajemen konflik"
Teori "manajemen konflik" mengandaikan interaksi dengan lembaga-lembaga yang langsung jelas (bersedia) bertanggung jawab atas kekerasan yang terjadi. Dalam interaksi itu bukan pilihan "menyingkirkan konflik dengan jalan kekerasan" yang dilakukan, tapi berinisiatif menangani pertentangan posisi lembaga-lembaga yang berkonflik. Model ini kiranya membawa risiko lebih tinggi ketika diterapkan di kawasan konflik. Dapat dibayangkan di sini lembaga TNI di tingkat komando lokal, polisi daerah, pemerintah daerah provinsi, pemerintah kota Ambon dan kabupaten yang lain, DPR tingkat provinsi dan kota/kabupaten, ormas keagamaan, pemuka partai politik di tingkat daerah, kalangan swasta dan perusahaan-perusahaan, dll. Para peserta-pihak memandang institusi-institusi ini memiliki interes kuat pada konflik Maluku itu sendiri. Pada tingkat kebijakan kiranya interaksi dengan lembaga-lembaga itu dapat diintervensi pada tingkat atas, seperti dilakukan di Jakarta. Tapi di daerah, apalagi di kawasan konflik, keadaan jauh lebih sensitif. Padahal memulai sebuah upaya transkonflik yang mengandaikan keterlibatan langsung dengan pihak bertikai selayaknya diawali dari dan bersama dengan para aktor yang paling memiliki kekuatan moral yang mendasar. Bukan mulai mengurus lembaga-lembaga itu tapi mulai dari masyarakat sendiri.
Dalam kaitan dengan kekerasan dan kejahatan yang terjadi, di Maluku, dan banyak lokasi konflik yang lain di Indonesia, para pelaku dan siapa yang ada di belakang mereka kiranya tak cukup kuat diakui telah benar-benar teridentifikasi, sementara ada kebutuhan mendasar bahwa kredibilitas upaya perdamaian harus dibangun sejak awal. Jika upaya penyelesaian dimulai dengan institusi-institusi itu, kepercayaan masyarakat luas jauh lebih sulit diletakkan dasarnya. Fasilitator transformasi akan lebih cepat dituduh jadi bagian dari institusi-institusi itu. Apalagi masyarakat Maluku memandang upaya pembaruan kinerja aparat hukum masih dirasa belum mencukupi. Banyak kesaksian dari masyarakat bahwa aparat hukum koersif (polisi, tentara) terlibat dalam bentrok kekerasan bersenjata satu sama lain dan melibatkan orang-orang biasa. Capaian kerja lembaga-lembaga masyarakat sipil di Maluku atau pun di luar Maluku (Indonesia pada umumnya) yang berupaya membantu penyelesaian masalah Maluku dirasa tak mencukupi harapan minimum meskipun berbagai upaya "perdamaian" telah mereka mulai sejak hari-hari awal kerusuhan sosial di Ambon/Maluku. Analisis sumber-sumber konflik Maluku yang dilakukan oleh para peserta-pihak BakuBae sendiri menunjuk pada lembaga-lembaga yang lebih kuat itu sebagai pencengkeram pelestarian kondisi konflik di Maluku daripada masyarakat sipil sendiri.
* Pilihan gabungan transformasi konflik dan resolusi konflik
Sebagai alternatif konsep jalan keluar, para inisiator BakuBae berupaya menerapkan gabungan antara "transformasi konflik" dan "resolusi konflik". Isi dari "resolusi konflik" adalah proses "negosiasi" yang lebih sering dikembangkan dalam deliberasi di antara para peserta-pihak tapi juga ketika berhadapan dengan "kelompok-kelompok elit dalam masyarakat yang dimintai pertanggungjawaban atas kejadian konflik."
Teoretisi "transformasi konflik" berpendapat bahwa berbagai konflik yang terjadi sekarang ini menuntut lebih daripada sekedar memahami posisi-posisi dan identifikasi jalan keluar yang sifatnya memuaskan masing-masing pihak (win-win). Struktur konflik dari pihak-pihak bertikai dan struktur hubungan satu sama lain dari berbagai pihak lain yang terlibat, baik langsung maupun tidak, dipandang jauh lebih rumit dalam suatu pola yang penuh pertentangan dan mencakup lebih jauh lagi daripada lokasi konflik tertentu.
Di sini "transformasi konflik" ditengarai sebagai suatu proses terlibat dan mengubah pola hubungan, kepentingan, wacana, dan, jika perlu, dasar susunan dari suatu masyarakat yang mendukung pelestarian konflik, bentrok dan kekerasan. Konflik juga dipandang sebagai suatu pendekatan yang konstruktif sebagai salah satu cara yang vital atau jadi katalis untuk perubahan. Orang-orang yang terlibat sebagai pihak bertikai, dalam masyarakat atau daerah yang dilanda konflik, dan orang-orang luar dengan sumber daya manusia dan material yang terkait memiliki peranan saling melengkapi dalam proses pembangunan perdamaian jangka panjang.
"Transformasi konflik haruslah memberikan visi secara aktif, melibatkan, menghargai, dan mendukung sumber-sumber daya manusia dan budaya dari dalam kelompok masyarakat yang ada. Hal ini membutuhkan cara pandang baru. Kami tidak pertama-tama 'melihat' setting dan individu-individu dalam konflik itu sebagai 'masalah' dan orang luar adalah 'jawabannya'. Tapi, kami memahami tujuan jangka panjang dari proses transformasi itu sebagai 'memberikan penegasan, kepercayaan, dan sikap membangun' orang-orang dan sumber-sumber daya yang lain yang ada di lokasi konflik." (Lederach 1995)
Konsekuensinya pendekatan ini sifatnya komprehensif dan luas, mengutamakan dukungan dari dan untuk pihak-pihak bertikai dalam masyarakat berkonflik ketimbang mediasi orang luar. Pendekatan ini berupaya merancang perubahan karakter konflik secara bertahap, dengan cara melakukan suatu rentetan intervensi perubahan, kecil atau besar, dan melakukan langkah-langkah spesifik dengan cara melibatkan berbagai aktor yang dapat memainkan peranan penting dalam proses itu.
Namun, model "transformasi konflik" ini tak dirasakan mencukupi, karena dalam menjalani proses perdamaian praktiknya lebih condong jadi semacam proses mengurus masyarakat berkonflik dalam dimensi horisontal di antara pihak bertikai. Karenanya, pada kesempatan yang tepat model "transformasi konflik" membutuhkan stategi yang lebih tajam dalam bentuk "negosiasi". Hal ini diperlukan mengingat adanya identifikasi kuat dari para peserta-pihak bahwa "aktor luar yang lebih kuat" terlibat dalam konflik Maluku. Terhadap para "aktor luar" ini kerangka transformasi konflik harus dipertajam fungsinya dengan mengetengahkan konsep "resolusi konflik". Dan proses yang berlangsung di situ didominasi oleh berbagai cara bernegosiasi dan dipersyaratkan para pihak dalam cakupan sosial politik yang lebih luas dapat duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Karenanya tingkat-jalur ganda dalam diplomasi (multi-track diplomacy) perlu dilakukan, salah satunya dengan cara mengikutsertakan dan menyambung sasaran transformasi ke tingkat jalur yang lebih tinggi, meskipun koordinasinya tak mudah. Kunci dari perdamaian atau stabilitas sosial dan politik terletak dalam keseimbangan yang disertai proses representasi yang memadai dengan mengutamakan perspektif kerakyatan.
(Catatan: Istilah "aktor luar" mengacu pada semua pihak luar non-Maluku yang dirasakan "menjadi penyebab konflik Maluku". Namun karena mereka jauh lebih kuat, tak ada "bukti" yang dapat menjadi sarana penuntutan atas konflik yang terjadi, kecuali mendesak. Mereka semestinya bisa anggota Laskar Jihad, tentara dan polisi yang datang dari kesatuan di luar Maluku, bisa pula suku-suku lain yang ada di Maluku (Buton, Bugis, Makassar). Istilah ini adalah suatu bentuk kompromi dari kedua belah pihak bertikai muslim dan kristen sebagai "penduduk asli" Maluku Tengah. Kompromi ini secara sepakat begitu saja disetujui ketika peleraian konflik belum lagi tuntas di antara kedua belah pihak; di sini ada kecondongan "menyalahkan orang lain", atau "untuk sementara menekankan kesamaan dalam keaslian asal-usul sebagai 'orang Maluku'", dengan kata lain pendekatan etnik sebagai jalan kompromi pemecahan.)
Kerja transformasi konflik seperti tergambar di atas ini harus didukung oleh sebuah proses penguatan dari segi dalam komunitas bertikai itu sendiri. Dalam hal ini dibutuhkan suatu model sarana pendukung, yang juga biasa disebut "resolusi konflik". Konsep ini juga dipahami dalam kaitannya dengan "masalah konflik komunal dan persoalan identitas (agama/ etnik) masing-masing pihak bertikai tidak dapat berkompromi." Untuk Maluku ada pengakuan umum agama dipandang sebagai "salah satu kebutuhan dasar", tapi dalam intervensi juga ditawarkan "itu bukan segalanya". Identitas terutama agama ditengarai sebagai "tak dapat ditawar-tawar" (unnegotiable). Meskipun demikian, konflik dapat ditransendensikan jika para pihak dapat dibantu mengeksplorasi, menganalisis, mempertanyakan satu sama lain secara terbuka tapi terarah dan bertahap, termasuk mempertanyakan keyakinan pendapat sendiri, meletakkan sikap dan pendapat dan kepentingan sendiri dalam kerangka baru. Dalam proses resolusi konflik, pihak ketiga yang lemah tapi memiliki ketrampilan kuat dalam memroses negosiasi. Pihak ketiga sebagai perantara/penengah selayaknya lebih bersifat tidak resmi agar lebih leluasa menawarkan pikiran dan pola-pola hubungan yang baru, menguji kembali segi-segi lain dari akar masalah konflik yang bisa jadi luput dari perhatian pihak-pihak bertikai karena masing-masing terlalu bersikeras dengan sikap dan kepentingan sendiri. Proses resolusi konflik ini menekankan perlunya para pihak bergerak lagi dari dasar titik nol, berangkat dari pola-pola kehancuran masyarakat yang sudah dirasakan dampaknya, kemudian bergerak menuju hasil-hasil konstruktif dan positif. Tujuan yang hendak dicapai adalah "mengembangkan proses penyelesaian konflik yang dapat diterima oleh pihak-pihak bertikai dan efektif dalam menyelesaikan konflik."
b. Kritik, proses dan pelajaran
* Benturan dalam diplomasi jalur ganda
Dalam cakupan seluruh proses penyelesaian suatu konflik, setidaknya dapat disebut adanya empat tingkat-jalur (tracks) dari para aktor transformasi konflik: a) negara/pemerintah dan organisasi-organisasi antarpemerintah, b) organisasi-organisasi pembangunan dan kemanusiaan, c) NGOs internasional yang bekerja di bidang pencegahan konflik dan transformasi konflik, d) pihak-pihak bertikai di lokasi konflik dan kelompok-kelompok lain yang relevan yang terpengaruh oleh konflik. Kelompok kerja BakuBae kiranya tergolong pada tingkat-jalur organisasi pembangunan dan kemanusiaan (b) yang berupaya bekerja bersama dengan pihak-pihak bertikai dan yang lain yang berkaitan (d), mengajak masyarakat membangun kembali kehidupan bersama dan bernegosiasi dengan pihak-pihak bertanggungjawab atas kerusuhan..
Dipandang secara keseluruhan ruang lingkup masyarakat, salah satu strategi penyelesaian yang perlu diterapkan, seperti telah disinggung sedikit dalam jabaran tentang konsep, adalah melakukan diplomasi berganda pada jalur-tingkat yang berbeda. Cara ini diakui membantu proses penyelesaian konflik karena adanya mismatch di antara tingkat-jalur, karena masing-masing tingkat-jalur condong membuat upaya yang terpisah-pisah, sehingga apa yang diancangkan dapat dilakukan tak tercapai. Akibatnya, mencegah bentrok dan konflik yang paling dini pun tak dapat dilakukan, karena putusnya komunikasi terbuka. Karenanya, yang sering diingatkan adalah menjaga koordinasi di antara kegiatan-kegiatan berbeda pada jalur-tingkat yang berbeda. Sebab, dalam praktik sangat jamak terjadi perbedaan maksud dan cara (cross-purpose) yang justru dapat memperlemah satu sama lain.
Kasus jalur-tingkat pemerintah pusat melakukan transformasi konflik Maluku dalam bentuk "Perjanjian Malino", Februari 2002, misalnya, merupakan upaya tingkat elit politik nasional dan lokal, yang sebelumnya ditengarai oleh publik seumumnya di Maluku setidaknya sebagai "tak melakukan sesuatu secukupnya yang bermakna untuk masyarakat luas". Representasi lembaga keagamaan dan partai politik dalam perjanjian itu tidak memenuhi ruang lingkup perubahan mendasar yang terjadi di Maluku. [Catatan: Survey singkat terhadap persepsi diri, sikap dan peranan publik dari para peserta-pihak dalam lokakarya para pemuka agama dari Maluku (Juni 2001) memperlihatkan "mereka condong ikut ke mana arus politik bergulir selama masa konflik." Sementara para inisiator transformasi konflik BakuBae beranggapan partai politik dengan sistem elektoral yang tak mampu menampung perubahan mendasar di tingkat rakyat bawah tak mewakili kepentingan masyarakat korban konflik kekerasan.] Kehadiran wakil-wakil lembaga hukum nasional (terutama polisi dan tentara) dalam perjanjian tersebut sebagai "pengamat luar", dan kenyataan tak dideliberasikannya persoalan kendali keamanan lokal di Maluku mengurangi tingkat kepercayaan para peserta-pihak pada kualitas perjanjian tersebut. "Perjanjian Malino" diterima sebagai "the least worst".
Meskipun telah dilakukan upaya membuka komunikasi massa pada tingkat publik, sulit bagi kelompok kerja transformasi konflik yang memegang visi penyelesaian konflik model non-kekerasan, ketika harus bekerja sama dengan pemerintah yang bergantung pada metode koersif untuk menekan para pihak menerima sebuah "perjanjian" (settlement). Latarbelakang ini mendorong kelompok kerja BakuBae untuk sekali lagi menanyakan dasar kerja transformasi konflik di Ambon/Maluku lewat jajak pendapat, sejauh mana masyarakat luas masih mendukung upaya yang berangkat dari kalangan para korban di bawah. Setelah didapatkan hasil JP3, argumen menyambung jalur-tingkat atas dan bawah menjadi relevan. Hasil JP3 menguatkan legitimasi masyarakat korban (hasil lihat pada penjelasana selanjutnya, total responden 1397; pengungsi 58,6%; non-pengungsi 41,4%) yang masih "cukup kuat dengan legitimasi moral dasar bermasyarakat secara terbuka", sementara "Perjanjian Malino" juga memiliki sumber daya politik yang aktual.
* Ambisius dan tak mudah diuji hasilnya
Kritik yang disampaikan pada pendekatan ini adalah "ambisius dan sulit diuji hasilnya." Rumitnya pendekatan menyebabkan penentuan sequence dari tahap-tahap yang ditentukan tak mudah diterapkan. Kelenturan dari pendekatan yang ditengarai dengan "discovery process" (terus berproses mencari dan mengusulkan, karena besok tak tahu akan terjadi [kekerasan] macam apa) menjadikan para pihak "overwhelmed" dengan banyak peluang yang tak mudah jadi konkret dirasakan.
Namun, karena kekuatan visi dan misinya, pendekatan ini terus bertahan karena mampu mengundang para pihak untuk terlibat dan menyumbangkan kepentingannya bersamaan dengan proses perdamaian yang terus diupayakan. Karenanya dalam proses transformasi konflik yang condong jadi serba rumit dan tak menentu, suatu metode yang lebih positif bahkan kuantitatif dapat membantu, mendorong dan menguatkan para peserta pihak. Dalam hal ini, jajak pendapat adalah salah satu bentuknya.
3. Sasaran perubahan dan transformasi konflik
a. Lima sasaran
Setidaknya dapat dikenali adanya beberapa sasaran perubahan: (a) pribadi/individu yang terlibat dalam konflik pada tingkat bawah (grassroots) terutama sipil tapi juga tentara dan polisi, dalam hal perspektif cara pandangnya, perubahan sikap hati, perubahan kehendak, gaya dan cara berdamai, (b) isyu, topik, atau masalah: melerai pertentangan pendapat, mengajukan kompromi, menggeser permasalahan, mengubah pola hubungan antarmasalah dari tertutup jadi terbuka, (c) perubahan pada diri aktor penting dalam konflik, menawarkan pada mereka perubahan tujuan dan cara pendekatan mereka terhadap konflik, mendorong ke arah mencari format perdamaian, berinisiatif memulai proses perdamaian, menawarkan model kepemimpinan; (d) perubahan struktural: dari pandangan yang tak seimbang tentang konflik menjadi lebih simetris, perubahan struktur kekuatan politik, perubahan "pasar kekerasan" pada tingkat lokal dan nasional; (e) perubahan konteks yang lebih luas pada tingkat regional dan internasional.
Dalam proses transkonflik Maluku, yang paling menonjol kiranya dapat ditengarai sebagai perubahan berada pada tingkat (a) sampai dengan (c), namun sebagian sektor penting di Maluku yaitu bidang pendidikan kiranya tergolong pada jenis perubahan struktural (d). Perubahan lebih jauh di tingkat lokal di kalangan sistem politik yang diakui (prosedur voting dalam sistem multipartai, kebijakan eksplisit pemerintah lewat jalur resmi peraturan daerah, dsb.) serta tingkat nasional dan internasional kiranya masih jadi prospek ke depan yang diperjuangkan. Berikut ini beberapa pokok proses kerja lapangan yang dapat dicatat berkaitan dengan perubahan yang terjadi di tingkat lokal di antara para aktor di kawasan konflik Maluku.
b. Perubahan tingkat pribadi/individu
Contoh perubahan pada tingkat pribadi dapat dilihat pada proses transkonflik pada tahap awal. Pada tingkat ini tampak para pemuda yang angkat senjata diajak melihat dengan perspektif dan pemahaman masalah secara baru. Contoh perubahan pada tingkat pribadi lihat laporan singkat tentang dua orang mantan kepala pasukan sipil Abubakar Riry dari komunitas muslim Jalan Baru dan Daniel Moriolkossu dari komunitas kristen Passo. [Lih: "Panglima Perang Menggantung Bedil" dan "Kelewang Pun Ia Ganti Pena", dalam Tempo Edisi Khusus Hari Pahlawan 17 November 2002.]
Kedua tokoh pemuda ini adalah sarjana-sarjana strata-1 yang ikut "berperang" dan saling membunuh karena salah informasi dan kurangnya pemahaman umum tentang situasi sosial yang sebenarnya. Ketika situasi terjepit dan ada otoritas negeri asal-usul mereka akhirnya harus ikut bertanggung jawab membela komunitasnya yang terancam penyerangan. Keduanya berhenti jadi "kapitan perang" setelah mengikuti konfrontasi gagasan dalam pertemuan transformasi konflik.
Pelajaran yang didapat dari proses ini adalah bahwa mutu pendidikan serta penyebaran pengetahuan umum tampaknya menjadi keprihatian yang serius untuk kawasan-kawasan rawan konflik. Senjang akses informasi dan pengetahuan yang dapat dipercaya menimbulkan ketegangan dan telah mendorong orang melakukan kekerasan.
c. Menggeser tajamnya isyu konflik "akar masalah"
Yang paling menonjol pada tingkat isyu adalah perumusan kembali secara bersama-sama dalam proses konfrontasi gagasan dan perasaan di antara para peserta-pihak tentang apa yang disebut "akar masalah" konflik Maluku. Semula isyu konflik agama dan etnik sangat tajam dan telah menimbulkan dampak provokatif pada para pelaku kekerasan dan masyarakat Ambon/Maluku umumnya. Namun dalam proses transformasi, dengan menghadirkan para pakar (politik, ekonomi, sejarah, antropologi, ilmu agama) sebagai penyeimbang, "akar masalah" dapat digeser. Pihak Muslim condong memahami ungkapan "akar masalah" terkait dengan kejadian "provokasi kekerasan tanggal 19 Januari 1999"; pihak muslim berkutat pada kesaksian bagaimana sekelompok orang mengenakan ikat kepala merah membantai orang-orang Muslim di sekitar masjid al-Fatah di kota Ambon (laporan sekelompok lain berikat kepala putih tak kurang). Sementara pihak kristen condong melihat "akar masalah" sebagai "provokasi kekerasan dari tentara, preman, polisi".
Pertentangan ini dikompromikan dengan "menunda penyingkapan akar masalah konflik Maluku". Dimensi dan tingkat pengurusan hukum dikehendaki oleh para peserta-pihak, tapi menyadari rumit dan busuknya pengurusan menguatkan "penundaaan". Mereka sepakat "meletakkan 'akar masalah' dalam tanda kurung", dan bahwa yang paling penting adalah "menghentikan kekerasan terlebih dahulu" sebagai syarat yang tak ditawar-tawar lagi. Isyu "akar masalah" menjadi isyu yang sifatnya provokatif dan setiap kali dapat diangkat oleh peserta-pihak dan memacetkan deliberasi atau negosiasi. Isyu itu tidak hanya dirasakan "provokatif" oleh kedua pihak bertikai, tapi juga untuk para aktor transformasi sendiri.
Isyu "akar masalah" ditunda sampai dengan proses "perajutan kembali lapis-lapis masyarakat yang terpecah-belah karena konflik" terpenuhi, yaitu ketika diancangkan sebuah "musyawarah (besar) masyarakat Maluku" [lih Diagram 1].
Penggeseran isyu dari "konflik agama dan etnik" ke "akar masalah" barangkali perlu dibarengi dengan latarbelakang situasi di Ambon/Maluku ketika deliberasi ini berlangsung. Kebijakan darurat sipil pemerintah pusat dengan mengirimkan sampai lebih dari 20 batalyon tentara telah berjalan sejak Juni 2000. Bentrok antarkampung dapat dikatakan mereda, meski tak tuntas.
d. Perubahan pada diri aktor yang terlibat, langsung atau pun tidak
Merajut lapis-lapis masyarakat yang terkoyak oleh konflik. Intervensi yang mengarah ke perubahan berbagai segmen masyarakat Maluku menjadi strategi tetap dari proses transkonflik BakuBae. Diancangkan perlunya intervensi berdasarkan segmen profesi mereka, setidaknya: media massa, dunia pendidikan (perguruan tinggi dan dasar), urusan hukum sipil dan perdata, pemuka masyarakat adat tradisional, perempuan, tentara dan polisi [lih Diagram 2] Kelompok masyarakat profesi ini dipandang sebagai cikal bakal masyarakat sipil yang memiliki kekuatan sosial politik yang paling asli. Karena mereka telah terpecah belah, upaya merajut kembali hubungan di antara mereka mutlak diperlukan.
Namun pada tingkat "aktor penting dalam konflik", kiranya segmen media massa dan dunia pendidikan tinggi merupakan lapis masyarakat yang penting dalam konteks kemasyarakatan di Maluku Tengah selama masa konflik. Namun, fakta tak terbantahkan bahwa pertama, hampir semua media massa lokal di Ambon terbelah berdasarkan agama; segregasi agama mengancam hidup dan pekerjaan wartawan dan keluarganya; kehidupan pribadi para wartawan terembet kerusuhan dan karenanya mempengaruhi laporan yang setiap hari harus mereka buat dan akibatnya mempertajam dan mempercepat timbulnya konflik baru, dan kedua, kompleks Universitas Negeri Pattimura di p. Ambon yang dikenal didominasi komunitas kristen hancur pada pertengahan 2000. Tak ada sisa yang dapat dipakai untuk melanjutkan kegiatan akademis dan belajar-mengajar di negeri-negeri Poka dan Rumah Tiga yang sebelumnya dikenal sebagai komunitas plural.
Dasar-dasar transkonflik pada tingkat "pengolahan informasi". Atas inisiatif dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) para wartawan Maluku yang ditengarai sudah berubah jadi semacam "provokator" diselenggarakan workshop transkonflik di Bogor, Februari 2001. Pertemuan para wartawan dalam lokakarya tersebut tak ubahnya pertemuan para tokoh masyarakat Maluku yang bertikai pada pertemuan workshop para korban dua bulan sebelumnya di Yogyakarta, Desember 2000: penuh dengan sengketa argumen yang tajam. Tapi pertemuan ini adalah awal dari perubahan, sebab dihadiri para wartawan penting yang dapat mempengaruhi para editor mereka. Pemerintah sendiri memiliki kepentingan besar untuk mengatur mereka. Hadirnya gubernur Maluku Saleh Latuconsina dan kapuspen TNI Marsda Graito Usodo dalam lokakarya itu dirasakan jadi dukungan positif. Komunikasi antara media massa dan pemerintah daerah tampak terus diusahakan. Ini memang yang paling krusial untuk tahap itu. Hadir pula dalam lokakarya, media maverick lokal Dahlan Iskan yang dipandang para wartawan nasional "kok tega-teganya membelah Suara Maluku jadi dua terbitan berdasarkan agama, Suara Maluku sendiri jadi kristen (meski dipimpin seorang haji) dan Ambon Ekspres jadi muslim berbasis di Makassar, (hanya) karena dalih bisnis keuangan industri penerbitan daerah."
Kekuatan para aktor transkonflik ini menjadikan konfrontasi gagasan dan pengalaman berlangsung dengan optimal. Mutu lokakarya dari segi aktor dapat dikatakan "sanggup memberikan tumpuan kekuatan awal meletakkan dasar-dasar untuk mengambil keputusan yang berarti bagi proses transformasi konflik di Maluku untuk segmen media massa". Dalam lokakarya para wartawan sendiri menyadari pentingnya hal ini. Idealisme tugas pengolahan informasi yang tak dapat ditawar-tawar kembali disadari, kendati masih terbebani secara pribadi oleh trauma yang timbul karena tuntutan tugasnya di lapangan dan bahwa perubahan hanya dapat dilakukan secara berproses. Rekomendasi kuat dicetuskan dengan mendirikan Maluku Media Center, setidaknya jadi wadah para wartawan dapat saling mengonfirmasikan berita (yang sangat sering tak jelas, tapi diberitakan juga), saling mengaca diri dan belajar bersama.
Peranan dunia pendidikan menjadi cikal bakal aliansi damai yang lebih luas. Rasa percaya diri para akademisi di Ambon/Maluku runtuh sebagai dampaknya. Masalah ketidakseimbangan akses pendidikan tinggi disoroti oleh pihak muslim sebagai sebab yang mendalam, "mengapa akhirnya diserang dan dihancurkan". Dalam perkembangan deliberasi pihak kristen bersikap "prasyarat kemampuan adalah dasar rekruitmen", sedangkan yang muslim bertahan pada "tuduhan tindak diskriminasi". Dilaporkan tentara dan laskar jihad terlibat dalam proses penyerangan dan penghancuran. Dunia pendidikan tinggi menjadi perebutan kepentingan karena diakui sebagai sumber gengsi, potensi kekuasaan dan pengaruh nyata dalam masyarakat, seperti sering terungkap di Ambon: "Ada tiga kedudukan penting di Maluku: gubernur kepala daerah, panglima komando militer, dan rektor Universitas Pattimura."
Pembangunan kembali sebuah lembaga pendidikan tinggi negeri harus dimulai dari awal. Ini dirasakan sangat melumpuhkan semangat banyak pihak, sementara perubahan sikap di antara para bertikai belum tampak jelas. "Para intelektual yang diandaikan memiliki tanggung jawab moral yang tinggi dipandang lambat berbuat sesuatu demi masa depan!" Namun semua pihak sadar bahwa transformasi konflik adalah prasyarat utama sebelum rekonstruksi dimulai. Kesadaran ini menjadi titik mula dari proses transkonflik selanjutnya, meski pada saat penentuan identifikasi siapa peserta persoalan menjadi lebih rumit. Perhatian terlalu dipusatkan pada persoalan "Universitas Pattimura hancur, artinya pendidikan tinggi Maluku telah hancur". Pihak kristen bersedia menerima, bahwa tidak hanya kehancuran universitas itu yang dideliberasikan, tapi juga partisipasi pihak muslim yang "telah memiliki dua pendidikan tinggi yang lain, yaitu Universitas Darussalam dan STAIN Ambon."
Namun itu juga tak dirasa cukup. Intervensi kembali ke dasar-dasar harus dilakukan lebih jauh. Isyu "pendidikan tinggi" digeser menjadi isyu "pendidikan seluruhnya", tidak hanya lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang diikutsertakan, tapi juga lembaga pendidikan dasar: SD, SMP, SMA dan sekolah kejuruan. Secara implisit diakui dalam deliberasi para peserta-pihak bahwa "kemerosotan moral dunia pendidikan tinggi berakar pada mutu pendidikan dasar yang rendah."
Disadari pula bahwa pendidikan tinggi tidak cukup memberikan perhatian dan sumbangan nyata pada masyarakat luas, sehingga sampai berdampak bahwa pendidikan dasar sangat merosot mutunya. Anak-anak sekolah pun banyak yang terlibat menjadi penyerang ketika kerusuhan terjadi (pasukan agas). Ditengarai ada ketidakseimbangan antara penekanan pada keahlian dan kepakaran teknik, di satu sisi, dan keterlibatan sosial yang berorientasi pada masyarakat luas di Maluku, di sisi lain.
Namun perkembangan dan perubahan terasa cepat. Ada penerimaan sekalipun pahit, bahwa perhatian kalangan pendidikan tinggi disadari telah bergeser jauh dari cara hidup budaya lokal yang mempertahankan dan memperkuat keutuhan masyarakat. Pilihan harus kembali kepada "keaslian" dan integritas masyarakat Maluku dalam "persaudaraan pela dan gandong", dengan membangun aliansi perdamaian dengan kalangan pemuka masyarakat tradisional (raja). Secara geografis kompleks Universitas Pattimura terletak di bagian jazirah muslim Leihitu, belahan utara pulau Ambon; komunitas kristen terutama terkonsentrasi di belahan selatan Leitimur. Karenanya aliansi perdamaian dengan raja-raja muslim di kawasan itu, ditambah dengan komunitas muslim lain di kawasan pulau-pulau Lease (terutama Haruku dan Saparua) menjadi vital. Kampanye perdamaian diteruskan dengan mempersatukan kalangan pendidikan tinggi dengan kalangan pemuka masyarakat tradisional.
e. Rekonstruksi aliansi damai antarnegeri
Sebelum sampai pada perrkembangan aliansi damai antara kalangan pekerja pendidikan dan masyarakat negeri tradisional, telah disepakati perlunya membangun kembali suatu model masyarakat Maluku yang pertama-tama berdasarkan pada budaya lokal. Selama ini disadari budaya etnik asli telah digilas oleh rejim Orde Baru dengan politik penyeragaman. Negeri-negeri tradisional dan nilai-nilai yang dibawa digeser oleh desa-desa administratif yang semakin tak memiliki wibawa di mata masyarakat lokal. Undang-undang pemerintahan desa ditengarai menjadi penyingkiran nilai-nilai lokal. Keadaan asli masyarakat sebagai 'modal sosial" sebenarnya telah hancur dan tak sanggup menyangga integritas masyarakat. Satu sama lain negeri-negeri saling mengirimkan para pemuda, didukung oleh upacara dan nilai-nilai adat, terlibat dalam bentrok, pembantaian, dan penghancuran sarana publik dan harta milik dan penghidupan warga masyarakat.
Keadaan katastrofik dan "merasa terlunta-lunta seakan tak ada lagi sisa" ini menyadarkan para peserta-pihak masih ada yang dapat dikenang sebagai bernilai yang ditemukan dari warisan masa silam, yaitu aliansi saling menolong dan menjaga antarnegeri pada tingkat kecil di antara sejumlah maksimum lima negeri, namun pada umumnya dua atau tiga negeri (pela dan gandong). Beberapa pihak radikal memandang aliansi ini sudah usang; nilai-nilai agama harus menggantikannya. Sementara sejarahwan mencatat aliansi lebih besar yang mencakup sekutu desa-desa muslim dan kristen dalam upaya melawan penjajah kolonial Belanda (patasiwa dan siwalima), tapi ini sudah lebih jauh lagi terbenam di balik kabut masa. Karena tak ada alternatif lain yang memadai, apa yang tertinggal dapat dikenang haruslah dipertahankan. Inilah titik tolak transformasi konflik pada tingkat masyarakat negeri.
Ada ketidakseimbangan antara posisi adat di komunitas kristen dan muslim. Adat masih dirasakan relatif lebih kuat tertinggal di komunitas muslim daripada kristen. Agama kristen protestan lebih dominan mewarnai penghayatan nilai-nilai kemasyarakatan daripada adat istiadat setempat. Pemuka agama islam berdiri sejajar dengan raja negeri, sedang para pendeta tampak lebih dihormati daripada raja di komunitas kristen.
Pasangan minimum pela dan gandong mulai disambung lagi, setidaknya untuk tingkat pulau Ambon. Yang masih dirasakan sangat dalam menyimpan dendam disisakan untuk tahap berikutnya, misalnya negeri Poka (kompleks Universitas Pattimura) dan Wakal (salah satu negeri yang pemudanya dikenal suka berkelahi dan siap menyerang). Setidaknya dari hasil deliberasi para raja dari negeri-negeri pela dan gandong mencetuskan perlunya secara internal membangkitkan lembaga adat Ambon-Lease dengan mengutamakan peranan eksternal mereka dalam legislasi. Persoalan dendam karena saling serang-menyerang direkomendasikan diselesaikan pada tingkat tata cara hubungan sosial antarnegeri.
Musuh pertama dari aliansi damai ini adalah kalangan muslim lokal yang memegang secara radikal nilai-nilai agama Islam secara universal, karena lokalitas penghayatan agama dipandang sebagai pengkhianatan. Namun, otot para pemuda negeri dapat mengimbangi kekuatan senjata di tangan mereka yang bersekutu dengan Laskar Jihad, kecuali secara nasional Batalyon Gabungan TNI kemudian memukul laskar itu secara cukup telak pada pertengahan 2001.
Pemerintah daerah provinsi sendiri pada tingkat-jalur elit agama dan pemerintah juga mengupayakan penguatan para pemuka agama islam lokal dengan membentuk Badan Imarat Muslim Maluku (BIMM), pertengahan 2001. Pemerintah merasa cukup dengan menjalin hubungan dekat dengan kelompok kristen yang menurut penilaian mereka lebih mudah ditangani karena sudah lebih bersatu.
Kritik terhadap "aliansi baru antarnegeri" ini adalah penegasan pendekatan etniknya yang belum total terbuka untuk kelompok lain. Gagasan inklusivitas belum lagi menjadi tema yang sudah saatnya dikembangkan. Masyarakat Maluku Tengah masih merasa lemah untuk kembali dapat berinteraksi secara terbuka dengan suku-suku lain, seperti minoritas kelompok masyarakat Maluku Tenggara, atau Bugis, Buton dan Makasar yang sudah terusir dari Maluku. Mereka belum lagi dapat dibicarakan secara eksplisit dalam proses transkonflik tahap ini. Masih harus menunggu sampai pengungsi-pengungsi lokal sendiri kembali ke tempat asal atau relokasi. Seperti banyak diduga, argumen pembangunan ekonomi yang kiranya nanti akan melerai kebekuan etnik ini.
4. Melibatkan peserta-pihak dalam jajak pendapat
Kembali pada persoalan jajak pendapat, pertama-tama upaya yang dilakukan oleh kelompok kerja transkonflik ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat dukungan masyarakat di Maluku Tengah, sejauh mana mereka mengambil pilihan proses perdamaian atau masih tetap melanjutkan "perang". Pertanyaan ini sekaligus mengandung suatu tantangan psikologis untuk para peserta-pihak dan diharapkan mereka mampu menyampaikan pesan moral anti-kekerasan kepada publik yang lebih luas, bahwa para "penganjur perang/kekerasan" tak memiliki dasar mengapa melakukan berbagai aksi kekerasan dan pembantaian sesama manusia karena sebagian besar anggota masyarakat tidak mendukung atau menolak kekerasan.
Peserta-pihak diseleksi dengan kategori utama ketergolongan mereka di antara para pelaku atau mereka yang dekat dengan para pelaku kekerasan pada tingkat masyarakat warga sipil. Latar belakangnya: anggapan bahwa penguatan masyarakat warga sipil adalah salah satu kunci penting untuk menyelesaikan konflik Maluku. Rendahnya tingkat keterlibatan warga masyarakat dalam menata diri sendiri, baik sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan alam, dipandang telah menyebabkan kemunduran tingkat kesadaran hidup bermasyarakat yang wajar dan sehat. Lemahnya masyarakat sipil ini menyebabkan masyarakat tersebut jadi sangat rentan ketika terjadi provokasi kekerasan, termasuk yang dilakukan oleh sesama warga sipil sendiri. Menyadari keadaan ini, penguatan dan pembangunan kembali masyarakat sipil dipandang sebagai prioritas utama. Dalam hal ini pembangunan yang baik selayaknya mengutamakan mereka yang paling tak mendapatkan haknya. Dalam konteks konflik sosial di Maluku mereka adalah para korban kekerasan. Perlunya melakukan proses penguatan itu dirasa lebih mendesak, ketika disadari bahwa warga masyarakat sipil telah terlibat dalam aksi kekerasan. Seleksi peserta pada tahap paling awal ditentukan bersama dengan para kontak lokal, yaitu partner kerja LSM di Maluku (Yayasan Hualopu) yang segera mengundang keterlibatan pihak-pihak lain.
Semua inisiatif ini sendiri dimulai oleh para inisiator transkonflik yang didorong oleh sebuah partnership di antara setidaknya tiga kelompok kerja yang berbasis di Jakarta: (1) program kerja dukungan biodiversitas penataan sumber daya alam di kawasan pantai Indonesia BSP Kemala, (2) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia [YLBHI] dan organisasi penegak hak-hak asasi manusia Kontras. Program kerja ini melihat bahwa penataan sumber daya alam menjadi sia-sia jika kerusuhan sosial tidak diurus terlebih dahulu. Maluku menjadi lokasi yang penting karena memiliki masyarakat dan sumber daya alam pantai dan laut; jika manusia tak diurus, lingkungan akan semakin rusak oleh ulah buruk manusia. Dari arah para penegak hak asasi, dipandang perlu mengurus tidak hanya kampanye hak-hak sipil dengan cara advokasi yang high-profile, tapi juga pendidikan politik masyarakat untuk menyadari hak-haknya dan mengambil pilihan yang mampu menyelesaikan persoalan (community justice).
Di antara para peserta upaya transkonflik Maluku itu adalah pemuda negeri yang terlibat mempertahankan negerinya ketika diserang (di antaranya pengungsi), tokoh masyarakat yang ikut serta membela kampungnya ketika kekerasan mengancam dan merugikan mereka, para pemuka masyarakat tradisional (raja), tokoh-tokoh agama yang dekat dengan para korban/pelaku, para wakil kelompok etnik yang lain di Maluku atau pernah tinggal lama di Maluku, beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) berbasis di Ambon/Maluku yang akhirnya juga jadi terlibat secara tak langsung dalam sengketa. Para aktivis LSM ini sekaligus menjadi pelaksana dari kerja rekonstruksi komunitas selama dan setelah konflik. Para penguasa formal yang diakui dalam sistem politik di Indonesia untuk sementara tak diikutsertakan; termasuk di antaranya adalah pemerintah daerah dan aktivis partai politik. Tentara dan polisi dilibatkan, namun secara spesifik ditentukan di antara mereka yang berada di kawasan lebih sempit lagi yaitu di tingkat para penjaga keamanan langsung di lapangan, seperti anggota Batalyon 144 di Hunut dan anggota Brimob di Passo; keduanya di pulau Ambon. Kalangan media massa, perguruan tinggi, pengacara, pemuka agama di Ambon/Maluku diikutsertakan dalam proses di kemudian hari.
Dalam deliberasi di antara para peserta proses transkonflik paling awal, ketika mereka saling mengolah satu sama lain untuk mengubah persepsi tentang konflik menuju ke kerjasama, terjadi berbagai krisis silang pendapat yang menegangkan dan tak mudah dilerai. Hal ini dapat disebabkan oleh setidaknya dua hal. Pertama, adanya hambatan psikologis setelah kekerasan terjadi (apalagi bila belum lama terjadi), entah sebagai korban kekerasan maupun pelaku kekerasan. Sebagai korban mereka merasakan dendam dan sebagai pelaku mereka berusaha "mengembangkan berbagai dalih". Kedua, sulitnya mengonfirmasikan kebenaran sebuah informasi; kecuali karena keadaan tegang sementara kekerasan seperti penembakan, penyerangan, ledakan bom, dsb. masih berlangsung dan karenanya dirasakan sebagai ancaman terhadap hidup warga masyarakat, tapi juga karena hambatan kepentingan pihak pelaku kekerasan; ada kecondongan kuat menyembunyikan informasi yang bila dibeberkan akan merugikannya.
Latar belakang ini membuat para peserta upaya transformasi konflik membutuhkan suatu pendapat lain yang dinilai lebih memiliki wewenang. Ketika para peserta yang dipandang sebagai perwakilan dari suatu kelompok masyarakat tak dapat menyetujui suatu pendapat atau sikap yang menyangkut persoalan sosial politik, salah satu cara mendekati pemecahan adalah dengan melakukan "konsultasi" kepada masyarakat luas itu sendiri. Kepada wewenang masyarakatlah para wakil itu memiliki sikap tunduk untuk setidaknya mempertimbangkan pendapatnya sendiri yang bisa jadi sangat sepihak. Karenanya para peserta merekomendasikan perlunya dilakukan jajak pendapat.
Upaya transformasi konflik paling awal ini dibayangi oleh kejadian-kejadian kekerasan yang masih sedang berlangsung di Maluku, di samping baru saja terjadi gelombang-gelombang kekerasan massal yang serius mengakibatkan banyak orang tewas. Setidaknya 161 orang tewas, sejak bulan Mei s.d. akhir Juli 2000 di berbagai lokasi di kawasan Maluku Tengah, yang meliputi kotamadya Ambon dan kabupaten Maluku Tengah. Ratusan orang lainnya luka berat dan ringan, dan banyak bangunan rusak berat, seperti kompleks perguruan tinggi negeri Universitas Pattimura di P. Ambon.
Dalam deliberasi transformasi konflik itu berkembang beberapa persoalan yang mengganggu kesadaran sosial politik para peserta, yang kiranya "perlu dimintakan konsultasinya kepada masyarakat luas".
Pertama, keterlibatan warga sipil dalam bentrok kekerasan di Maluku telah menimbulkan perpecahan secara tajam dan sengit antara "kubu Kristen" dan "kubu Muslim" sampai harus angkat senjata. Perpecahan ini dirasakan oleh para peserta sebagai "tidak seharusnya". Kendati sudah bersedia meletakkan senjata dan melerai sengketa, kenyataan memperlihatkan adanya keraguan dalam masyarakat, seperti tampak dengan masih terus banyaknya kejadian kekerasan. Para peserta saling menantang satu sama lain: apakah mau berhenti ataukah masih tetap akan terus "berperang"?
Kedua, masyarakat sudah merasa jenuh dengan keadaan kekacauan yang berkepanjangan dan karenanya berhasrat untuk memulai perbaikan, tapi mereka tidak yakin siapa yang kiranya memiliki kemampuan cukup untuk memulai, atau dengan kata lain, siapakah yang dapat menyelesaikan persoalan konflik tersebut: pemerintah (termasuk tentara, politisi, elit politisi lokal dan nasional) atau masyarakat sendiri dari kalangan yang paling jadi korban?
Ketiga, pemerintah yang dirasakan telah membebani masyarakat secara berlebihan dalam bentuk "kebijakan darurat sipil" (Gus Dur; Juni 2000 sampai sekarang), padahal ada dalam anggapan bahwa sebenarnya pemerintah bertanggungjawab untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum; masalahnya adalah dengan legitimasi apakah pemerintah memaksakan kebijakan yang sama sekali dipandang menyulitkan masyarakat tersebut.
Keempat, banyaknya laporan tentang keterlibatan aparat keamanan, baik tentara maupun polisi, sementara informasi ini selalu dibantah oleh sementara pihak, setidaknya oleh pemerintah sendiri, TNI dan polisi, dan diperkeruh oleh silang pendapat di antara para politisi entah dari organisasi politik atau pun organsasi massa, baik keagamaan maupun sosial yang lain.
Keempat pertanyaan inilah yang hendak dimajukan kepada masyarakat dengan cara melakukan jajak pendapat, dengan harapan mendapatkan suatu bentuk pengetahuan yang mendekati kebenaran. Dengan dasar pengetahuan itu, kiranya satu tahap maju dapat menjadi dasar titik tolak untuk bergerak ke depan selangkah lagi.
5. Pelaksanaan jajak pendapat
Pertanyaan-pertanyaan untuk kuesioner dirancang oleh tim kecil dalam kelompok kerja transkonflik, yang terdiri dari beberapa orang sebagai perwakilan dari LSM yang berada di lingkungan komunitas kristen (Yayasan Hualopu) dan muslim (Inovasi Group). Kuesioner itu dikonfirmasikan kepada pengarah utama dari proses transformasi konflik, dan tes awal dilakukan pada para peserta-pihak dalam jumlah yang lebih banyak, sebelum disebarkan dengan mengajak sekitar 50-an orang pengumpul data lapangan. Latar belakang pendidikan mereka, kebanyakan adalah lulusan dari beberapa fakultas teknik di Universitas Pattimura di Ambon. Meskipun secara umum telah mendapatkan pengantar dasar penelitian, ada keadaan bagaimana mereka belum terbiasa dengan ketrampilan teknik minimum dalam penelitian. Praktik survey atau penelitian di bidang kajian ilmu-ilmu sosial dengan lebih seksama masih banyak diperlukan.
Jumlah responden untuk JP1 ditargetkan mencapai 3.000 jawaban, dibagi secara seimbang di antara kedua pihak bertikai. Akhirnya terkumpul 1.327 jawaban responden dari 30 lokasi pihak kristen dan sejumlah 1.241 jawaban dari 30 lokasi pihak muslim di P. Ambon. Setidaknya ada dua prasyarat yang diterapkan untuk menentukan lokasi-lokasi responden: a) frekuensi terjadinya kekerasan, kerusuhan, bentrok, b) berada di sekitar "jalur aktif" antara kota Ambon sampai ke pelabuhan udara Pattimura di negeri Laha, (c) berada di kedudukan geografis yang penting antara belahan kawasan warga Muslim (jazirah Leihitu) dan Kristen (jazirah Leitimur).
Di sini terdapat sebuah pengandaian umum transkonflik bahwa "keseimbangan kekuatan adalah prasyarat perdamaian". Di samping itu, keadaan demografi di keseluruhan provinsi Maluku (sebelum Maluku Utara menjadi provinsi sendiri) ada anggapan umum bahwa pemeluk agama kristen (protestan dan katolik) dan agama islam kurang lebih berimbang.
Catatan BPS provinsi Maluku 1999 menyatakan: muslim 59,01% [termasuk Maluku Utara], protestan 35,29%, katolik 5,19%, sisanya hindu, buddha dan kepercayaan lainnya. Khusus untuk pulau Ambon tahun 1998 sebelum kerusuhan terjadi, kristen protestan 51,93%, kristen katolik 5,55%, dan muslim 42,38%. Tampak bahwa gejala distribusi pemeluk agama di pulau Ambon dan kota Ambon berbalikan komposisinya dibandingkan dengan kawasan pedesaan/ negeri, kabupaten Maluku Tengah, yang langsung berhubungan dengan pulau Ambon: kristen 29,04%, muslim 68,19%.
Untuk kepentingan pengamatan konflik sosial yang lebih mendalam dan transformasi konflik Maluku, catatan BPS Maluku kiranya perlu dimodifikasikan agar pertama-tama memandang seluruh pulau Ambon sebagai satu kesatuan kependudukan. Cakupan "Ambon" dalam catatan BPS Maluku tak memasukkan dua kecamatan yang berada di pulau Ambon tapi termasuk daerah kabupaten Maluku Tengah, yaitu Leihitu dan Salahutu. Keduanya adalah bagian dari satu kesatuan "jazirah muslim" di belahan utara pulau Ambon. Sementara belahan selatan, ditambah sebagian sepanjang jalur pantai dalam bagian utara pulau tersebut (kecamatan Baguala-Passo). Kedua belahan ini adalah pasangan transkonflik "teritorial" yang dicoba dikembangkan. Argumen dasar yang melatarbelakanginya adalah bahwa "konflik sosial Maluku telah mengubah seluruh keseimbangan kekuatan politik lokal" seperti sering disebutkan oleh para peserta-pihak bahwa Maluku Tengah adalah "episentrum dari konflik di seluruh Maluku". Kronologi kerusuhan sudah jadi semacam "ujaran masyarakat": kerusuhan bermula dari kota Ambon, melebar ke Maluku Tenggara, berkutat di Maluku Tengah, sementara juga menyebar ke Maluku Utara, dan tetap bertahan di Maluku Tengah, terutama pulau Ambon.
Barangkali anggapan masyarakat dan data demografi ini dapat dipertanyakan, karena setelah masyarakat Bugis, Buton, Makasar dan banyak suku lain meninggalkan Maluku tahun 1999, prosentase masyarakat berdasarkan agama tentu berubah. Mestinya prosentase pemeluk agama Islam lebih menurun lagi. Namun, konflik Maluku sudah melibatkan gerakan islam bersenjata laskar jihad, sehingga perimbangan berubah kembali. Karenanya jajak pendapat yang dilakukan untuk kepentingan transformasi konflik mendapatkan momentumnya, lebih daripada "kebenaran sesungguhnya di lapangan". Sekalipun demikian, faktor hadirnya laskar jihad dan laporan pertikaian antara tentara dan polisi di Ambon/Maluku tetap merupakan persoalan yang sulit dideteksi, sementara konflik sosial masih sedang berlangsung.
Penanganan JP1 ternyata masih terpisah-pisah di antara masing-masing peserta-pihak. Namun dalam penanganan JP3, persoalan keterpisahan dalam pengumpulan jawaban responden sudah terpecahkan, meski tak banyak perubahan dapat dilakukan sehubungan dengan substansi rancangan jajak pendapat. JP3 sekali lagi menggunakan kerangka kerja JP1, kembali ke dasar legitimasi upaya transkonflik BakuBae, yaitu mengarahkan pertanyaan pada sikap masyarakat Maluku Tengah tentang "pilih mana kekerasan atau perdamaian", "pilih pendekatan mana: dari atas atau dari bawah", pendapat masyarakat tentang apa yang telah dijalankan oleh pemerintah selama masa "darurat sipil", tentang kebijakan "darurat sipil" itu sendiri, karakter dari konflik Maluku. Variabel independen disusun seminim mungkin: umur, pekerjaan, jenis kelamin. Latar belakang pendidikan dan keadaan ekonomi tak diajukan, kecuali karena dipandang telah dilakukan JP2, hal tersebut tak menjadi keniscayaan tujuan jangka pendek dari JP3 itu sendiri.
6. Hasil Jajak Pendapat Pertama
Hasil JP1 dirasakan cukup memberikan kecocokan dengan apa yang sebelumnya dipertanyakan oleh para peserta-pihak. "Rasa jenuh" yang disebut-sebut dalam rancangan terlukis lebih tajam dengan adanya "rasa putus asa, kecewa, takut" bercampur dengan "dendam dan benci" karena konflik berkepanjangan; dalam komunitas kristen berjumlah 67,80% dan muslim 48,89%; sementara "rasa dendam, benci dan marah" 28,91% dan 17,42%. Meskipun komunitas kristen lebih merasa jenuh karena "putus asa, kecewa dan takut" bercampur dengan "dendam dan benci" (85,22%), namun karena dalam komunitas muslim perasaan yang sejenis sudah melanda lebih dari tiga perempatnya (77,80%), potensi rasa senasib (sepenanggungan) di antara kedua komunitas berbeda ini mendapatkan dasarnya. [Lihat Tabel 1]
Situasi itu kiranya condong sejajar dengan "pandangan responden tentang masa depannya sendiri". Komunitas Kristen: bingung 46,59%, pasrah 17,26%, tak tahu 18,30%, lain-lain 18,15%; Muslim: bingung 46,59%, pasrah 28,77%, tak tahu 13,34%, lain-lain 11,30%. Layak dicatat adanya kecondongan cukup besar dari responden untuk tidak menentukan pilihan positif yang tersedia; prosentase "tak tahu" dan "lain-lain" dapat dikatakan cukup besar; kristen 36,15%, muslim 24,64%. Barangkali disebabkan oleh karena pertanyaan mengarah ke privacy atau rasa bingung sebenarnya sangat dominan. [Tabel 2]
Meskipun demikian, perhatian kiranya perlu diberikan pada kelipatan dua kali dari mereka yang merasa "biasa-biasa saja" bila dibandingkan antara yang kristen (14,36%) dan muslim (6,70%). Makna "biasa-biasa saja" masih perlu dipertegas dalam pengamatan lebih lanjut. Yang menarik adalah bahwa sebanyak 1,76% muslim dan 6,56% kristen merasa "senang dan gembira" atas kerusuhan. [Tabel 1]. Dapat diperdalam di sini, apakah mereka ini bukan pendukung para perusuh atau barangkali perusuhan itu sendiri?
Berkaitan dengan "karakter kerusuhan sosial Maluku" terdapat kecondongan kontras antara responden muslim dan kristen. Mayoritas komunitas kristen (67,80%) condong melihat konflik Maluku disebabkan oleh sengketa kepentingan di antara kalangan elit sipil dan militer, dan 16,47% menengarainya sebagai "konflik agama". Namun dalam komunitas muslim pendapat terpecah dalam penyebaran sbb.: sebab kerusuhan "gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS)" 41%, "konflik agama" 26%, konflik elit sipil dan militer 20%. [Tabel 3]
Demikian pula atas pertanyaan "siapakah pelaku kekerasan di balik kerusuhan-kerusuhan di Maluku", perbedaan pendapat di antara warga muslim dan kristen sejajar dengan pertanyaan tentang "karakter kerusuhan". Kedua jenis pertanyaan ini dicantumkan untuk melihat kemungkin responden mengambil jarak dari kejadian kekerasan. Dalam hal ini istilah "orang dari luar Maluku" tampaknya lebih banyak mengacu kepada "Laskar Jihad". Banyak pengalaman traumatik yang dialami warga masyarakat sehubungan dengan Laskar Jihad dan aparat keamanan (tentara, polisi).
Untuk pertanyaan ketiga dalam hipotesis berkaitan dengan "siapa dapat menyelesaikan masalah konflik Maluku" dan perihal "darurat sipil", jawaban responden tak tersedia karena keterbatasan pengolahan data. Data ini tak ditampilkan dalam pertemuan transkonflik karena rupanya dipandang sensitif, terutama sehubungan dengan kontras pandangan tentang sikap masing-masing pihak sehubungan dengan peranan tentara dan polisi di Maluku. Tampak pula kecondongan yang cukup besar (34,91%) di antara komunitas muslim menyatakan "tak tahu" tentang siapa pelaku kekerasan, dibandingkan dengan yang kristen (14,26%) [Tabel 4].
5. Tambahan variabel?
Ketika diselenggarakan upaya penafsiran terhadap pengolahan data JP3, secara teknik berusaha dimasukkan sedikit tambahan variabel lain, seperti: (1) agama responden; (2) kota atau negeri; (3) pengungsi atau bukan pengungsi, (3) "daerah aman" dan "daerah rawan konflik". Kategori-kategori ini ditambahkan untuk memperkirakan lebih jauh, apa yang dapat dipelajari sejauh ada dalam jangkauan transformasi konflik. Tentu kerangka perhatian masih berada sejauh mana survey ini mampu menampung partisipasi para peserta. Meski peluang untuk lebih jauh melakukan pengamatan secara seksama masih belum dimungkinkan. Misalnya, persoalan ekonomi dan pendidikan tak diajukan. Ada anggapan di antara para peserta-pihak bahwa ekonomi normal tak dapat berfungsi sama sekali selama masa darurat. Semua prasarana ekonomi rusak total: transportasi terputus-putus, komunikasi telpon sulit, pusat-pusat pertokoan rusak, pasar tradisional tak berfungsi lagi, dsb. Sia-sia jika dilakukan survey secara khusus untuk kepentingan memajukan perekonomian. Lebih baik keamanan dibereskan dulu, baru nanti merencanakan program ekonomi.[Catatan: Wawancara dengan Prof. Emil Salim, Januari 2002, mengindikasikan kemungkinan menyatukan pembangunan ekonomi kecil dengan upaya pembangunan kembali suatu kelompok masyarakat yang dilanda kerusuhan. Namun, peluang ini harus dipelajari lebih jauh lagi.] Sementara tak adanya variable pendidikan dilatarbelakangi oleh karena telah diajukan pada JP2, kecuali juga disadari adanya konflik sensitif sehubungan dengan akses informasi dan pendidikan, terutama pendidikan tinggi, yang jadi salah satu latar belakang penghancuran kampus Universitas Pattimura.
Diusulkan dan akhirnya disetujui penambahan kategori "agama". Mengapa hal ini perlu diusulkan? Barangkali usul ini dirasakan jadi sesuatu yang aneh, mengapa untuk masalah konflik yang sering dijuluki "konflik agama" di Maluku, kategori agama tak dimasukkan. Tapi, rupanya tidak jika diingat justru apa yang diupayakan adalah transformasi konflik (agama), artinya mengikutsertakan mereka yang terlibat dalam berkonflik yang dirasakan masih sangat sensitif pada waktu itu. Dan tampak jelas bahwa ada latar belakang para peserta perancangan JP, terutama pada JP1 dan JP2, sadar atau tidak, tidak memasukkan kategori agama. Konflik masih mewarnai masing-masing pihak peserta sehingga mereka bekerja secara terpisah, juga dalam hal teknik pemasukan data. Kiranya penerapan "kategori agama" dirasakan sebagai hal yang sensitif untuk mereka yang terlibat konflik/bentrok. Layak dipertimbangkan di sini suatu gambaran umum, "di Maluku tak ada hal yang tak 'beragama'; tanah pun beragama". Dapat difahami kiranya mengapa para peserta perancangan JP tak merasakan perlunya memasukkan kategori tersebut dalam survey. Malah salah seorang peserta "mengingatkan" agar jangan "memperhadapkan orang muslim dan kristen (secara frontal)" alias jangan memasukkan kategori tersebut. Seperti dalam JP sebelumnya, dalam kuesioner JP3 pertanyaan tersebut tak dimasukkan. Untuk pembuktian memang dapat jadi hal ini mengkhawatirkan, namun kenyataan sosial dalam masyarakat Maluku, semua orang tampaknya sudah mengetahui siapa beragama Islam, siapa Kristen. Jika diketahui responden berasal dari daerah mana, diketahui pula dia "beragama apa." "Agama" dalam arti ini sudah dipandang sebagai taken for granted.
Masalah teknis lain muncul ketika diusulkan supaya dibedakan antara "daerah aman" dan "daerah rawan konflik". Tak ada upaya mempertanyakan secara khusus atas usul ini, tapi setelah mengamati hasil dari pemasukan data, tampak bahwa penentuan "aman atau rawan" rupanya tergantung "dari pihak mana". Peserta muslim berpendapat bahwa daerah Galunggung adalah daerah aman, tapi bagi peserta kristen daerah ini dipandang sebaliknya. Jika daerah itu jauh dari garis "perbatasan" antara komunitas kristen dan muslim, tentunya tak akan ada banyak masalah. Tapi jika daerah itu setidaknya berdekatan dengan daerah perbatasan tentunya makna "aman" dan "rawan" dapat saling berbenturan. Kategori aman dan rawan konflik yang akhirnya diterapkan kiranya lebih berlaku untuk kepentingan masing-masing komunitas. Dalam pengertian ini persepsi masing-masing pihak tentang "aman atau rawan" sangat menentukan.
Variabel "pengungsi" dan "bukan pengungsi" menimbulkan sedikit kebingungan di antara para perancang dan penafsir, karena variabel tersebut menurut para peserta selayaknya sudah dimasukkan ke dalam kuesioner kedua JP yang sebelumnya telah dilakukan. Rupanya para peserta tak mengaitkan secara ketat hubungan antara JP1 dam JP2.
Penambahan variabel "negeri/desa atau kota" tak menimbulkan permasalahan. Rupanya hal ini dirasakan lebih abstrak, atau tak serta merta berdampak pada kemungkinan langsung perubahan persepsi dan pandangan yang berkembang selama konflik masih dirasakan membebani masing-masing pihak bertikai.
7. Sorotan terhadap hasil Jajak Pendapat Ketiga
Beberapa inferensi yang dapat ditarik memiliki implikasi terhadap kebijakan publik untuk Maluku, baik untuk proses transformasi secara internal maupun kondisi eksternal di kawasan konflik Maluku Tengah. Untuk mendukung argumen ini, para peserta-pihak mencoba melihat lebih jauh apa yang menarik diamati dari hasil JP3.
a. Dukungan terhadap proses perdamaian "dari bawah"
Untuk kepentingan upaya perdamaian Maluku, tampak jelas bahwa dukungan dari masyarakat seumumnya di Ambon/Maluku terhadap model pendekatan "dari bawah di antara para korban" masih cukup besar (58,4%). Belum lagi jika ditambah dengan mereka yang memilih kedua pendekatan "dari atas" dan "dari bawah", sebanyak 13,6%. Legitimasi moral lain yang memperkuat pendekatan dari bawah, terutama dari antara para korban, setidak-tidaknya dilambangkan dengan sikap para pengungsi, tampak bahwa dukungan mereka cukup kuat (65,2%), dengan rata-rata dukungan komunitas muslim lebih kuat (68,3%) daripada komunitas kristen (48,3%) [Tabel 5]. Inilah hasil utama yang meyakinkan proses perdamaian Maluku tetap perlu dilanjutkan.
b. Rasa dendam bertahan, putus asa berkurang
Jika dibandingkan apa yang dirasakan oleh responden JP1 dan JP3 selama kerusuhan berlangsung, rasa dendam tampak bertahan. Dalam komunitas muslim "dendam" melonjak dari 28,91% jadi 44,1%; kristen menurun tapi sangat sedikit, dari 17,42% jadi 16,5%. Untuk "putus asa, takut, dan kecewa", di komunitas muslim dari 48,89% jadi 41,3%; kristen dari 67,80% jadi 58,7%. Dapat dikatakan waktu kurang lebih 20 bulan belum tampak perubahan berarti sebagai dampak dari konflik dan bentrok berdarah yang berkepanjangan.
Namun penyataan perasaan ini tak berdampak pada sikap para responden sehubungan dengan bagaimana menyelesaikan konflik. Karena tampaknya masih ada sebersit harapan.
c. Sebersit optimisme
Meskipun tak sangat kuat (41,5%) tampak terdapat optimisme bahwa semua masalah konflik sosial di Maluku dapat diselesaikan. Perasaan itu lebih kuat terdapat di komunitas kristen (52,4%), sedangkam muslim 30,8%. Sekali lagi prosentase yang cukup besar memilih "tidak tahu" (34,6%) [Tabel 10] kiranya tak menimbulkan perubahan apa-apa pada suasana hati masyarakat Maluku yang pada umumnya didominasi oleh "putus asa" dan "dendam", atau dalam istilah publik yang sering diujarkan para pemuka masyarakat Maluku: "sudah jenuh" dengan kerusuhan.
d. Perempuan lebih menderita, komunitas muslim "lebih dendam"
Benar, perasaan putus asa, takut dan kecewa sedikit berkurang. Namun jika ditilik, perbedaan antara perempuan (52%) dan laki-laki (36,5%), kiranya perempuan jauh lebih menderita dan menahan derita itu: putus asa, takut, kecewa. Angka 52% sangat tinggi maknanya, sehingga dapat dipastikan setidaknya lebih dari seperempat penduduk dan masyarakat Maluku (spesifik perempuan) ada dalam kondisi stress dan sangat tertekan. Belum lagi ditambah dengan lebih dari sepertiga laki-laki yang mengalami hal yang sejenis. [Tabel 7]
Namun pengamatan lebih seksama dengan membedakan masing-masing kelompok agama dan jenis kelamin, rata-rata komunitas muslim dua kali lipat merasakan "dendam, benci, marah" ketimbang kristen. Mendekati separuh laki-laki muslim (49,1%) menyimpan "dendam, benci, marah", perempuan muslim 37,9%, sementara sepertiga laki-laki kristen 33.1%, dan perempuan kristen 23,9% merasa "biasa-biasa saja".
e. Keadaan khusus para pengungsi muslim
Di tengah-tengah komunitas muslim, pengungsi lebih merasakan dendam dan putus asa, hampir rata-rata dua kali lipat ketimbang bukan-pengungsi. "Dendam, benci, marah": pengungsi 64,1%, bukan-pengungsi 35,9%; "putus asa, takut, kecewa", pengungsi 71,8%, bukan-pengungsi 28,2%. Gejala ini tak tampak di komunitas kristen. Di antara komunitas kristen, hampir tak ada perbedaan berarti di antara mereka yang pengungsi dan bukan-pengungsi, karena tingkat rasa dendam dan putus asa mereka setaraf.
Kiranya tak ada gejala khusus lain yang dapat ditarik dari keadaan para pengungsi, baik muslim maupun kristen. Observasi yang lain dari jajak pendapat ini kiranya berlaku pula untuk situasi responden pengungsi.
d. Pertentangan pendapat tentang kebijakan "darurat sipil"
Namun, jika Tabel 8 (siapa dapat menyelesaikan masalah Maluku) dikaitkan dengan pendapat responden tentang kebijakan "darurat sipil" dari pemerintah pusat dan daerah [Tabel 9], terdapat kontradiksi yang kiranya menampakkan "keterpecahan" sikap para responden. Sebanyak 48,7% responden menghendaki kebijakan tersebut "dipertahankan", sementara sejumlah 29,4% menghendaki "dicabut". Representasi kedua pendapat ini tampaknya cukup signifikan menimbulkan pertentangan dan perdebatan tentang kebijakan "darurat sipil". Namun, tak sedikit yang menyatakan "tak tahu": 21,0%. Sekalipun masyarakat jelas menegaskan hanya "pendekatan dari bawah" yang akan menyelesaikan konflik, namun mereka terbelah ketika bersikap terhadap kebijakan nyata yang sedang berjalan di Maluku. Keadaan ini, oleh sementara pendukung proses perdamaian di Maluku, ditengarai sebagai "keadaan laten" dari konflik yang sedang berlangsung. Mereka yang kurang memiliki sikap alias "tak tahu" akan condong menegaskan pertentangan pendapat tentang "darurat sipil".
Namun, dari segi transformasi konflik, kiranya fenomena "tak tahu" (21%) ini sulit ditolerir sebagai suatu kelompok yang memiliki suara menentukan. Mereka lebih akan jadi "silent biggest minority" yang akan mendukung opsi yang tepat untuk perbaikan keadaan masyarakat. Dengan kata lain, jika pilihan transkonflik adalah menerima atau menolak "darurat sipil", maka jika "diberitahu" apa duduk perkara "darurat sipil", mereka kiranya akan mendukung. Lihat juga Tabel 12.
Dalam kenyataan sejak kebijakan tersebut diterapkan di Maluku sejak Juni 2000 oleh pemerintah Gus Dur sampai saat ini, dengan pengiriman puluhan batalyon tentara dan polisi, aksi saling serang-menyerang terbuka secara besar-besaran antarnegeri jauh banyak berkurang, bahkan sudah tak ada lagi, kecuali aksi-aksi kekerasan sporadis. Tentu ada kejeraan yang merata di Maluku Tengah. Dan digantikan dengan hadirnya ribuan tentara, belum lagi terhitung polisi. Keadaan ini menegaskan bahwa sementara masyarakat berselisih pendapat tentang kebijakan itu sendiri, kebijakan "darurat sipil" dapat dikatakan "efektif".
Perkembangan ini mengingatkan pada sikap para perancang JP1, mengapa mereka tidak mempresentasikan hasil temuan JP tersebut kepada para peserta upaya transformasi konflik secara lebih luas. Derajat kepekaan persoalan ini mengundang pertentangan yang sementara itu dirasakan kurang mendukung proses transkonflik. Jika sampai sekarang pembaruan tubuh TNI belum lagi dapat berjalan seperti diancangkan kiranya dapat dimengerti karena di lapangan sendiri, "dwi fungsi" dalam wujud "darurat sipil" (doktrin territorial) tetap bertahan. Sementara dukungan dan penolakan dari warga sipil di daerah-daerah konflik sendiri tak kuat atau berhasil diredam justru dengan kehadiran "darurat sipil" itu sendiri.
Sikap kritis para responden tampak dalam penilaian mereka terhadap kinerja aparat keamanan. Sebanyak 24,6% menilai tentara dan polisi "bertindak berat sebelah dan memihak" dan 26% berpendapat mereka "bertindak melebihi batas dan memperkeruh situasi" [Tabel 11]. Sejumlah sedikit lebih dari 50% ini kiranya menghendaki adanya perbaikan kerja aparat keamanan, sebab profesionalitas kerja mereka tidak memadai. Sikap kritis dan konstruktif ini kiranya juga didukung sebanyak 52,2% responden yang yakin bahwa keterlibatan militer (dalam konflik) jelas tidak akan menyelesaikan masalah konflik sosial di Maluku [Tabel 12].
f. Konflik sosial ditengarai oleh pertentangan pemahaman
Tampaknya tak ada perubahan struktur dasar pemahaman dan hubungan antarkomunitas bertikai dalam kaitannya dengan konflik sosial. Malah condong lebih terkutubkan. Tabel 3 memperlihatkan komunitas kristen semakin meruncingkan pemahaman bahwa konflik sosial Maluku adalah "konflik di antara kalangan elit sipil dan elit militer", sedangkan komunitas muslim sedikit mempertajam penyebaran pendapat antara "gerakan separatis RMS", "konflik agama" dan "konflik etnis", sementara mereka yang melihatnya sebagai campuran di antara ketiganya (JP3) mendekati angka 30%. Memang "campuran/kombinasi" adalah rumusan umum yang kabur, sebuah ungkapan berorientasi ke sudut pandang orang-orang sederhana (para pengungsi, misalnya). Tetapi gejala ini tetap menguatkan karakter laten dari konflik di Maluku.
g. Pergeseran pandangan tentang siapa pelaku kekerasan di Maluku?
Terdapat pergeseran pandangan masyarakat yang cukup kentara sehubungan dengan siapa pelaku kekerasan di Maluku jika dibandingkan antara hasil JP1 dan JP3 [Tabel 4]. Pada JP1 34,77% responden dari komunitas kristen menunjuk TNI-Polri sebagai pelaku kekerasan, tapi pada JP3 jauh menurun hanya 5,4%. Sementara ada kecondongan komunitas muslim bertambah yakin bahwa pelaku itu adalah tokoh agama. Sementara kedua komunitas sepakat menunjuk "orang dari luar Maluku" sebagai pelaku di balik konflik sosial Maluku. Perubahan ini agak sulit diduga penyebabnya. Barangkali dibutuhkan investigasi lebih tajam lagi.
Memang, rancangan kuesioner sendiri sedikit diubah, setelah para peserta-pihak memandang perlunya memasukkan anasir lain, agar kolom "lain-lain" yang kurang terjabar dalam JP1 dapat dilihat lebih jelas penyebarannya. Di antaranya adalah "pemerintah pusat", "pemerintah daerah", "campuran" (ini tanda adanya ketidakjelasan siapa pelaku, sehingga rumusan kabur ini dimasukkan).
Kemungkinan pemahamannya adalah bahwa "situasi keamanan sudah berubah" setelah kebijakan "darurat sipil" lebih lama dilaksanakan. Sebagai perbandingan, misalnya, pandangan umum menyatakan komunitas kristen setuju pada kasus pemukulan terhadap Laskar Jihad oleh batalyon gabungan TNI Juni 2001. Sementara, untuk komunitas Muslim, selama minggu-minggu itu, terjadi gangguan-gangguan yang sering dilakukan oleh kelompok radikal dari Ambon sendiri, karena masih ada dukungan dari Laskar Jihad selama mereka masih berada di Ambon selama tahun 2001. Pendapat ini memperlihatkan masing-masing komunitas berusaha mengambil jarak. Dan dampaknya, mereka melihat persoalan konflik sosial jadi lebih rumit daripada meletakkan para pelaku dalam "kolom-kolom terpisah". Karenanya, lebih baik disatukan dalam bentuk pilihan "campuran".
Kemungkinan lain yang lebih jelas adalah bahwa kinerja hukum untuk mengusut pelaku kekerasan belum dapat dijalankan, sehingga masyarakat ada dalam keadaan tak menentu tentang siapa pelaku dan penyebab kerusuhan dan konflik sosial. Laporan komnas HAM sama sekali tak digubris oleh masyarakat Maluku, sementara tim baru yang lain (TPIN) pasca perjanjian Malino belum mencetuskan hasil kerjanya.
8. Temuan jajak pendapat yang mengatasi perspektif transformasi konflik
Mengamati lebih jauh hasil JP3 kiranya dapat diketengahkan beberapa petunjuk yang barangkali dapat dikatakan "beyond perspektif transkonflik" yang dilakukan. Pelajaran ekstra barangkali dapat ditarik untuk menemukan kemestian kunci menjaga kekuatan dan keseimbangan (dan karenanya, perdamaian) suatu masyarakat pasca konflik. Di sini terdapat dua sorotan, pertama, berkaitan dengan pelajaran yang dapat ditarik dengan membandingkan daerah aman dan daerah rawan konflik, dan kedua, melihat segmen masyarakat mana yang secara mendesak hendaknya ditangani sehubungan dengan perspektif penyelesaian konflik pada masa pasca konflik.
a) Peranan penyebaran informasi dan peningkatan peranan media massa adalah kunci pencegahan konflik?
Keamanan dan kerawanan di kota dan negeri/desa. Lepas dari perlunya investigasi lebih seksama sehubungan tingkat keamanan dan kerawanan konflik dari lokasi-lokasi di kawasan konflik, seperti telah disebutkan sebelumnya, dan sebelum membandingkan daerah "aman" dan "rawan", kiranya perlu diketengahkan terlebih dahulu bagaimana pendapat yang berkembang dalam masyarakat Maluku sehubungan dengan keamanan dalam perbandingan kota dan negeri/desa. Sekali lagi penentuan "rawan konflik" dan "aman" dilakukan oleh peserta-pihak, hampir-hampir secara spontan dan intuitif. Dan tampaknya pendapat mereka bersesuaian dengan pendapat yang umum beredar dalam media massa: "kerusuhan dan konflik sosial melanda terutama kota Ambon tapi juga terjadi di desa-desa" [Catatan: Varian lain dapat dilihat pada database konflik sosial UNSFIR di Jakarta. Tampak gambaran yang sebaliknya karena jumlah korban meninggal dalam konflik sosial antarnegeri dua kali lipat lebih besar daripada yang terjadi di kota Ambon. Perhitungan minimum media massa mencatat dari 159 kejadian kerusuhan, 11% terjadi di tingkat kabupaten, dan 41% terjadi di tingkat antarnegeri, artinya 52% terjadi di tingkat kabupaten, sedangkan sisanya 48% di kota Ambon. Dari segi jumlah korban meninggal, 1464 orang meninggal dalam serang-menyerang antarnegeri, 203 meninggal di kota kabupaten, dan 481 orang tewas di kota Ambon.] Peserta-pihak seumumnya memahami "keadaan kota Ambon jauh lebih 'rawan bentrok' daripada negeri-negeri"; 76,2% kawasan kota Ambon tergolong "rawan konflik", sementara di negeri-negeri kerawanan mencapai 23,8%. Ditegaskan bahwa 78,1% kawasan negeri adalah aman [Tabel 13]. Hal ini dapat dimengerti karena ruang cakupan lokasi negeri-negeri di mana responden berada lebih sempit daripada seluruh wilayah kabupaten Maluku Tengah, sebagai satu kesatuan daerah konflik. Para responden berasal dari negeri-negeri di dalam pulau Ambon.
Dari database konflik sosial yang disusun oleh kantor perangkat pendukung pemulihan Indonesia dari PBB (UNSFIR) di Jakarta yang bersumber dari media massa, jika teropong khusus diarahkan ke pulau Ambon, korban jiwa di dalam kota Ambon setidaknya mencapai 471 (79,83%), sedang yang terjadi di negeri-negeri di dalam pulau Ambon setidaknya sejumlah 119 orang (20,16%). Secara komparatif dari segi kesatuan lokalitasnya, sulit dibantah bahwa intensitas konflik sosial dan bentrok berdarah pekat terjadi di kota Ambon. Namun konflik sosial dan bentrok berdarah tingkat antarnegeri terjadi secara tersebar-sebar di pelosok-pelosok Maluku, sehingga intensitasnya dirasakan lebih kurang, meskipun jumlah korban meninggal di tingkat antarnegeri setidaknya tiga kali lipat daripada di kota Ambon. Inferensi awal yang dapat ditarik adalah bahwa setiap warga negeri berwawasan ruang lingkup sosial yang terbatas di negerinya sendiri, atau setidaknya di pulaunya sendiri. Ciri antropologis penduduk pulau-pulau kecil kiranya dapat dipertanyakan apakah melatarbelakangi lebih jauh "kecondongan parokial" ini.
Dari observasi ini, ada suatu catatan yang kiranya layak diketengahkan. Di satu sisi, perlu diingat bahwa database itu didasarkan pada berita yang tersebar di media massa ibukota. Belum lagi diperiksakan dalam kaitannya dengan media lokal di Ambon. Namun, untuk sementara ini, karena kesesuaian 'volume' korban antara yang diberitakan media massa dan pandangan para peserta-pihak (masyarakat), kiranya dapat ditarik gambaran awal bahwa pembentukan pendapat lewat media massa tampak "efektif". Distribusi informasi di kawasan konflik Maluku memainkan peranan sangat penting. Di sini, saya ingin melemparkan dugaan awal bahwa 'pengolahan informasi secara optimal memainkan peranan penting untuk mencegah konflik sosial' [Catatan: Petunjuk ini diperkuat oleh temuan dari Fearon dan Laitin (2001) dalam telaah mereka tentang berbagai pertikaian etnik-nasionalis di berbagai negara di dunia, bahwa senjang informasi membuat pertikaian dalam bentuk aksi serang-menyerang jadi semakin bertahan lama dan semakin sulit dikendalikan.] Di sisi lain, pertama, korban-korban yang tak terlaporkan karena tingkat sensitivitas masalah korban sama sekali belum tercakup; kedua, (1) struktur hubungan kota dan negeri dan (2) hubungan pulau Ambon dan pulau-pulau yang lain dalam hal keamanan dan kerawanan belum lagi terlukiskan; mobilitas penduduk belum tergambar.
Meskipun demikian, dari temuan pola hubungan antara kota dan negeri dari proses jajak pendapat ini dapat kiranya ditarik suatu inferensi relevan yang barangkali berguna setidaknya untuk kepentingan membangun perspektif transkonflik bahwa "penegasan intervensi di tingkat kota Ambon tak boleh dikesampingkan", meskipun argumen yang dikembangkan oleh para peserta-pihak selama ini adalah "berangkat dari negeri-negeri menegaskan konfirmasi perdamaian untuk komunitas kota". Argumen ini dikembangkan dalam suatu bentuk intervensi transkonflik yang kiranya sebagian dampak positifnya sudah dapat dilihat: setidaknya aliansi antara kalangan kampus perguruan tinggi di kota Ambon dan para raja negeri telah membuahkan tunas prospek ke depan pada pengutamaan kegiatan pendidikan untuk generasi muda di Maluku. Dari kronologi kerusuhan juga tampak jelas bahwa kota Ambon adalah permulaan kejadian kerusuhan. Karenanya, dapat dimengerti bahwa berangkat menyelesaikan masalah konflik dari kota mengundang kesulitan pada taraf awal. Negeri-negeri tetap jadi titik tolak untuk prospek perdamaian. Selain karena selama ini mereka telah jadi dampak dari pengutamaan pembangunan di kota dan penyeragaman struktur desa (merusak adat asli), mereka relatif kurang memiliki interes yang mengarah pada korupsi politik.
b) Membandingkan daerah "aman" dan "rawan konflik"
Kembali pada pembandingan, dalam konteks menemukan kunci transformasi konflik yang relevan, pertanyaannya adalah benang merah macam apakah yang dapat ditarik yang menghubungkan antara daerah "rawan konflik" (violent) dan daerah "aman" (quiescent)? Cara bertanya ini meminjam dari metode yang biasa dipakai dalam pendekatan ilmu politik terhadap fenomen kekerasan sosio-etnik, manifestasi konflik dan pelajaran untuk perdamaian.
Menyoroti empat negeri/desa yang berdasarkan pengetahuan umum sudah jelas diakui keadaannya: aman atau rawan konflik. Batu Merah (muslim, dalam kota Ambon) dan Mardika (kristen, dalam kota Ambon) adalah dua daerah yang umumnya dipandang sebagai "rawan konflik", dan Passo (Kristen) dan Seith (Muslim) sebagai "daerah aman", tak jauh dari kota Ambon. Adakah garis besar kecondongan yang dominan di antara kedua jenis daerah-daerah itu?
Gambaran umum keempat lokasi perlu dilukiskan sedikit di sini. Passo dikenal sebagai lokasi penempatan pengungsi. Jumlah pengungsi dilaporkan jauh lebih banyak daripada penduduk setempat. Keputusan publik secara spontan menunjukkan bahwa Passo dipandang daerah aman, dipandang sebagai 'salah satu basis penting komunitas kristen'. Sementara itu, Seith dikenal sebagai negeri muslim yang selama masa konflik leading di antara seluruh komunitas muslim setidaknya di jazirah Leihitu dalam upaya mereka mendorong proses perdamaian, posisinya tak jauh di ujung "jalur pintu masuk jazirah muslim Leihitu". Pertikaian antara negeri muslim tercatat beberapa kali terjadi, tapi pada umumnya dipandang aman.
Batumerah dan Mardika berada di jantung kota Ambon, tampak lebih dikenal sebagai lokasi yang 'vulnerable', salah satu titik di lokasi itu merupakan permulaan dari kerusuhan, berbulan-bulan dijaga ketat aparat keamanan bersenjata, termasuk pasukan yang dipandang paling elit (batalyon gabungan). Pamor pemuda setempat dan penghuni tetap tak dikenal sebagai "warga biasa". Selama masa-masa konflik yang paling menegangkan tetap dikenal sebagai lokasi dagang, ditandai adanya pasar rakyat dan supermarket yang masih bertahan.
Didukung pengamatan teknis terhadap data empiris dari hasil jajak pendapat, yang kiranya menarik disoroti adalah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang meminta pendapat responden. Saya tak mencoba mengarahkan sorotan pada substansi jawaban yang condong dapat membuat pengamatan kembali pada dikotomi diametral dari konflik komunitas muslim dan kristen, yang sudah cukup dalam diolah sepanjang tulisan ini. Alternatif menyoroti penyebaran jawaban di antara berbagai variabel dependen yang ditanyakan kiranya menawarkan beberapa inferensi dini yang dapat diajukan di sini.
Integritas pengolahan informasi adalah syarat dasar pencegahan konflik? Tampak adanya kecondongan perbedaan dalam hal tingkat variasi sikap yang mengandaikan adanya kedalaman pengetahuan yang berbeda satu sama lain di antara kedua jenis lokasi-lokasi itu. Di daerah yang rawan (Mardika [kristen], Batu Merah [muslim]) tampak jawaban para responden lebih bervariasi, sedangkan di daerah lebih aman (Passo [kristen], Hitulama [muslim]) variasi pengetahuan para responden lebih sedikit [Tabel 14].
Barangkali observasi ini dapat dipandang 'tak ada yang khas', karena mereka yang mengalami langsung kerusuhan dan pertikaian semestinya mengetahui lebih baik atau lebih dalam, begitu juga sebaliknya Namun jika diingat tak jauhnya jarak geografis di antara lokasi-lokasi "aman" dan "rawan" itu, kiranya permeabilitas informasi mestinya mudah terjadi, tapi data dan nalar wajar menyatakan tidak. Dari situ suatu jenis 'kemestian' kiranya dapat disorot lebih jauh.
Ada kecondongan di Passo (aman) para responden lebih "menyempit pandangannya tentang permasalahan konflik" (siapa aktornya, apa sebab kerusuhan), daripada orang-orang di Mardika. Masyarakat Mardika memiliki pengetahuan lebih bervariasi; variasi pengetahuan orang Mardika berlipat dua kali dibandingkan orang Passo (6 berbanding 3). "Penyempitan" pandangan dapat jadi disebabkan karena memang mereka sempit pandangannya dengan sendirinya, atau secara otomatis. Namun, melihat dua negeri penting di komunitas muslim, yaitu Seith dan Batumerah (9 banding 5), memiliki kecondongan yang mirip, apakah tidak dapat ditarik benang merah bahwa "daerah rusuh bervariasi pemahamannya tentang konflik, sedangkan yang aman menyempit pemahamannya?"
Signal yang terbit di sini: "Jika pengetahuan menyempit, atau lebih kurang bervariasi, sekelompok masyarakat jadi lebih kurang plural, tapi aman; sementara di lain pihak, semakin tidak aman, maka warga masyarakat itu jadi semakin plural atau lebih banyak perbedaan pendapat (lebih demokratis?)". Di sini tak hendak diinsinuasikan penerimaan implikasi bahwa "kalau mau aman, ya risikonya masyarakat harus dibikin seragam (bodoh); tapi kalau mau memperjuangkan pluralisme dan sikap inklusif, maka, ya resiko harus ditanggung kalau masyarakat akhirnya jadi tak aman". Sebab, kalau dibayangkan bahwa pengetahuan tak terjadi dengan sendirinya, barangkali cukup wajar jika kita memandang bahwa terdapat "pihak lain" yang membentuk pengetahuan itu. Pertanyaannya: bagaimana proses pembentukan pengetahuan (di kawasan konflik)? Barangkali "penyeragaman atau keanekaan sikap terjadi karena terdapat juru bicara masyarakat yang jadi agennya". Namun, lepas dari kemungkinan pengetahuan bisa memiliki implikasi positif dan negatif, pelajaran dari keempat lokasi itu adalah bahwa "bagaimana informasi dikembangkan memiliki peranan sangat penting di kawasan konflik". Temuan dini ini kiranya bersambung dengan dugaan sebelumnya, sehingga implikasi pertama yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara publik adalah bagaimana peranan media massa di era non-represi ini di kawasan konflik. Mungkinkah informasi tetap bebas, tapi sekaligus masyarakat juga semakin kuat dan tak rentan provokasi? Why not?
Perlu pengamatan dan penegasan lebih terinci tentang batas-batasnya. Pemerintah daerah condong membungkam media bebas, seperti terjadi dengan berbagai terbitan di Am-bon. Tapi apakah tak ada syarat minimal yang harus tetap dijaga jangan sampai kalangan bisnis media secara tak sadar, karena alasan sikap pragmatis dan keuangan, mendorong segregasi agama seperti terjadi dengan kasus Suara Maluku dan Ambon Express di Ambon? Ketika wartawan jadi sangat terpengaruh oleh pengalaman pribadinya (saudara dibunuh, rumah pribadi dibakar, anak istri tak jelas mengungsi ke mana, dsb., kehilangan pekerjaan ..), bagaimana menegaskan sikap terhadap tuntutan yang tampaknya sulit ditawar-tawar tentang mutlak perlunya integritas pengolahan informasi dalam masyarakat ?
c) “Para petani di negeri-negeri Maluku Tengah adalah kelompok yang paling intens berselisih pandang tentang konflik?”
Setelah mencoba membongkar berbagai data empirik yang berasal dari hasil jajak pendapat, memandang tingkat ketajaman intensitas konflik di antara para responden pada tingkat keseluruhan, dari tabulasi silang antara jenis pekerjaan, persepsi tentang konflik dan agama, tampak bahwa urutan “indeks” pertentangan pendapat terutama sebagai berikut: petani 70,1%; tak berpekerjaan 66,7%; wiraswasta 66,5%; swasta 65,3%; pegawai negeri sipil 62,5%; pelajar 58,6%; rohaniwan 35,7% [Tabel 15].
Urutan ini diambil secara khusus pada kolom yang paling kontroversial, yaitu penegasan para responden bahwa konflik Maluku dilatarbelakangi oleh konflik kepentingan di antara elit politik (42,1%; pilihan paling banyak respondennya), namun persis di dalamnya —dengan cara menghitung selisih persentase— terdapat kontroversi yang paling tarik-menarik satu sama lain di antara kedua komunitas bertikai di pulau Ambon. Belum lagi dipertimbangkan di sini isyu “faktor-faktor konflik” yang paling populer yang berkembang pada fase belakangan dari konflik Maluku yang tampak sangat bertentangan satu sama lain secara langsung, terutama tentang faktor RMS dan “orang luar”/laskar jihad.
Kiranya petunjuk ini mengarah pada korespondensi antara lebih besarnya jumlah korban yang tewas di kawasan negeri/pedesaan di Maluku dibandingkan dengan yang terjadi di kota Ambon. Petani di pedesaan menduduki urutan paling tinggi dalam derajat pertentangan pandangan di antara mereka tentang konflik. Sebuah masyarakat modern seperti yang dicoba dikembangkan di berbagai kota di Indonesia tampaknya tak dapat bertahan tanpa dukungan masyarakat desa. Para peserta-pihak kiranya mengakui tingkat kehancuran hubungan sosial sudah merata di seluruh wilayah konflik Maluku Tengah, tapi yang paling buruk berada di tingkat pedesaan. Upaya transformasi konflik di tingkat pedesaan terasa urgen, tak kalah pen-tingnya daripada di kota.
Tak banyak yang lebih lanjut dapat dikatakan dari urutan berikutnya kecuali bahwa tingkat divergensi pandangan sangat berbalikan satu sama lain di antara pihak-pihak bersengketa dalam berbagai jenis penghidupan masyarakat di Maluku Tengah. Derajat konflik urutan berikut setelah petani adalah “penganggur” (66,7%) yang tampaknya cukup masuk akal karena mereka termasuk di antara yang sangat diombang-ambingkan oleh gelombang konflik berkepanjangan. Sementara itu hasil Sensus Penduduk 2000 dari BPS memperlihatkan bahwa persentase “penganggur” (mencari pekerjaan dan yang tergolong bukan angkatan kerja tapi tidak sekolah) di Maluku Tengah mencapai 20% di desa dan 34,53% di kota (dalam hal “tak berpekerjaan jumlah perempuan [48,02%] lebih dari dua kali jumlah laki-laki). Angka ini lebih tinggi daripada prosentase pengangguran tingkat nasional setahun berikutnya (2001); pengangguran mencapai hampir 30% (media release BPS, Jakarta).
9. Catatan akhir
Layak diketengahkan di sini beberapa hal yang perlu untuk kelanjutan pengamatan konflik sosial di Maluku, yang kiranya dapat jadi lesson learned untuk kawasan lain.
Pertama, jajak pendapat partisipatif akan menjadi sangat "tangible" jika dilakukan secara ketat sekaligus fleksibel dalam proses deliberasi yang berkesinambungan. Fasilitator-peneliti hendaknya tak ragu mengusulkan proses penemuan penge-tahuan yang berdimensi nilai inklusivitas bahkan jika permasalahannya memang rumit. Terdapat setidaknya dua hal yang dapat dicatat untuk kepentingan perbaikan dari seluruh proses jajak pendapat ini. Di satu sisi, sebenarnya hasil-hasil penjajakan itu masih dapat dimanfaatkan lagi untuk membangun titik tolak kajian transkonflik lebih jauh. Namun data mentah telah terlanjur tak ditata dengan baik sehingga sulit dimanfaatkan lebih jauh. Di sisi lain, seandainya ditata secara ketat lebih berkesinambungan satu sama lain di antara beberapa jajak pendapat yang dilakukan secara bertahap, tentunya dapat diharapkan hasilnya akan mencetuskan pengetahuan yang lebih matang tentang konflik dan penyelesaiannya. Tahap-tahap dalam proses yang agak panjang dapat dimulai dari segi waktu dan kapasitas yang ada, segmen masyarakat dan tingkat sensivitas masalah, dan target perubahan berdimensi rekonstruksi pasca konflik.
Kedua, untuk memperkuat temuan awal tentang peranan informasi dan pencegahan konflik, kiranya diperlukan pendalaman dengan telaah perbandingan yang lebih memadai di antara lokasi konflik dan lokasi aman (tapi memiliki semua kondisi konflik) dalam beberapa faktor lain yang lebih mendasar: penambahan lokasi yang diamati, lama dan pendeknya konflik, senjang ekonomi untuk akses informasi di antara para penerima informasi. Hal ini dapat disambung dengan rekomendasi temuan berikutnya sehubungan dengan setidaknya lima jenis keadaan okupasi dari warga masyarakat yang diteliti: petani, tingkat pengangguran, wiraswasta; swasta; pegawai negeri sipil. Untuk kepentingan pengurusan pasca konflik dimensi ini kiranya penting disoroti ketika masyarakat itu memasuki periode yang lebih menuntut keterbukaan dan rekonstruksi fasilitas publik.
Ketiga, penerapan di kawasan konflik yang lain kiranya perlu mempertimbangkan proporsi kependudukan terutama dari pihak-pihak bertikai dan cakupan dari unit jajak pendapat (size). Percobaan untuk menerapkan jajak pendapat partisipatif dalam kasus konflik etnik Kalimantan Tengah dan Madura tampaknya akan membawa upaya ini untuk membatasi pada tingkat kota kecil (Sampit, misalnya) atau pedesaan lebih jauh di pedalaman. Fokus tampak-nya perlu diarahkan pada lokasi-lokasi asal dari para pengungsi Madura di Kalimantan Tengah.***
Referensi
Brubaker, Roger and David Laitin (1998), “Ethnic and Nationalist Violence”, Annual Review of Sociology, 24: 423-52
Eriyanto (2003), Media dan Konflik Ambon, Jakarta: 68H
Fearon, James D. dan David D. Laitin (1996), “Explaining Interethnic Cooperation,” The American Political Science Review 90: 4, December, hlm.715-35
______________________ (2001), “Ethnicity, Insurgency, and Civil War”, paper presented at the 2001 Annual Meetings of the American Political Science Association, San Francisco, August 30-September 2 (unpublished)
Horowitz, Donald L. (1998), “Structure and Strategy in Ethnic Conflict”, paper for the annual World Bank Conference on Development Economics, Washington, 1998 (unpublished)
International Crisis Group (2000), Indonesia: Overcomming Murder and Violence in Maluku, ICG Asia Report No. 10, Jakarta/Brussels, 19 Desember
________, Indonesia (2002): The Search for Peace in Maluku, ICG Asia Report No. 31, Jakarta/Brussels, 8 February
Irwin, Collin (2001), “How public opinion polls were used in support of the Northern Ireland Peace Process”, Global Review of Ethnopolitics Vol. 1, no. 1, September 2001, hlm62-73
Maluku dalam Angka 1999, Ambon: BPS Provinsi Maluku, 2000
Miall, Hugh (2001), Conflict Transformation: A Multi-Dimensional Task, Berlin: Berghof Research Center for Constructive Conflict Management.
Salampessy, Zairin & Thamrin Husein, ed. (2001), Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu, Jakarta: Tapak Ambon.
Sensus Penduduk 2000, Biro Pusat Statistik
Tadjoeddin, M Zulfan (2002a), “Database on Social Violence in Indonesia 1990-2001”, Jakarta: United Nations Support Facility for Indonesian Recovery, 2002 (UNSFIR website)
___________ (2002b), Anatomy of Social Violence in the Context of Transition: The Case of Indonesia 1990-2001 (Working Paper), Jakarta: UNSFIR, 2002 (UNSFIR website)
“Panglima Perang Menggantung Bedil” dan “Kelewang Pun Ia Ganti Pena”, dalam Tempo Edisi Khusus Hari Pahlawan 17 November 2002, hlm. 34-37
Tim BakuBae (2001), Community-Based Conflict Resolution Process, Jakarta/Ambon: BakuBae & YLBHI
Tim Peneliti LIPI (2001), Bara dalam Sekam: Identifikasi Akar Masalah dan Solusi atas Konflik-konflik Lokal di Aceh, Maluku,
Papua, dan Riau, Bandung: Mizan
Triyono, Lambang (2001), Keluar dari Kemelut Maluku, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
van Klinken, Gerry (2001), “The Maluku Wars: Bringing Society Back In,” Indonesia, No. 71, April
Varshney, Ashutosh (2002), “Project on Ethnic Conflict and Civil Society: Malaysia, Sri Lanka, Nigeria and Indonesia”, LICEP V, Stanfor, May 10-11 (LICEP website)
Friday, July 09, 2004
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment