Tuesday, May 31, 2005

Bahaya atau Peluang? Konflik Masyarakat Desa Pergulaan versus PT London Sumatra Tbk

Catatan: Tulisan berikut ini telah diterbitkan dalam buku sumber karya Ichsan Malik, Boedhi Wijardjo, Noer Fauzi dan Antoinette Royo, berjudul “Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam”, diterbitkan oleh Yayasan Kemala, Jakarta, 2003. Saya berterimakasih kepada beberapa petani dari desa Pergulaan, Sumatra Utara; RACA Institute di Jakarta; dan Antoinette Royo yang telah memberikan banyak masukan.
============================================


Analisis kasus konflik tanah di sebuah desa di Sumatra Utara ini memusatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan: Siapa para pihak yang bertikai? Siapa pihak-pihak lain sekalipun tak langsung tampak? Apa sumber-sumber konflik itu? Sejauh mana para pihak memandang konflik yang dihadapi sebagai bahaya atau peluang, secara khusus dipusatkan pada para warga petani sendiri. Bagaimana relativitas dari bahaya dan atau peluang yang dihadapi? Di manakah kekuatan dan kelemahan darip para pihak yang terlibat? Peluang apakah yang diambil oleh para pihak? Pertanyaan-pertanyaan ini penting diketengahkan untuk menguji tingkat dari konflik tanah dan usaha-usaha penyelesaian yang sejauh ini telah dilakukan oleh para pihak berkonflik tersebut.


Akar Masalah dan Para Pihak dalam Konflik

Pihak-pihak yang bersengketa adalah masyarakat desa Pergulaan, kecamatan Sei Rampah, kabupaten Deli Serdang, kira-kira 80 kilometer ke arah tenggara dari kota Medan (arah ke kota Pakanbaru dari Medan), Sumatera Utara (Sumut), berselisih klaim pemilikan tanah seluas lebih dari 165,6 hektar dengan perusahaan perkebunan PT London Sumatera Tbk (seterusnya Lonsum). Sampai sekarang perusahaan ini telah menguasai sejumlah tanah mendekati 4.000 hektar tanah perkebunan, dengan status HGU dari pemerintah. Namun dalam perjalanan waktu tampaknya keluasan itu dirasa belum cukup sehingga tanah rakyat yang berada di ujung tenggara perkebunan juga dicaplok oleh perusahaan kelapa sawit itu.

Dengan berbagai cara intimidasi dan kekerasan sepanjang tahun 1974, lahan 165,6 hektar itu dihaki oleh Lonsum. Sejumlah 517 kepala keluarga digusur. Sejumlah 54 rumah permanen hunian warga dihancurkan. Ganti rugi dipaksakan. Tanah itu kemudian ditanami dengan kakao dan kelapa sawit seperti tanaman bisnis lain yang dikomoditikan oleh perusahaan tersebut. Sepanjang 1974 sampai setelah reformasi 1998 penduduk tak bisa apa-apa. Kalau ada upaya merebut kembali tanah itu, segala macam cara menghambat diancamkan kepada penduduk, mulai dari mempekaíikan sampai melakukan kekerasan terhadap penduduk. Salah satu korban yang tragis adalah almarhum Pak Kasiat yang dianiaya dengan setrum listrik. Ia cacat sampai meninggalnya 1999. Tak ada pemulihan apa pun untuknya.

Izin HGU perusahaan itu sendiri yang didapat dari pemerintah tahun 1968 sudah habis masa berlakunya 1998 dengan ketentuan luas 3.787 hektar. Tapi kemudian pemerintah pusat memperbaruinya dengan HGU No 2/1997, namun anehnya luasnya meningkat jadi 4069,84 hektar. Peningkatan jumlah areal ini adalah suatu bentuk legal pencaplokan tanah yang semakin membuat masyarakat Pergulaan menentangnya. Karenanya, persis juga ketika keterbukaan reformasi sedang berlangsung, warga desa Pergulaan mulai berupaya memperjuangkan entah bagaimana caranya pokoknya harus sampai bisa memiliki kembali harta milik tanah mereka itu. Mereka telah mendapatkan hak atas tanah itu jauh sebelum perusahaan perkebunan itu mendapat izin dari pemerintah daerah dan pusat tahun 1968 untuk membudayakan tanah perkebunan.

Di satu sisi, terlibat dalam konflik ini para pihak lain pada lapis berikutnya. Pada lapis lokal terdapat Badan Pertanahan Nasional tingkat kabupaten Deli Serdang, bupati Deli Serdang. Pada lapis provinsi terdapat gubernur Sumatera Utara yang sebenarnya memiliki wewenang penataan dan perbaikan ke depan demi kesejahteraan dan kedamaian masyarakat setempat. Para aparat keamanan setempat yang bisa berasal dari lapis-lapis struktural dari Polda Sumatera Utara sampai polsek Deli Serdang, atau komando rayon militer setempat. Dalam proses ini pihak militer tidak tampak aktif, kecuali "menyaksikan". Di lain pihak setelah analisis semakin menajam Badan Pertanahan Nasional pada tingkat pusatlah yang berperan besar, setidaknya dalam meloloskan perpanjangan HGU 1997 untuk Lonsum dalam keluasan yang melonjok tak sesuai dengan perjanjian awal.

Di lain sisi, terdapat pula para organisasi non-pemerintah yang berupaya mendorong proses transformasi konflik dengan berbagai kegiatan standar yang mereka lakukan, mulai dari advokasi kasus konflik tanah, pelatihan produksi pertanian, intervensi peningkatan kesadaran dan pengetahuan sosial politik para pihak berkonflik.


Profil ekonomi konflik

Berdasarkan perhitungan warga desa Pergulaan, dalam jangka waktu 29 tahun (1974-2000) saja, pendapatan serobotan dari tanah warga yang dilakukan oleh Lonsum setidaknya mencapai 97,5 milyar rupiah. Hitungan ini didasarkan pada perkiraan minimum bisnis industri pertanian kelapa sawit (saja): 1 hektar tanah idealnya terdiri dari 125 pokok pohon kepala sawit; klaim kepemilikan warga seluas 165,6 hektar; harga buah sawit per kilo Rp 500 (sampai tahun 2003); minimum dua kali pemetikan buah kelapa sawit per bulan; hitungan masa produktif selama 26 tahun. Belum lagi ditambah dengan nilai kepemilikan tanah yang dicaplok itu sendiri. Berdasarkan perkiraan ini dapatlah ditaksir bahwa per tahun Lonsum mengeruk pemasukan sebesar 92,16 milyar rupiah, dengan dasar keluasan seluruh lahan perusahaan tersebut sebesar 4069,84 hektar. Ini baru untuk bisnis industri kepala sawit saja. Kepemilikan tanah warga hanyalah empat persen dibandingkan dengan seluruh kekayaan perusahaan.

Lonsum sendiri mempekerjakan sekitar 1.628 orang buruk perkebunan, dengan pengandaian satu orang buruh tani idealnya mengurus seluas 2,5 hektar lahan industri kelapa sawit. Gaji buruh tani terendah sekitar Rp 480.000 per bulan sampai pertengahan 2003; tapi masih ditambah dengan jatah beras yang volumenya tergantung tanggungan jumlah anggota keluarga para buruh. Rata-rata kebutuhan per bulan untuk kehidupan para buruh mencapai Rp 650.000. Dengan pendapat semepet ini ancangan ancangan ke depan untuk pendidikan anak-anak dan generasi mudah tak lagi mungkin dipikirkan.

Dari warga desa Pergulaan hanya sekitar 100-an orang yang menjadi buruh Lonsum, sisanya umumnya berusaha dan bekerja dengan cara menyewa tanah dari kawasan tetangga desa Bah Sidua-dua, desa Sri Utama dan desa Sukasari. Tingkat pendapat mereka pun mepet sekali untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Sulit dibayangkan adanya kekuatan ekonomi yang dapat menjadi modal lebih kuat untuk menghadapi konflik tanah yang merundung warga desa itu.

Warga desa sendiri masih menghadapi tantangan yang besar mengingat tingkat pendidikan warga desa Pergulaan hanya pas-pasan. Kebanyakan lulusan sekolah menengah umum, tapi belum lagi diuji kemampuan dan kesiapan mereka menghadapi tantangan bekerja secara produktif.

Jika tak ada peluang apa pun yang lain, pendapatan pokok mereka hanyalah dari jadi buruh tani harian lepas pada perusahaan perkebunan itu. Yang sungguh kesulitan menemukan pekerjaan di sekitar desa umumnya lalu memutuskan untuk merantau.

Perlu dicatat pula bahwa dampak lingkungan yang pasti terjadi adalah bahwa kelapa sawit menguruskan tanah. Memang dampak ini belum terukur secara ilmiah, namun pengalaman di berbagai daerah telah memberikan hikmah pada para petani. Lebih dari itu pabrik minyak kelapa sawit dalam wilayah perusahaan meracuni udara lingkungan sekitar Lonsum. Penduduk langsung terimbas dampaknya.


Perjuangan (Fisik) untuk Merebut Tanah Itu

Masyarakat Pergulaan pada dasarnya menginginkan tanah mereka dikembalikan. Sekalipun tanpa ada bantuan siapa pun, mereka tetap berusaha memperolehnya. Misalnya dengan melakukan aksi begitu saja menanam ubi dan pisang. Melihat aksi reklaiming ini tentu saja perusahaan perkebunan itu tidak terima. Pendudukan harus dihentikan. Intimidasi (harus) dilakukan, dengan mengundang dan membayar polisi. Ratusan brigade mobil polisi dikerahkan. Pemuda Pancasila dan Pamswakarsa disewa ototnya untuk mengancam warga desa dan kalau perlu memukuli warga yang berkeras kepala. Semua ini tentu saja "ongkos" untuk Lonsum.

Aksi reklaiming dan pengusiran berlangsung beberapa kali. Tercatat sampai akhir 2000 aksi reklaiming dan pengusiran sudah terjadi lima kali. Namun, kegagalan demi kegagalan meyakinkan warga ada di pihak yang lemah. Dalam hal ini tampak jelas keadaan kekuatan yang tak seimbang antara para pihak yang langsung terlibat dalam konflik. Upaya "pendudukan" kembali sering hendak dilakukan lagi, tapi melihat gelagat pam swakarsa mau datang, penduduk menghindari kemungkinan bentrok. Warga Pergulaan tak merasakan ada hasilnya. Upaya penguatan dan pemberdayaan dari berbagai segi masih sangat dibutuhkan oleh warga Pergulaan sendiri.


Negosiasi

Sejak Lonsum menyadari semakin meningkatnya klaim sengketa tanah dari pihak warga Pergulaan, beberapa pemuka warga menjadi kepentingan perusahaan pertanian itu untuk "diajak berbicara". Namun, tampaknya negosiasi itu palsu, sebab itikad Lonsum untuk berdialog tampak semu. Lonsum masih berniat untuk membujuk warga agar menerima suap. Empat orang pemuka warga secara diam-diam lewat selembar surat ketika sedang berdialog disodori kemungkinan menerima uang sebesar 200 juta rupiah untuk masing-masing. Para pemuka warga itu menepis tawaran ini.

Negosiasi yang akhirnya bermuara di forum dengar pendapat di DPRD Sumatera Utara, 5 September 2000, tak berbuntut apa-apa kecuali mulut terbungkam dari direktur utama Lonsum. DPRD Sumut sudah tegas menyatakan dukungan agar "masalah lahan antara Lonsum dan masyarakat hendaknya dikembali ke posisi semula" [buletin Hanura 2/2003:35]. Fasilitasi negosiasi yang didesakkan pada DPRD kiranya masih berada dalam posisi minimal. Desakan dan proses resolusi konflik belum mendapatkan perhatian dan pemikiran yang lebih mendasar.


Bahaya dan Peluang?

Di satu pihak, bahaya yang paling dikhawatirkan lagi oleh warga desa Pergulaan adalah kemungkinan bentrok dan kekerasan yang memang --tidak hanya "dirasakan"-- sangat aktual. Potensi konflik sementara ini kiranya dapat dikatakan "tidak laten" karena relatif dapat dilakukan kontrol dengan adanya organisasi warga setempat, tapi juga bukan tidak mungkin tiba-tiba muncul jadi "terbuka". Kondisi di antara "laten" dan "terbuka" ini (mencuat, emerging) secara silang-silih jadi merepotkan para pengurus warga dalam proses perjuangan yang dilakukan. Kekerasan menimbulkan ketakutan. Ketakutan berdampak mengerutnya semangat perjuangan merebut tanah itu. Ironi terasa kuat ketika disadari bahwa tanah itu sebetulnya adalah tanah "kami" sendiri. Masyarakat takut merebut tanahnya sendiri ..

Di lain pihak, ancaman internal kiranya juga bukan sedikit. Agak tak mudah dibayangkan potensi konflik internal yang mungkin muncul ke permukaan pada tataran praktik di lapangan dan kehidupan sehari-hari di lingkungan desa dan perkebunan itu. Sebanyak 100-an warga desa menjadi buruh atau pekerja pada Lonsum. Anggota keluarga dari seorang warga yang berjuang mendapatkan kembali tanahnya tak sedikit yang bekerja pada Lonsum. Komunikasi bocor yang tak dikehendaki dapat terjadi. Hal-hal yang selayaknya jadi rahasia di antara pegiat perjuangan mendapatkan tanah ómisalnya jika aksi reklaiming hendak atau sedang dilakukanó dapat bocor ke pihak Lonsum. Pemuka warga dapat diintimidasi, jika misalnya anaknya diancam Lonsum agar orangtuanya tak usah berjuang merebut tanahnya. Atau, sang anak dipindahkan ke wilayah pekerjaan yang lebih jauh sehingga beban kerjanya lebih banyak.


Peluang dan Kekuatan

Sekarang ini, ketika perjuangan yang sudah lama dilakukan belum menghasilkan yang diharapkan, tampaknya terasa tak ada kekuatan dan peluang nyata yang ada di tangan warga desa Pergulaan. Tapi, apa yang memotivasi sehingga toh mereka tetap mau memperjuangkan tanah milik mereka yang faktual ada di tangan Lonsum? Ada beberapa argumen mendasar yang kiranya perlu disebutkan di sini.

Pertama, kekuatan terletak pada dimensi moral yang mendasar, yaitu bahwa tanah itu (pernah jadi) adalah milik warga, tapi diserobot dengan paksa oleh Lonsum. Kekuatan terletak pada argumen kepemilikan yang kuat ini tidak hanya didasarkan pada kejernihan nurani tentang kebenaran dan didukung oleh rasa keadilan dan hak hukum yang sah dari masyarakat warga desa Pergulaan itu sendiri, tapi juga oleh bukti-bukti pembayaran pajak atas garapan tanah yang sekian lama telah selalu dilunasi oleh warga desa. Memang, bukti ini bukan berupa "sertifikat", tapi surat pajak telah membuktikan fakta hak sejarah yang sifatnya primer sebagai bentuk pengakuan publik dan terbuka. Lebih dari itu, hak garap dan keberadaan warga desa tersebut didukung oleh dokumen pencatatan pada asisten wedana Sei Rampah (sekarang kecamatan) dalam bentuk kartu pemakai tanah yang dilindungi oleh UU Darurat No 8/1955.

Kedua, fakta bahwa warga desa Pergulaan telah puluhan tahun tinggal dan menggarap lahan yang sekarang mereka tuntut adalah kekuatan hukum dasariah yang dibenarkan oleh keyakinan akan hak untuk hidup dan bekerja mendapatkan nafkah. Hak untuk hidup tak seimbang jika dibandingkan dengan pengutamaan atau penyalahgunaan "hak guna usaha" yang melindungi (melulu) bisnis sebuah perusahaan perkebunan.

Ketiga, pemerintah dan mereka yang berkuasa atas dasar suara rakyat sendiri sesungguhnya wajib dan bertanggungjawab untuk menjamin kehidupan masyarakatnya.

Keempat, dukungan dari sekian banyak pihak baik dari jawatan-jawatan pemerintahan setempat maupun berbagai kalangan publik yang lain seperti jaringan perjuangan para petani.

Kelima, keyakinan dan potensi pertumbuhan keyakinan itu sendiri untuk jadi semakin kuat bahwa hukum dan kebenaran berada di pihak warga desa adalah kekuatan objektif yang diharapkan mampu mengubah keseimbangan kekuatan dalam konflik.

Keenam, adanya tak sedikit peluang, kemungkinan, alternatif pemecahan terhadap konflik ini sendiri juga merupakan kekuatan moral yang disadari oleh para warga desa.

Namun, sejak menyadari terus-menerus ditimpa kegagalan dalam usaha mempertahankan hak mereka itu, meskipun warga desa Pergulaan sudah berusaha beberapa kali melakukan aksi reklaiming, kekuatan internallah yang kini mereka yakini harus dipastikan proses penguatannya. Dalam hal ini mereka sangat sadar akan bahaya reklaiming karena akan langsung dibalas dengan kekerasan dari aparat negara yaitu Brimob. Konflik terbuka itu memberikan pelajaran bahwa pengalaman bersengketa dengan perusahaan itu sendiri menumbuhkan hasrat untuk lebih bersikap hati-hati, cermat dan seksama dalam menanggapi konflik yang masih terus mengancam. Bentrok-bentrok awal yang terjadi memberikan pelajaran bahwa kekerasan dibalas dengan kekerasan tak akan menyelesaikan masalah. Keputusan untuk menghindari bentrok sejak September 2000 menimbulkan gagasan untuk menyilih pengelolaan konflik ini dengan cara menempuh jalan meluruskan politik hukum maupun jalan penguatan masyarakat terlebih dahulu. Sementara ini, warga Pergulaan mengaku jalan hukum di pengadilan kiranya tak dirasakan keperluannya. Namun, jika alternatif ini tidaklah tertutup, sebab jalan litigasi juga diyakini mampu menguji dan menguak tingkat konsistensi logika hukum secara publik.

Penguatan organisasi warga desa dimulai dengan membangun kerjasama dan aliansi dengan para pegiat advokasi kasus pertanian. Yayasan Bitra Indonesia ó Medan yang kemudian didirikan 1985 adalah rekan pertama yang dikenal warga lewat informasi terbuka dalam masyarakat. Kontak kerja dengan Lembaga Bantuan Hukum Medan membuka peluang untuk membangun jaringan dengan sesama organisasi para petani di Sumatera Utara. Intervensi yang dilakukan oleh kedua organisasi ini mendorong para warga untuk memahami persoalan menjadi lebih jelas dan jernih, sementara potensi kekerasan yang dapat menimbulkan korban dapat dicegah dan diperhalus tingkat ekspresinya. Potensi konflik disalurkan dan diubah menjadi kekuatan positif untuk menyusun kekuatan dari pihak para warga Pergulaan. Diharapkan dalam prospek perjalanan ke depan konstelasi kekuatan menjadi lebih berimbang sehingga dapat menjamin keputusan yang akan diambil jika tiba saatnya reklaiming dilakukan lagi.

Bangunan awal dari kekuatan sudah mulai tampak. Di satu sisi, Badan Perjuangan Petani Sumatera Utara (BPPSU) adalah rantai yang mengaitkan para petani berkasus dan mengambil jalan kerja advokasi kasus tanah. Sementara itu di sisi lain kerja sama dengan organisasi tani yang menekankan teknik pertanian pun diperlukan, yaitu Forum Petani Sumatera Utara (FPSU). Pada tingkat yang lebih luas (regional), kedua sisi hidup petani yang serba susah ini dijaring oleh minat Rapid Agrarian Conflict Appraisal (RACA) Institute di Jakarta yang merintis ruang politik kaum petani Indonesia dengan mulai membangun kelompok kerja para petani. Targetnya tentu akan mencapai seluruh petani di Indonesia.

Di tingkat desa Pergulaan sendiri dibangun organ bernama Badan Perjuangan Masyarakat Pergulaan (BPMP). Yang paling nyata jadi kekuatan organ ini adalah hadirnya kekuatan 50 orang warga menjadi "Tim 50" yang tugas utamanya adalah inti konstituen warga tani desa itu karena di tangan merekalah ketulusan dan militansi dapat diharapkan. Masing-masing anggota tim menjaring kepastian dukungan dari 10 orang warga desa tersebut. Tugas jaringan yang paling menonjol adalah membangun solidaritas dan menangkis segala kemungkinan jalur informasi bocor. Counter-intelligence melawan musuh adalah jaringan dasar yang menjamin kekuatan paguyuban warga desa Pergulaan. "Menggunting musuh" adalah kewajiban moral yang imperatif dilakukan jika saatnya tiba.

Di samping kekuatan kelompok kerja warga desa, kepala desa sendiri menjadi pemuka organisasi perjuangan dalam upaya merebut kembali tanah itu. Kekuatan "institusional" ini tentu mempermudah jalinan solidaritas di antara warga desa.


Kekuatan atau Bahaya?

Dalam perkembangan proses perjuangan yang dilakukan, terutama setelah strategi mengurus "politik hukum" ditekuni, tampaknya kekuatan yang dirasakan oleh warga desa Pergulaan adalah bahwa hampir semua pejabat pemerintah lokal secara terbuka menyatakan dukungannya. Pernyataan itu terungkap dari pihak bupati Deli Serdang, pihak kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional, pihak gubernur Sumatera Utara, dan juga para wakil rakyat di DPRD Sumatera Utara. Kekuatan verbal secara tertulis pun sudah dinyatakan secara terbuka bahwa hak atas tanah 165,6 hektar itu ada di tangah warga masyarakat Pergulaan. Tapi kelanjutan pernyataan mereka tak kurang mengimplikasikan ancaman, jika bukan "bahaya". Para pejabat daerah itu mengakui hak tanah warga Pergulaan, tapi juga menyatakan mereka tak mampu mengambil keputusan .. Keputusan ada di tangan pemerintah pusat, dalam hal ini BPN Pusat di Jakarta, yang telah mengeluarkan perpanjangan HGU tahun 1997. Apakah warga Pergulaan hendak menunggu 30 tahun lagi sampai 2027 untuk ditipu lagi dan menanti 30 tahun berikutnya? Konflik struktural ini menampakkan kerumitan dan kemungkinan untuk setiap kali memperlemahkan kembali kekuatan dari bawah.

Apakah ini artinya? Warga Pergulaan diingatkan dengan segala jenis kolusi dan korupsi yang juga sudah biasa terjadi hampir di semua lini kehidupan publik di Indonesia. Bukankah masyarakat lokal, siapa pun mereka yang selayaknya mengurus kehidupan sosial dalam kebersamaan menuju kesejahteraan bersama? Sogok dari Lonsum sedang berbicara? Siapa lagi yang kemungkinan mendapatkan uang untuk inaction dan cukup "mengakui" saja? Apakah ini yang disebut dengan "pengakuan kosong"? Para pejabat daerah hanya dapat memberikan "rekomendasi" dan "bukan aksi". Tampaknya belum dapat diharapkan adanya "keberanian politik moral" yang lebih jauh dari mereka.

Kabar burung memberitakan bahwa para pejabat itu takut nanti akan digugat oleh Lonsum.. Ongkosnya buat mereka bisa tidak sedikit .. Konflik ini terasa begitu nyata bagi banyak pihak. Bagaimana mungkin BPN Pusat enak saja mengeluarkan perpanjangan HGU untuk Lonsum tahun 1997, sekalipun pejabat setarafnya di departemen dalam negeri sudah memperingatkan jauh-jauh sebelumnya tahun 1978: "... apabila perkebunan masih menginginkan tanah tersebut akan diusulkan pemberian hak guna usahanya jika telah ada penyelesaian terlebih dahulu dengan pihak penggarap yang dibuktikan dengan keterangan dari bupati (setempat) tentang telah diselesaikannya masalah tanah garapan tersebut." [buletin Hanura 2/2003:37] Sampai akhir Juni 2003 pihak BPN Pusat masih mengulur konflik dengan dalih melakukan kompromi óyang bisa jadi berbentuk korupsi dan kolusió dengan pihak perusahaan perkebunan itu.

Keputusan tindak lanjut tetap ada di tangan warga desa Pergulaan sendiri. Mereka akan memutuskan apa yang hendak dilakukan, seandainya pengakuan tertulis itu pun nanti akhirnya bisa keluar dari BPN Pusat sebagai kementerian agraria.


"Kesabaran"

Sangat ironis jika "kesabaran" tergolong sebagai kekuatan masyarakat Pergulaan. Tapi tampaknya inilah pilihan aktual warga desa itu. Sejak aksi reklaiming kelima September 2000 yang gagal, warga memutuskan untuk memulai jalan menggarap "politik hukum" pemerintah dan para kroninya. Sementara ini dukungan yang sangat minim tapi resmi dari para pejabat daerah dapat menjadi modal mendesak pemerintah pusat. Pengakuan pihak pemerintah pusat adalah sasaran utama warga desa pada saat yang genting ini. Maka desakan di bawah dalam bentuk aksi reklaiming tak dilakukan terlebih dahulu, sementara kekuatan dipusatkan pada desakan ke pusat masalah. Disadari bersama bahwa reklaiming pada saat genting dan penantian ini dapat menimbulkan hal-hal yang konter-produktif. Isu nasional yang sedang condong menggunakan argumen "anti-terorisme" juga tak dirasakan mendukung pembangunan momentum warga desa.

Suatu fakta non-case yang cukup mencolok yang patut jadi catatan pinggir adalah perbedaan sikap aparat keamanan polisi di Sumatera Utara terhadap warga desa Pergulaan dibandingkan dengan terhadap warga Porsea yang sedang kembali menghadapi kembalinya si perusak lingkungan PT Inti Indorayon Utama atau PT Toba Pulp Lestari. Pada kasus Indorayon aparat mengriminalkan warga Porsea, sedang pada kasus Pergulaan tak satu warga pun dikriminalkan, meskipun aksi bentrok sudah menelan mobil dan sepeda motor polisi.

Namun, pada saat yang sama penguatan warga terus dijalankan. Program menggalang dukungan dan solidaritas lewat iuran seribu rupiah sebulan sudah berjalan baik dalam organisasi warga desa yang berjuang, meskipun tentu bukan berarti apa-apa tapi sekaligus sangat bermakna bagi pertumbuhan dan perkembangan kesadaran bersama di antara para warga.***

"Negosiasi ala Ketanbanci" dalam Konflik Tanah antara Warga Desa Ciseru, Cilacap versus PT Indo Java Rubber Planting Company

Catatan: Analisis kasus berikut ini telah diterbitkan dalam buku sumber karya Ichsan Malik, Boedhi Wijardjo, Noer Fauzi dan Antoinette Royo, berjudul “Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam”, diterbitkan oleh Yayasan Kemala, Jakarta, 2003, h500-06. Saya berterimakasih kepada Adhi Prasetyo, sebagai advokat masyarakat dari RACA Institute di Jakarta; dan Antoinette Royo yang telah memberikan banyak masukan.
===============================================



PENTINGNYA pengawalan dari para pendamping, pegiat, organisers, dan para lawyers yang terbuka untuk dimensi perjuangan non-peradilan, terutama pada saat terjadi perundingan-perundingan, adalah pelajaran yang penting yang dapat ditarik dari kasus konflik tanah yang terjadi antara warga masyarakat desa Ciseru, kecamatan Cipari, kabupaten Cilacap, Jawa Tengah melawan perkebunan yang lebih dikenal dengan nama desa itu sendiri tapi berada di bawah manajemen PT Indo Java Rubber Planting Company ókasus laten ini jadi terbuka setidaknya sejak 1998.

Analisis kasus ini membahas secara khusus tentang proses menyeimbangkan kekuatan rakyat dan membuka jalan-jalan non-peradilan yang dapat membantu menyelesaikan konflik. Kiranya menjadi revelan di sini jika kita simak lebih jauh lagi proses penguatan yang terjadi pada kasus ini dan secara khusus menyoroti kasus proses "negosiasi" yang berlangsung. Negosiasi atau perundingan antara petani dan para pihak lain sempat terjadi dalam kasus konflik tanah warga Ciseru. Ini prestasi tersendiri yang patut ditarik pelajaran.


Tawaran Negosiasi yang Tak Sempat Ditanggapi Sepenuhnya

Cilacap, Jawa Tengah. Sekitar pertengahan 2000. Setelah rentetan kejadian yang cukup keras melanda warga desa Ciseru yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan karet itu, pemerintah kabupaten Cilacap, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, Kanwil BPN Jawa Tengah, BPN Cilacap, akhirnya mau melakukan "negosiasi secara serius" dengan warga "Ketanbanci". Sebutan ini, kependekan dari "Kelompok Tani Korban Ciseru Cipari", dipakai oleh warga desa tersebut untuk menyintalkan identitas perjuangan gerakan penyelesaian konflik tanah. Di satu sisi, pasca pemenjaraan beberapa warga petani dari desa yang memperjuangkan hak tanah itu, Desember 1999, kampanye kasus konflik tanah itu di tingkat nasional memang membawa dampak positif. Namun, di sisi lain, proses pengurusan kasus tindak pidana oleh polisi dan aparat hukum lainnya tetap terus berjalan sehingga menguras tenaga para pegiat bantuan hukum dan para organisernya. Jumlah pengacara publik yang tersedia dan diakui dalam sistem yurisdiski setempat juga tak memadai, meskipun dana relatif masih tersedia.

Dalam keadaan susah payah semacam itu, tawaran dan proses negosiasi akhirnya tak sempat diurus dengan baik. Namun, barangkali juga diakibatkan oleh bias institusi lembaga bantuan hukum. Akibatnya, pengawalan tak bisa dilakukan secara optimal baik oleh warga petani Ketanbanci sendiri, Serikat Tani Merdeka (SeTAM) maupun divisi tanah dan lingkungan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. LBH Yogyakarta waktu itu sangat disibukkan dengan proses litigasi atas 36 anggota Ketanbanci yang dituduh melakukan aksi perusakan truk Brimob Polwil Purwokerto dan Polres Cilacap. Kasus pidana itu sendiri dipecah menjadi lima kasus sehingga jadi beban yang lebih merepotkan para pegiat bantuan hukum.

Ada satu skenario pembusukan terhadap gerakan warga desa Ciseru dan para pendukungnya tetap berlangsung. Seorang pemuka para wakil rakyat setempat yang berpengaruh dan sesungguhnya juga disegani oleh warga kabupaten melakukan "pendekatan" terhadap keluarga-keluarga yang dikriminalkan dan warga-warga lain dari desa itu agar tidak lagi bergabung dengan SeTAM dan memutuskan hubungan dengan LBH Yogyakarta. Namun, upaya penggembosan organisasi tani tersebut tidak menyurutkan langkah perjuangan. Pengurus organisasi tani yang masih tersisa bersama dengan SeTAM dan LBH Yogyakarta melakukan kampanye kasus di tingkat nasional dengan mendatangi BPN, Komnas HAM dan lembaga jaringan gerakan lainnya untuk ikut mendapatkan dukungan dan melakukan berbagai tekanan dalam bentuk apa saja yang mungkin.

Pada skenario lain muncul pengacara umum lokal di tingkat kabupaten yang disewa oleh perusahaan perkebunan PT Indo Java Rubber Planting Company giat memanfaatkan situasi tak menguntungkan bagi para petani Ketanbanci itu. Pengacara tersebut ótentunya didasarkan afirmasi sikap perusahaan sendirió menawarkan "kue kecil" yang dipandang akan menenteramkan situasi secara umum, yaitu tanah seluas 11 hektar yang hendak diserahkan secara "formal" kepada warga desa Ciseru. Semua isu kasus Ketanbanci total bergeser hanya ke "kue kecil" itu. Perhatian warga Ciseru yang sudah klenger karena pemenjaraan para tokoh petaninya, juga tak bisa lepas dari "kue kecil" ini. Ini hebatnya manuver para "tokoh" lokal itu. Pemuka wakil rakyat berpengaruh sendiri juga mendukungnya. Dalam pertemuan-pertemuan dengan para pihak dan juga ketika berkunjung ke keluarga para petani yang dipenjarakan ia berucap: "Perjuangan menuntut hak atas tanah tidak harus dilakukan dengan kekerasan."

Kondisi sudah menjurus pada satu arah yang memihak pemuka masyarakat setempat. Dengan membawa "kue kecil" itu, mereka mendekati tiga orang tetua di sekitar desa Ciseru: pertama, "Bapak" Abdullah (yang kuat posisinya sebagai pemimpin budaya dan agama tapi dalam pandangan dunia yang kelabu)1; kedua, "Bapak" Suksdino (seorang mantan kepala desa dari desa yang bertetangga dengan desa Ciseru); dan ketiga, "Bapak" Ahmad Sulaya (seorang aktivis partai politik setempat). Suatu kekuatan bikinan baru dalam rejim setempat mendorong munculnya tiga orang tokoh itu yang kemudian menamakan diri mereka sebagai "jembatan" antara pemerintah, DPRD dan perkebunan. Inilah skenario "negosiasi" yang selayaknya patut dijadikan titik tolak bagi warga desa untuk melanjutkan tawar-menawar. Sayangnya, tawaran itu tak sempat lagi ditanggapi sepenuhnya, sementara tenaga para pendamping sudah habis. Akibatnya negosiasi terasa sudah ditentukan hasilnya: tanah seluas 11 hektar. Lumayan memang, tapi tak sebanding dengan investasi perjuangan yang telah dipasokkan ke kasus Ciseru selama itu.

Kondisi Ketanbanci yang baru saja mengalami tindak pemidanaan dan trauma pemenjaraan tidak mampu merespons dengan baik sehingga tiga orang tokoh lokal "jembatan" itu membelokkan proses "negosiasi", yang dibuat "seolah-olah petani melakukan gugatan terhadap perkebunan dan tercapai perdamaian." Perundingan dan tarik ulur ini sendiri berjalan cukup alot. Di tengah-tengah keadaan setengah sadar, para warga Ciseru dan para pendukungnya masih mencoba mengajukan prasyarat minim, yaitu pertama, perundingan tak boleh dihadiri oleh aparat militer (babinsa atau kodim setempat) karena kasus ini bukan urusan mereka; kedua, posisi duduk para warga Ciseru dalam perundingan harus berdekatan dengan pintu untuk memastikan praktisnya kemungkinan mengambil sikap untuk menggantungkan buntu selisih sikap dengan "walk-out".

Dalam proses perundingan itu hampir seluruh analisis masalah kasus bergeser. Proses itu memaksa warga Ciseru tak berbicara lain kecuali menerima tiga caucus perundingan. Pertama, menambah kehadiran orang-orang yang mengklaim hak atas tanah sengketa; jumlah 287 kepala keluarga yang mengklaim ditambah menjadi 451 nama, berarti ada 164 nama baru, yang ternyata alamat-alamat pribadinya kebanyakan berada jauh di luar kawasan desa Ciseru sendiri (Jakarta, Kebumen, Semarang, dll), óyang buntutnya setiap orang hanya memperoleh 243,9 meter persegi saja, jauh dari tuntutan semula seluas 1.393,7 meter persegi; kedua, menyingkirkan beberapa nama penting yang saat itu sedang menjalani proses pemenjaraan (Sudiran, Sardju, dan puluhan orang lainnya) ópara motor gerak rakyat; ketiga, pembentukan tim verifikasi pemilikan hak atas tanah itu yang (harus) dianggotai oleh BPN Cilacap, polisi setempat, pengurus Ketanbanci, ketiga tokoh "jembatan", camat Cipari dan masih dipaksakan hadirnya babinsa.

"Tokoh jembatan (seolah-olah juga) melakukan kompromi" dengan pengacara perkebunan dan mengatasnamakan petani menyatakan bersedia untuk mengakhiri sengketa dan pihak perkebunan menyerahkan tanah HGU-nya seluas 11 hektar. Perdamaian tersebut ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Cilacap melalui Putusan Perkara Perdata No 42/PDT.G/2000/PN.Clp, 14 November 2000, dengan rumusan warga Ciseru "tidak akan mengganggu gugat lagi, baik langsung maupun tak langsung, semua tanah HGU perkebunan."

Setelah "negosiasi" tersebut usai hanya dalam dua kali pertemuan pembukaan dan penutupan, perjuangan dilanjutkan dengan proses pelepasan HGU dan pengukuran tanah sampai dengan proses sertifikasi. Walaupun telah memperoleh tanah seluas 11 hektar, beberapa tokoh Ketanbanci masih menganggap perjuangan belum berakhir.

Sebelum mengalihkan strategi, masih ada pelajaran yang perlu ditarik, untuk fakta proses "negosiasi" itu sendiri: Jika semua sumber kekuatan dapat dipersiapkan dengan baik, sebuah tawaran dari pihak yang kuat selayaknya diterima sebagai suatu bentuk titik awal dari sikap terbuka untuk berkomunikasi dan melakukan negosiasi. Sekalipun tawaran itu bisa jadi dirasakan mencurigakan karena belum terkuak semua ruang lingkupnya, namun jika dilanjutkan dengan terus menawar (misalnya meningkatkan jumlah luasan hektar tanah yang ditawarkan), titik awal itu menjadi peluang yang dapat membuka komunikasi selanjutnya. Apalagi tawaran itu sudah diberi kerangka sementara dalam bentuk suatu "negosiasi" oleh pihak lain. Namun, ada prasyaratnya, jika suatu proses negosiasi secara serius hendak dilakukan, semua persiapan termasuk waktu, perhatian dan tenaga negosiator, lawyers dan tim kerja yang siap menanggapi hendaknya sungguh-sungguh tersedia dan diupayakan.

Sekarang keadaan konflik tanah dan kondisi para petani memang sudah seperti harus mulai dari "dasar" lagi. Kasus negosiasi Ketanbanci yang tak sempat ditawar dan ditanggapi lebih serius itu kini mendorong banyak pihak di sekitar kawasan kabupaten Cilacap memperhatikan banyaknya warga petani yang mengalami kasus konflik tanah yang sejenis. Hasil dan pelajaran dari perjuangan warga desa Ciseru dilirik oleh banyak warga petani yang lain, meskipun sementara itu hasil "negosiasi" tersebut terasa bukan apa-apa, karena tak sebanding dengan apa yang (semula) dituntut petani. Warga Ciseru sendiri bermaksud melanjutkan perjuangan memperoleh kembali sisa hak tanah yang masih berada di bawah perusahaan perkebunan dengan cara membuka peluang-peluang baru. Sementara itu disadari pula bahwa terlalu memusatkan pada konflik tanah sendiri akan menutup kemungkinan perluasan perspektif kepemilikan tanah yang berkorelasi dengan cakupan sosial politik yang lebih luas dan lebih memungkinkan dibukanya prospek positif penguatan masyarakat tani.

Inilah saatnya membuka koalisi dengan para warga petani lain di sekitar kabupaten Cilacap untuk perlahan-lahan membangun kekuatan yang akan lebih menghasilkan tombak perjuangan yang lebih tajam dengan hasil capaian yang lebih memadai. Sejak tiga tahun terakhir telah tergabung aliansi petani dalam lima kelompok: (1) kelompok Singa Tangi [Indonesia: "singa bangkit"] dari desa Mekarsari, kecamatan Cipari; kelompok ini menuntut lahan tanaman basah dan kering seluas 150 hektar [atas nama 366 orang petani] terhadap tanah yang dikuasai oleh PT Rumpun Sari Antan [RSA], sebuah perusahaan perkebunan kakao; (2) kelompok Mangkubumi, dari desa Karangreja, kecamatan Cipari; kelompok ini mengupayakan advokasi terhadap kasus tukar guling tanah seluas 34 hektar dari 106 orang petani yang juga dikuasai oleh PT RSA; (3) kelompok Cinta Tani, dari desa Wanareja, kecamatan Cipari; petani di desa ini menghadapi sengketa tanah yang dikuasai oleh PT Perkebunan Negara setempat seluas 85 hektar, terdiri dari 284 orang petani; (4) kelompok Tri Manunggalsari; organisasi tani setempat yang terdiri dari warga kecamatan Cipari dan beberapa warga desa lain, di antaranya desa Penyerang, kecamatan Sidareja; desa Cidadap dan desa Citayem dari kecamatan Karang Pucung; dan desa Bantar Panjang, kecamatan Cimangu; (5) kelompok Mukti Sari, dari kecamatan Gandrungmangu; petani di desa ini menghadapi sengketa tanah seluas 34 hektar dengan Perhutani setempat.2 Pada umumnya kelompok-kelompok tani berkasus ini sedang menjalani proses pendataan kepemilikan dan mendesakkan pengakuan kepada pihak-pihak instansi pemerintah setempat.


Sorot Balik: Proses Penyeimbangan Kekuatan pada Tahap Awal

Warga masyarakat membuka tanah (trukah) pada masa penjajahan Belanda dan hasil trukah tersebut ditengarai sebagai tanah kemenangan rakyat. Semua pihak tampaknya mengingat trukah ini sebagai titik sejarah awal kepemilikan atas sebidang tanah, yang kini tak sepenuhnya berada di tangan warga itu. Tanah tersebut mulai digarap secara intensif oleh petani sejak tahun 1942 dengan luas kurang lebih 45 hektar. Tanggal 4 Maret 1955 tanah garapan petani tersebut memperoleh tanda hak yang disebut sebagai "kartu kuning".

Namun tahun 1966 tanda hak tersebut dirampas oleh aparat tanpa alasan yang jelas. Kondisi politik gonjang-ganjing paska tuduhan pemberontakan G30S/PKI tampaknya menutup semua jenis pertanyaan yang muncul dalam pikiran rakyat. Paska perampasan tanda hak sebagian petani masih menggarap tanah tersebut tapi diharuskan melakukan bagi hasil dengan perkebunan: 40 persen untuk perkebunan dan 60 persen untuk penggarap. Yang lebih parah lagi, mulailah 1973 terjadi penggusuran secara besar-besaran oleh pihak perkebunan dengan dibantu oleh aparat keamanan.

Perjuangan untuk pengembalian hak atas tanah yang telah dirampas telah dimulai tahun 1984 dengan masih mengandalkan keberanian dari beberapa tokoh masyarakat. Selama masa sulit di bawah rejim Soeharto, hanya seorang petani bersemangat bernama Sudiran yang menjadi penggerak utama dari keseluruhan 280 kepala keluarga petani yang mengklaim balik kepemilikan tanah seluas lebih dari 45 hektar.

Aksi menuntut hak dengan cara reklaiming memang telah sekali dilakukan selama rejim otoriter Soeharto masih berkuasa. Tahun 1985 tanah seluas 12 hektar dengan 227 pemilik telah dikuasai kembali oleh petani. Sertifikat baru keluar 1988.3 Pengalaman tahun 1985 ini menjadi ancangan untuk perjuangan tahap berikutnya, kendati situasi sosial politik masih tetap represif. Satu-satunya ruang terbuka hanyalah bentuk formal melayangkan surat desakan tanpa kekuatan melakukan tekanan apa pun. Tapi semua warga sangat sadar bahwa tanah itulah milik mereka. Para tetua warga mengisahkan riwayat keringat dan banting tulang yang mereka lakukan untuk membudayakan tanah milik itu.

Waktu itu penuntutan petani hanya dilakukan dengan mendatangi instansi terkait, yaitu BPN, departemen dalam negeri, Pemda provinsi Jawa Tengah dan Pemda kabupaten Cilacap. Pengajuan tuntutan pada waktu itu sifatnya masih insidental sehingga dirasakan tidak memberikan hasil yang memuaskan. Belum ada strategi yang lebih terpadu, sementara situasi politik memang represif. Namun, dengan keterbukaan paska pergeseran rejim Mei 1998, gerakan perjuangan pengembalian hak dirasakan oleh petani perlu mendapatkan dukungan dari pihak-pihak lain.

Dukungan diperoleh ketika petani mengadukan permasalahannya kepada LBH Yogyakarta, 21 Juni 1998. Itu pun dengan jalan memutar karena ketaktahuan mereka mengenai persoalan yurisdiksi sistem peradilan dan lembaga bantuan hukum di Indonesia. Semula mereka menghubungi LBH Bandung, lalu LBH Semarang, dan akhirnya perpaduan dengan divisi tanah dan lingkungan dari LBH Yogyakarta membuahkan proses belajar yang dapat ditarik di sini.


"Ketanbanci": Trademark Pengorganisasian Petani

Julukan "Ketanbanci" muncul dalam suatu pertemuan awal untuk memperjelas identitas perjuangan menuntut balik tanah hak milik itu. Pengorganisasian dimulai dengan membentuk kelompok kerja ini yang difasilitasi oleh LBH Yogyakarta pada tanggal 21 Oktober 1998. Semula hanya 19 orang warga desa Ciseru yang terlibat, ójumlah yang tak banyak jika dibandingkan dengan kehendak dan cita-cita perjuangan mendapatkan kembali tanah, tapi dari praktik organisasi tampak sedikitnya jumlah tidak menyurutkan langkah untuk berjuang menuntut keadilan dan pengembalian hak dengan terus melakukan komunikasi dan koordinasi.

Dalam perjalanan yang singkat selama 15 bulan antara Oktober 1998 sampai awal Desember 1999, anggota Ketanbanci semakin bertambah. Momentum reformasi membuka peluang mengorganisir rakyat. Kekuatan massa di bawah sudah mencapai 10.000-an jiwa penggugat kepemilikan, baik langsung maupun tak langsung. Bersamaan dengan itu, pertengahan 1999 fasilitasi dari LBH Yogyakarta mendorong berdirinya Serikat Tani Merdeka, sebuah organisasi yang memayungi seluruh perjuangan petani berkasus di Jawa Tengah bagian selatan.


Reklaiming: Sebuah Pilihan Moral

Sementara itu, dukungan ribuan warga desa Ciseru sendiri sudah ada di tangan, karena kondisi pematangan yang tampak sudah lama dilakukan, sampai ke bentuk potensi aksi lapangan, meskipun masih harus selalu dicek lagi oleh para pendamping. Rapat-rapat yang lebih representatif perlu didesakkan agar rencana aksi dapat sungguh jadi terkontrol. Alat komunikasi kampung loud speakers yang biasa dipakai untuk acara perkawinan atau di masjid-masjid disewa untuk mengoordinasikan rapat-rapat bersama menuju proses mengambil keputusan.

Kombinasi pengurus yang cukup ideal kiranya memperkuat pemusatan tombak perjuangan. Sudiran adalah tipe pribadi keras dengan pilihan-pilihan aksi lapangan, Priyono berkepribadian "penuh perhitungan", sementara Sardju adalah seorang "administrator yang baik". Tarik ulur pilihan politik berjalan alot. Jalur formal mendesak instansi-instansi pemerintah, sementara ini, telah dilalui. Masih juga ada yang luput dari potensi aktualisasi kekuatan. Aksi penyeimbangan kekuatan apa lagi yang diperlukan? Pilihan publik tokoh Sudiran rupanya sudah lama mendapatkan momentumnya: tindak nyata memiliki kembali tanah itu harus dilakukan! Reklaiming itulah pilihan yang diperdebatkan dalam rapat-rapat mengambil keputusan. Tapi, mana yang hendak dipilih dalam tindak reklaiming? Menanam dulu dengan berbagai tanaman tumpang sari di antara pepohonan karet, meracun pohon-pohon karet, atau aksi cepat: tebang semua, besok dibersihkan dan lusa bisa ditanam? Masing-masing tindak ini memiliki bobot politik lokal yang berbeda. Pada pilihan yang paling kontroversial, dampaknya dapat jadi tak terduga.

Sementara itu perlu diingat pula, masih tetap adanya selisih pendapat di antara para pegiat petani sendiri tentang pilihan tindak reklaiming. Organisasi intervensi dengan bobot legal di bidang hukum membawa bias tak akan menyetujui aksi yang menjurus pada isyu moral politik yang memiliki implikasi hukum pidana. Sementara konsep perjuangan non-pengadilan belum lagi berkembang. Pilihan-pilihan di luar hukum formal masih sepi dari tanggapan masyarakat, sekaligus tak dapat dibicarakan secara antisipatif-konkrit, kecuali praktik lapangan sendiri yang akan menentukan arah ke mana hendak melangkah. Apakah arti kata "siap" dari para petani sendiri jika pilihan mereka adalah aksi reklaiming dengan total menebang pohon-pohon karet yang sementara itu didukung oleh rejim koersif yang masih efektif? Apakah harus dicegah?


Reklaiming dan Pemidanaan

Tapi, tanggal 7 Desember 1999 menentukan. Bulan puasa. Dilakukan pematokan atas tanah sengketa, kemudian dilanjutkan dengan aksi reklaiming dengan melakukan penebangan semua pohon karet yang ada di tanah sengketa.

Sudah diduga atau pun sengaja tak mau menduga karena pilihan sudah dirasakan matang: aksi reklaiming itu bukan tanpa perlawanan dari aparat keamanan. Aparat keamanan menyikapinya dengan mengirimkan dua truk pasukan Brimob. Hari pertama polisi mobil itu (masih) diam saja. Hari kedua, setelah sahur semua siap sedia sampai dengan lima chainsaws dan parang, warga terus menuju ke lahan hak milik mereka tapi diklaim dengan hukum formal perkebunan milik perusahaan atau lahan sengketa. Pembabatan dilanjutkan. Aparat keamanan meminta petani untuk menghentikan aksi rekaliming tapi para petani tak menghiraukan. Polisi rupanya kesal dan nekad menembak-nembakkan senapan. Memang tak ada korban sampai tewas, tapi sebutir peluru panas melukai pangkal paha kanan seorang kiai tokoh masyarakat warga itu. Seorang kiai tokoh masyarakat tertembak? Ini massa kritis! Bunyi titir ketongan bertalu. Ledakan kemarahan petani tidak dapat dikendalikan. Bentrokan fisik antara petani dengan aparat keamanan terjadi dan dua truk Brimob dibakar oleh massa. Akibatnya, ratusan warga diseret dan diangkut ke Polres Cilacap.

Hari ketiga, aksi reklaiming mereda tapi konsolidasi warga sangat mendesak dilakukan. Para pegiat ikut serta memperantarai sebagai pendukung hak milik petani. Keadaan dapat dikendalikan, sementara polisi mobil tetap berjaga. Begitu pegiat bantuan hukum pergi untuk mengurus kasus penangkapan, saat itulah polisi mobil merangsek warga desa, mengobrak-abrik perumahan warga dan menangkap tokoh petani Sudiran. Para pegiat merasa kecolongan tapi toh kesadaran utuh masih terbatas. Proses belajar warga dan para pendampingnya terus berjalan. Total 36 warga termasuk semua pengurus inti Ketanbanci harus meringkuk dalam penjara, kecuali Priyono.

Ketanbanci mengalami banyak kendala paska "kriminalisasi". Kelompok inti pejuang petani sendiri kocar-kacir. Konsolidasi kelompok tani korban ini tak bisa diteruskan lagi. Para istri mereka menangis mengibakan hati. Bagaimana nasib suami saya di tahanan? Mereka belum biasa menghadapi kejadian semacam ini. Tenaga para pegiat bantuan hukum habis untuk mengurus proses legal pidana. Proses-proses non-pengadilan jadi terbengkalai, tak terperhatikan. Depresi di antara para petani semakin terasa. Para tetua warga Ciseru yang semula diam tak mempertanyakan, kini mulai bimbang pada tindak pemenjaraan warga desa. Pemenjaraan berdampak pada timbulnya rasa rendah diri. Kadangkala, terasa akut dan mengecutkan hati. Di sinilah para pegiat bantuan hukum ditantang untuk berperan menguatkan mental dan semangat petani. Banyak macam cara dapat dilakukan. Intinya adalah bahwa hukum yang berkeadilan harus tetap ditegakkan.

Dampaknya sangat terasa, karena kegiatan non-pengadilan sendiri praktis tetap berhenti, padahal kegiatan itu semestinya lebih ditekankan. Lowong kemasyarakatan dari upaya penegakan keadilan sejati di ruang publik artinya adalah peluang bagi rejim lokal baru untuk memulai menggencarkan proses pembusukan terhadap Ketanbanci. Isyu agama yang sifatnya sensitif pernah dilancarkan. Ketanbanci diisyukan telah mengorbankan suatu umat beragama hanya karena ketua organisasi tani berlainan agama. Dampaknya memang terasa berat, bagaikan dicubit tapi dengan catut membara yang baru saja dipanaskan dalam api. Setelah mengambil tindakan "memotong sebelah tangan sendiri", penyelesaian masalah ini hanya dapat disilih dengan mengedepankan payung organisasi SeTAM, tapi sekaligus juga dengan penampilan yang low-profile.

Gema publik dari kasus Ketanbanci ini sendiri terasa cukup heboh dalam masyarakat di kabupaten Cilacap dan Jawa Tengah. Belum pernah ada kejadian di mana rakyat, yang selama ini tertindas di bawah rejim otoriter, (berani) membakar truk aparat keamanan negara, aparat negara óartinya melawan negara juga secara langsung. Memang, dalam kesadaran para petani yang melakukan reklaiming, negara itu tidak ada. Ketua DPRD Cilacap sangat menyadari pilihan moral politik para petani yang telah lama memendam persoalan hak milik tanah mereka. Ketika berkunjung ke penjara, ia mendukung para tertuduh aksi pembakaran truk dan penghasutan masyarakat dengan pesan moral sekedar menghibur: "Orang-orang ini (warga Ciseru) jangan diapa-apakan ya .." Peran pegiat bantuan hukum sendiri tetap dihormati baik di penjara dan di pengadilan. Inilah potensi kekuatan yang masih ada di tangan para pejuang keadilan.***

Wednesday, April 06, 2005

Access to Land and Social Justice in the Philippines

The search for social justice in the Philippine agrarian reform (on policy) and land reform (on land struggle of the farmer communities) would apparently be harder in the future, as it leaves to date an indication of increasing disparity in land tenures system between the vulnerable majority of farmer communities and the powerful, few landlords. Few changes did comparatively take place, however, despite the government's program of comprehensive agrarian reform (CARP) that has been fought for at least 15 years since the law was passed in 1989 and earlier marked with more optimism.

In general at national level, contrasting the results of land transfer claimed by the government actors and by the social actors working on it, it is safe to say that the minimum of about seventy percent of the working scope of the agrarian reform may be viewed as a fair failure cases, otherwise “half-successful”. The accomplishment data released by the Philippine government refer particularly to the government’s implementation of land transfer to the farmer beneficiaries, emphasizing about 80 percent of land reform’s working scope has been successfully achieved. The data yet hide the necessary post-land transfer programs that are supposed to be sufficiently implemented.

Out of two case studies comparing two provinces, which typically mark the structural characterization of the Philippine rural society, i.e. Tarlac province in Central Luzon that the government claimed to have accomplished over 100 percent of the agrarian reform working scope, and Negros Occidental province of Western Visayas, having reached among the lowest accomplishment, one could see the results of the agrarian reform program may be considered as simply in a dichotomy as weighed against the claim of the close-to-farmer agents of the land reform in the Philippines, i.e. the NGOs. The latter claim only of the maximum of five percents out of about less than 30 provinces in which they have been working with the farmer communities since at least the initial stage of CARP implementation. The success is distinctly understood in term of the integration of the post-land transfer programs, which mostly being neglected by the government.

As for the dichotomy, a disparaging point of the two actors, i.e. state and social, comes across in the juncture of understanding in this research that ——referring to both selected provinces—— where the government claims of relative success, the NGOs claim otherwise. Negros Occidental’s experience is admitted among the “success” by the NGOs (in term of the farmer movements so far), while the government’s accomplishment data show it is among the lowest. Most deem it proper that Negros Occidental and Tarlac’s experiences in land and agrarian reform typically represent an honest recognition for understanding the agrarian reform accomplishment in the Philippines.

Comparing the movements of the farmers in their struggle for land and agrarian reform in each provinces, even though both having strong civil society movements, with Tarlac recently more fervently characterized by the presence of the remnants of communist approach while Negros Occidental with more NGOs and farmer organizations ——many are ex-communists transforming themselves into working together with the government—— one should find out from the history of each that distinguishes the performance of the provinces. Tarlac has more concentrated power of the fewer elite, well linked with the central power of the country as compared to Negros Occidental that has lesser direct association with the post-Marcos Malacañang regimes and their allies yet having scores of land owners, many are fairly not less strong.

In Tarlac, pressures and oppression by the elite’s allies involving the military have rendered the struggle of farm workers for improvement much harder in determining their political choices. The irony becomes stronger as the province is the power base of the former president of Corazon Aquino who passed the agrarian reform law before the program was initiated. The recent incident of killing of at least seven farmers by the military late 2004 tells a lot about the apparently helplessness of pushing through such scheme of agrarian revolution in the Philippines nowadays. The dead end of the labor relation game does not match against the possible opportunities offered by agrarian reform program that is supported by the social actors of the society in taking option to rely on the agrarian reform law. This opportunity balance was apparently used by the local government to move quick yet brief to transfer at least the lands, which is undoubtedly as hastily as providing farmers with official papers, practices that later bring about the post-land transfer program to be quite unattended.

While in Negros Occidental, land reform implementation cases show the intimate links among the civil society and the central government unusually involve the military to help pursue the farmers’ causes on behalf of the agrarian law. Such case is uncommon and therefore could hardly be considered as a pattern for other experience, considering so many other similar cases remain unresolved in the Philippines. In addition, the many land owners’ interests in the province over large tracts of sugar plantations and rampant graft of local politics have not allowed the performance of the local government to even show a report of less high accomplishment of land reform and post-land transfer programs implementation. It infers that the mushrooming NGOs in the province have comparatively much helped to control the balance.

Negros Occidental case study on farmer movements in the last decade show that even though the government has awarded farmer beneficiaries with certificates of land transfer, landlords and their sugar company managements applied all means to retain the lands much longer. The real acquiring and cultivating of the targeted lands of the beneficiaries, therefore, was dragged until a good deal of time later only after it was tediously conducted a careful, full-scale networking between social and state actors in addition to the physical assistance of the military along with the active direct engagement of the farmers themselves.

At national level, the high accomplishment period of the land transfer program implementation was also mainly characterized by the dominance of the central government’s role during a certain period of 1993-1994, particularly when the secretary of the Department of Agrarian Reform was a less politically minded but having strong office management prowess. Working together with the civil society actors of the NGOs, the programs were strongly pushed along with the movements of the farmer communities in the targeted areas. However, this period seems to be a particular case, as compared to tenures of other secretaries, who mostly held political interests not for the farmers. There was also a case when a secretary had to be toppled down after strong team working of different parties behind farmer social movement propelled from the center in capital down to diverse regions in the Philippines.

Another striking feature of the agrarian reform program accomplishment in the Philippines could be inferred from the leading role of the government in crushing the powers that are against their interests. The Philippine political history that is marked by frequent social upheavals, many conducted by the farmer communities along with the armed leftist struggles, has had to involve the government’s force, particularly when the latter really holds the concern to make the programs a success whatever rampant negative interests they may have in politics. After the agrarian law was passed in 1989, the government is noted in the public records to have intensely suppressed the communist movements of the New People’s Army (CPP-NPA). In the mid-1990s (1993-1997), however, the insurgency practically stopped as the agrarian reform program quickly but briefly proceeded in the country. After 1998 onwards the NPA movement has been back strong to further challenge the government’s programs for rural development. The insurgency advances in 2003 and now in 2004 it has reached higher level of physical contacts between the armed left and the government’s military apparatuses that in many cases pitted the farmers in between. As compared to the early period of the CARP implementation, this development may seriously hamper the continuation of the agrarian reform program in the future.

The prospect of the program would apparently still proceed at turtle pace as the gap between the rural and the urban life remains ever increasing in the last decade particularly since mid-1990s. On one hand, though literacy rate of the Philippine population and other human resource development are generally high, they does not seem to affect the performance of rural development. On the other, comparing the development of public companies registered in 2004 and 1994, in Negros Occidental, for instance, which performs low rural improvement as seen in its agrarian reform accomplishment, it has shown instead a relatively fast development of among 5,000 biggest companies in the Philippines. To add the picture not less depressing, this province is also marked by the increasing number of the cities in such gloomy economic situation of rural areas of the island, as compared to the many provinces in the country, including Tarlac in Central Luzon that has only three cities since. The formation of new cities in Negros Occidental does not match with the development of rural population of 57% during the last decade. This supposes an even wider inequality in Negros Occidental. On the other side, with the opposite tendency as compared to the latter, the urban population in Tarlac, having fewer cities, increased only slightly higher as compared to rural population changes. In Negros, comparatively speaking then, while there are big companies in the nearby cities, people would possibly still again witness hunger in between large sugar plantations, as in the past, while the main imbalance of social structure remains unchanged.***

Monday, February 28, 2005

Agama, Adat dan Tantangan Masyarakat Madani

MASYARAKAT madani adalah salah satu benteng yang perlu terus dibangun untuk menegakkan pembangunan negara dalam menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan hidup bersama dalam masyakarat. Sampai dewasa ini perjuangan menuju masyarakat madani yang kuat belum lagi tuntas dan masih banyak ketimpangan serta kekurangan di berbagai lini kehidupan. Dalam membangun masyarakat madani yang kuat inilah agama dan adat budaya masyarakat tetap memiliki peranan kritis yang menentukan untuk ketahanan kehidupan masyarakat.

Apalagi sekarang ketika demokrasi kelembagaan dicoba terus dikembangkan dengan dominasi politik partai dan politik massa terbuka. Demokrasi membuka partisipasi, tapi juga dapat disalahgunakan untuk mendorong kepentingan kelompok secara tertutup. Dalam dimensi yang sejajar, demikian pula agama dan nilai-nilai etno-budaya, kecuali memberi makna pada penghayatan religius dan suku secara pribadi atau kelompok, dapat bermanfaat untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat, namun juga dapat digunakan secara negatif untuk terlalu menekankan kepentingan sempit.

Di satu sini, keadaan ini membuat kita sadar bahwa penataan organisasi-organisasi masyarakat menjadi sangat penting. Namun masalahnya sekarang, ketika peran negara melemah, situasi penataan ormas-ormas belumlah optimal. Tentunya kita tak dapat membandingkannya dengan keadaan semasa kekuasaan Orde Baru yang jelas tak ideal. Mengharapkan peranan negara secara aktif pun sebenarnya sekarang sudah tak mungkin lagi, meskipun tentunya kita tak boleh putus meminta pertanggungjawaban dan aksi-positif dari pemerintah-negara.

Di sini lain, ketika keseimbangan sosial politik berbalik arah, ketika seharusnya kita tak lagi total menggantungkan diri pada negara, kemudian kita jadi terperanjat, karena ternyata masyarakat madani kita tak sekuat seperti dibayangkan ketika masyarakat mendesakkan perlunya reformasi politik. Sementara perubahan politik-ekonomi sudah tak dapat dicegah lagi ketika globalisasi dan politik ekonomi internasional terus mendesak bahkan ke dalam lingkup internal masyarakat, termasuk komunitas-komunitas agama dan adat kita.

Masyarakat kita sekarang ini dituntut bekerja lebih keras lagi daripada sekedar secara internal membangun kelompok-kelompok yang paling dapat memenuhi kepentingan-kepentingan masyarakat secara langsung, seperti partai politik, komunitas keagamaan, masyarakat adat, komunitas bisnis, serikat pekerja, dlsb. Keadaan kelompok, paguyuban dan ormas-ormas itu pada umumnya sekarang masih terpisah-pisah. Masing-masing condong sibuk dengan pemenuhan kepentingan internal. Waktu terserap habis untuk mengurusi kepentingan dapur masing-masing lembaga, lebih daripada berorientasi keluar. Sementara itu, kesulitan ekonomi dan sumberdaya manusia menandai ciri perencanaan strategis dari masing-masing lembaga tersebut.

Dalam keadaan yang masih serba compang-camping itu, apa yang sebenarnya dituntut ketika tantangan keterbukaan ini masih belum kita genggam kuat-kuat dalam tangan? Pertama, mendorong lebih banyak lagi upaya mengorganisasi-kan masyarakat, tapi sekaligus dengan memperkuat dimensi mengaitkan kepentingan internal dengan kepentingan publik di sekitar secara positif dan terbuka. Kedua, membentuk dan menjalin hubungan antarlembaga itu dalam kaitan-kaitan kepentingan yang konkret dan interdependen satu sama lain, malah sejauh mungkin secara kolektif, setidaknya untuk tujuan jangka pendek terlebih dahulu, yaitu memperkuat ketahanan masyarakat madani dari kemungkinan tindak bertujuan pintas, apalagi jika digunakan aksi provokasi.

Kedua hal ini tampaknya sudah kedengaran seperti suatu anjuran yang kuno dan terkesan tak nzamani lagi, ketika politik massa merupakan bagian tak terpisahkan dari demokrasi itu sendiri. Memang inilah salah satu sisi berat dari suatu hal positif yang tiap kali itu juga kita rasakan “kurang menarik” dan “itu-itu juga”, “tak markettable”. Tapi masalahnya adalah harga yang harus dibayar sangatlah tinggi jika terjadi hal-hal yang secara endogen merugikan komunitas-komunitas kita sendiri. Semua ini barulah sekedar “pagar”, atau “pembatas” paling minimal, yang sebenarnya juga belum kita capai secara optimal.
Pengertian masyarakat madani sendiri pun tidaklah cukup hanya condong dimaknai dalam pengertiannya yang “kontroversial”, ketika kita mengartikannya dalam perspektif eksternalnya sebagai penanding kekuatan militer. Namun, saat yang sama tentu saja makna ini tak selayaknya kita abaikan dan kita singkirkan. Justru sebaliknya tetap semestinya menjadi dasar utama. Kita tak bisa melupakan bahwa gerakan anti-militer telah mendorong dan tampaknya masih tetap akan terus memotivasi bangkitnya masyarakat madani.

Namun, lebih serius lagi daripada hal itu, tantangannya sekarang adalah memperkaya makna tersebut dengan dimensi memperkuat kelompok-kelompok madani itu sendiri, termasuk di dalamnya adalah komunitas-komunitas adat dan agama. Masyarakat madani selayaknya mampu membuktikan bahwa mereka tak kalah daripada militer. Jika masyarakat madani sendiri amburadul, perimbangan kekuatan politik segera akan berubah. Belum lagi jika diingat bahwa transformasi dan perpecahan kepentingan dalam tubuh lembaga militer/polisi sudah terbukti menimbulkan perpecahan pula di antara masyarakat sipil, dengan berbagai dalih, salah satunya adalah agama, seperti kasus kekerasan kolektif di Maluku.

Di Indonesia telah terjadi berbagai macam konflik berikut kekerasan yang mengorbankan ribuan nyawa manusia. Mulai dari kekerasan keagamaan, etnik, perjuangan keadilan, persaingan pasar, separatisme, dll. Tapi, dari semua itu agama dan adat sebagai dasar memobilisasi massa dalam persaingan kepentingan politik condong menjadi sarana pengembang mobilisasi politik yang efektif dan efisien. Dalam gabungan kepentingan etnik dan keagamaan, kekerasan yang ditimbulkan bisa sangat berbahaya, terutama karena ciri kekerasan yang ditimbulkan bisa berlangsung paling lama (durability) dan berakibat sangat serius (dalam pengertian jumlah yang tewas dan harta benda yang dirusakkan).

Keterlibatan masyarakat kini juga harus dimaknai dengan mengisi interaksi optimal di antara anggota masyarakat madani itu sendiri. Ada dua hal yang rekomendatif perlu dilakukan. Pertama, membuka diri dan memasuki serta menggunakan perspektif dari agama dan adat budaya lain dari segi dalam, dan kedua, membuka diri untuk memahami kepentingan publik, secara bersama-sama di antara berbagai kelompok dari berbagai latar belakang.

Namun, jaringan minimal ini tidaklah cukup, karena gelombang provokasi berlatar kepentingan masih mampu merusakkan jaringan masyarakat madani yang primitif ini. Berdasarkan pengamatan dan studi mendalam di kota-kota India, di mana kerusuhan berlatar belakang agama tak kalah menyeruak, peranan masyarakat madani dengan ideologi Mahatma Gandhi yang tak tergoyahkan itu pun mengalami pasang surut. Indira Gandhi yang lebih mengutamakan pemerintah nasional bertentangan dengan para pemimpin partai di tingkat lokal. Tapi pelajaran dari praktik ajaran Gandhi sekaligus juga sangat menegaskan bahwa peranan jalinan lembaga-lembaga sipil, sejauh bersikap kritis terhadap kekuasaan, dan konsisten lebih berat memusatkan perhatian pada transformasi sosial di kalangan masyarakat, sangatlah mampu menahan gelombang kerusuhan dan provokasi politik dari kelompok-kelompok kepentingan (Varsney 2002). Pelajaran dari India menegaskan pentingnya dua jenis keterlibatan madani di mana kelompok-kelompok agama menjadi titik putar yang krusial.
Pertama, keterlibatan silaturahmi. Dalam konteks membangun masyarakat, hubungan antarkelompok agama dan budaya dalam konteks sehari-hari dalam masyarakat menjadi sangat penting. Contohnya adalah kunjungan rutin antarwarga dan antarkeluarga yang saling berbeda iman, sejauh mana orang rela makan bersama dengan orang atau kelompok lain, menghadiri perayaan-perayaan, sejauh mana merelakan anak-anak boleh bermain bersama di antara kelompok masyarakat yang berbeda, dst. Pada tingkat ini, kejadian-kejadian penyerangan dan penutupan gereja atau masjid pada tingkat maksimum kabupaten dapat kiranya dicegah. Budaya silaturahmi didasarkan pada sikap tak ingkar janji dan sikap sopan santun secara aktif merupakan kunci utama, yang tampaknya sudah banyak berkarat dalam berbagai kalangan masyarakat kita.

Kedua, keterlibatan asosiasional. Dinamika masyarakat madani haruslah diisi dengan jalinan dan kerjasama yang semakin menguat serta meluas dalam berbagai bidang seperti bisnis mulai dari yang bermodal rendah sampai tinggi, organisasi-organisasi profesi, kelompok-kelompok studi, klub baca, organisasi penyelenggara perayaan publik, kelompok olahraga, serikat buruh, partai politik kader, dlsb. Keterlibatan asosiasional ini menjamin keterlibatan keseharian itu berubah menjadi ketahanan sosial yang ampuh dan bertahan jika harus menghadapi hempasan rangkaian kerusuhan massal yang menghebohkan, seperti peristiwa-peristiwa Situbondo 1996, Tasikmalaya 1996, kerusuhan Mei 1998, dan seluruh badai kekerasan sosial pasca pergeseran rejim sampai menjelang 2001, dlsb.

Keterlibatan yang terakhir ini secara konstitutif merupakan prasyarat mutlak bagi dinamika dasar masyarakat madani yang kuat, karena perasaan keagamaan, etnik, kelompok (dan semua ciri askriptif yang lain) itu sendiri memiliki kodrat yang mendua, yaitu bahwa nilai keagamaan dan nilai budaya lokal etnik, misalnya, dapat mendukung tujuan hidup mulia tapi sekaligus dapat digunakan untuk kepentingan yang mematikan. Kebebasan beragama dan kebebasan berasosiasi pun dapat menjadi kedok.

Ciri-ciri askriptif ini menjadikan kelompok-kelompok masyarakat condong secara internal lebih kuat mengobjekkan kelompok lain secara negatif. Dari berbagai pengalaman tampak jelas bahwa kemungkinan negatif ini sungguh lebih besar daripada setidaknya memandang kelompok lain dari sudut pandang kepentingan publik. Bukankah sulit melihat tengkuk sendiri tanpa menggunakan bantuan cermin?

Mengingat ciri kemenduaan agama, adat dan semua pengelompokan masyarakat yang berciri askriptif dari pengelompokan masyarakat mampu menggoyahkan ketahanan masyarakat, maka keterlibatan asosiasional dan keterlibatan silaturahmi sulit dipungkiri merupakan prasyarat paling minimal jika harmoni antarkelompok hendak dikembangkan sebagai tonggak ketahanan masyarakat madani yang sejati.***

Setelah Kekerasan Militer yang Menewaskan 14 Petani, 17 November 2004, Pembaruan Agraria Filipina Bakal Mengambang?

Ironi sangat pahit harus ditelan lagi oleh masyarakat Filipina. Sampai Rabu 17/11/2004 ini, sebanyak 14 orang petani dan keluarganya, termasuk 2 anak kecil, telah tewas dilindas tindakan sangat keras tentara di Filipina. Kejadian brutal itu mulai berlangsung Selasa 16/11 di sekitar pintu gerbang masuk perkebunan swasta seluas 6.000 hektar Hacienda Luisita, Provinsi Tarlac, Luzon Utara, milik keluarga mantan presiden Filipina Cory Aquino, yang justru terkenal secara internasional karena semangat anti-kekerasannya.

Gerebeg timah panas yang dilakukan sejumlah 200-300 pasukan anti-hura-hara dari tentara Filipina (AFP) dengan menarik picu senjata api otomatis secara sporadis telah menewaskan di tempat 7 orang petani. Ratusan terluka. Hari berikutnya 7 mayat lain ditemukan, termasuk anak-anak kecil tewas tak bisa bernafas karena konsentrasi gas air mata yang tinggi.

Kejadian kekerasan terhadap petani yang kesekian kalinya ini sekarang mencapai titik yang lebih pahit daripada sekedar ironi. Kita ingat bagaimana negeri tetangga yang dikenal dengan revolusi damai 1986 ini juga sangat tersohor karena program pembaruan agrarianya berada di antara yang paling berhasil di dunia.

Kejadian kekerasan 17 November di Tarlac mengingatkan peristiwa sejenis yang terjadi di jembatan Mendiola di Metro-Manila, 22 Januari 1987, yang menewaskan 13 orang petani, ketika ratusan organisasi tani hendak mendesak masuk ke Istana Malacañang. Setelah kejadian itu proses pengundangan pembaruan agraria tampak berjalan lancar. Tapi para penguasa dan tuan tanah tidak mau menyerahkan begitu saja. Sekalipun UU Pembaruan Agraria (UU PA 1988) telah disahkan, kekuasaan nyata atas tanah tetap berada di tangan segelintir tuan tanah. Demokrasi rakyat telah lama dibajak, demokrasi bossisme meraja.

Banyak pembaharu agraria di dunia mencoba belajar dari program transformasi agraria di Filipina. Filipina berada di urutan ke-5 setelah Cuba, Bolivia, Nicaragua, dan Chile. Menurut data dari bagian perencanaan Departemen Pembaruan Agraria (DAR) yang belum lama ini saya hubungi, Filipina telah mencapai di atas 83% dari target redistribusi tanah. Data ini bisa saja terlalu dipakai untuk membenarkan diri pemerintah.

Tapi, bagaimana pun dengan terulangnya kebrutalan terhadap petani, program itu sekarang sedang diuji ulang oleh para penegaknya sendiri dan masyarakat Filipina umumnya. Banyak pihak mengatakan program pembaruan agraria menyeluruh ini sudah dapat dikatakan gagal. Jika tidak diupayakan resolusi konflik yang memadai, kejadian sejenis sangat mungkin terjadi lagi di masa depan jangka dekat, dengan dampak negatif yang lebih parah, sementara globalisasi pasar neo-liberal terus sangat mempersulit kehidupan ekonomi masyarakat sampai di desa-desa.

Akar konflik
Akar konflik antara para petani dan tuan tanah di Hacienda Luisita sebenarnya mengacu pada kewajiban semua pihak menjalankan pembaruan agraria sebagai bagian dari tuntutan masyarakat pasca jatuhnya rejim otoriter Ferdinand Marcos 1986. Namun, para tuan tanah berusaha menghindarkan diri dari kewajiban itu. Memang cara yang ditempuh oleh para tuan tanah tidaklah sampai mengubah UU PA 1988. Namun, karena prosesnya dapat menjadi sangat fleksibel, prosedur hubungan pembaruan agraria dengan mudah dapat diubah-ubah oleh tuan tanah.

Tentunya, yang diharapkan petani pada umumnya adalah redistribusi dan pemilikan sepenuhnya atas tanah, namun para tuan tanah tak akan merelakan begitu saja. Berbagai macam prosedur dicoba diselenggarakan. Untuk tanah-tanah yang dulu dikuasai oleh mantan president Marcos, sebagian besar sudah dapat diredistribusikan melalui pengalihan-wajib (compulsory acquisition, CA), atau melanjutkan program sejenis yang sudah dimulai Marcos sendiri dengan dekritnya (No.27) yaitu dengan modus operation land transfer, OLT. Namun pada kenyataannya masih banyak areal tanah yang berada di bawah penguasaan para tuan tanah, meskipun mereka tidak memiliki hak sah berdasarkan hukum. Tanah-tanah yang berareal luas inilah yang sekarang menimbulkan kesulitan luar biasa dalam menjalankan kerangka program di bawah legalitas UU PA 1988 (CARP).

Karena masing-masing tuan tanah itu independen, bahkan karena kepintaran, pendidikan dan penguasaan seluk-beluk hukum, politik lokal dan nasional serta perekonomian global, banyak cara diupayakan untuk menghindarkan pelaksanaan UU itu di areal-areal perkebunan yang mereka kuasai. Manajemen hacienda milik keluarga Cojuangco (ayah Cory), misalnya, dikelola atas nama ayah Cory, yaitu José Cojuangco, setelah menantunya Benigno Aquino, si martir demokrasi Filipina itu, tewas tertembak. Manajemen Cojuangco sangat aktif mencari jalan pencegahan pelaksanaan pembaruan agraria yang disahkan oleh Cory sendiri dan malah sangat memanfaatkan kedudukan adiknya yang waktu itu sedang jadi presiden. Menjelang Revolusi Damai 1986, Danding Cojuangco, adik ipar Cory, terpaksa melarikan diri bersamaan dengan Marcos, namun kroni Marcos ini berhasil masuk lagi dan menguasai kembali areal tanah luas di Visayas yang sedianya harus sudah masuk ke dalam program CARP.

Cara mempertahan tanah
Ada dua cara pencegahan yang ditempuh oleh para tuan tanah, yang sebenarnya tak mengandung unsur redistribusi tanah yang substansial. Cara pertama --inilah yang ditempuh Cojuangco dan diikuti tuan-tuan tanah yang lain-- adalah mengajak para buruh tani untuk mempertahankan hubungan kerja yang sama tapi memberikan janji pembagian hasil yang lebih baik untuk para buruh tani. Modus ini disebut stock distribution option (SDO). Kedua, pemindahan pemilikan tanah secara sukarela (voluntary land transfer, VLT), yang sangat dikaitkan dengan kebutuhan pasar global dengan membudidayakan hanya tanaman-tanaman produktif yang laku di pasar global, seperti pisang, ananas, mangga, asparagus (market-led agrarian reform, MLAR). Cara kedua ini didorong habis-habisan ketika Filipina berada di bawah presiden mantan jenderal militer Fidel Ramos. Dalam statistik Departement Pembaruan Agraria, setidaknya tampak jelas lonjakan hasilnya.

Namun, dalam praktik SDO, tuan tanah mengatakan bahwa petani tidak akan bisa mengongkosi biaya produksi karena tak punya uang. Fakta tak punya biaya ini memang diakui oleh para buruh tani. Sementara itu, tuan tanah terus membujuk petani agar lebih baik menerima modus SDO karena petani akan menjadi bagian dari perusahaan perkebunan dan akan mendapatkan bagian yang besar dengan bagi-hasil panen yang lebih baik. Namun, dalam perkembangan selama 15 tahun lebih, keadaan petani tidak membaik, malah memburuk. Pemuka petani mengeluh bahwa pada awalnya mereka memperoleh antara 5 s.d. 6 hari kerja, tapi sekarang 3 s.d. 4 hari saja, malah banyak yang hanya satu hari kerja dalam seminggu. Menurut ketua serikat buruh tani Luisita, rata-rata setiap hari seorang petani dan keluarganya entah bagaimana caranya harus hidup dengan upah sebesar 9,5 peso (~Rp 1.520). Hacienda Luisita, dengan berbagai pengembangan lain seperti jasa komersial, pariwisata, olahraga dan tempat hiburan, mempekerjakan 5.000 lebih buruh tani dan 500 pegawai. Total asetnya mencapai US $28,39 juta, klaim pemasukan bersih per tahun pada Juni 2002 mencapai 14 juta peso (~Rp 2,24 milyar).

Sementara itu, seperti dituduhkan oleh para musuh petani, terutama para tuan tanah, pemerintah pusat dan pihak militer, gerakan petani di kawasan Luzon Tengah ini telah ditunggangi oleh para politisi kiri, bahkan oleh para komunis dalam barisan Partai Komunis Filipina (CCP) atau bahkan gerakan radikal bersenjata (NPA). Dalam sejarah, kawasan ini pernah menjadi daerah kekuasaan para pemberontak Hukbalahap setelah mereka ikut berjuang mengusir pasukan pendudukan Jepang. Tapi pertengahan tahun 1950-an pemerintah Magsaysay sudah melumpuhkannya. Usaha melumpuhkan kelompok bersenjata NPA pun terus dilakukan, termasuk oleh Cory Aquino sendiri.

Saling tuduh
Para anggota Kongres pendukung petani mendesak Malacañang melakukan investigasi resmi atas kekerasan yang terjadi. Tapi President Gloria M. Arroyo menolaknya. Polisi menuduh para petani membawa senjata ketika berdemonstrasi dan memprovokasi tentara dan polisi. Polisi menyatakan ada snipers yang bersembunyi di balik truk-truk pengangkut tebu. Organisasi petani membantah keras karena bukti-bukti senjata yang ditemukan itu bukan milik mereka tapi bisa saja dimiliki oleh para satpam dari hacienda. Cory Aquino di rumahnya merasa cukup dengan memanjatkan doa perdamaian.

Tuduh-menuduh memanas. Senator oposisi mantan jenderal Juan Ponce Enrile mempertanyakan mengapa tentara sampai harus dikirimkan ke perkebunan itu. Sementara itu sekretaris Menteri Tenaga Kerja Filipina Patricia Sto. Tomas membantah bahwa dirinya memerintahkan para tentara di perkebunan untuk menarik picu senjata. Para tuan tanah di Filipina memiliki pasukan bersenjata dan sering menyewa para tentara atau brigade mobil polisi untuk menjaga keamanan hacienda. Di pihak para petani Tarlac, mereka akan mengarak jenazah para korban untuk menghormati para pahlawan perjuangan tanah yang gugur, dan bersumpah tidak akan berhenti mendesak semua pihak. Namun, yang lebih memprihatinkan, Departemen Pembaruan Agraria (DAR) tegas menyatakan tidak memiliki wewenang untuk mencampuri konflik di hacienda Luisita. Keadaan tampak semakin rumit dan dapat menegang lagi.

Di balik aksi tuduh-menuduh yang menandakan rumitnya keadaan hubungan agraria dengan semua anasir sistem politik masyarakat Filipina, kasus kekerasan di hacienda Luisita ini sendiri menyimpan bara yang sulit dipadamkan dalam sistem perundangan yang ada. Keluarga Cojuanco sudah berhasil memaksakan lolosnya modus SDO dalam sebuah momorandum “kesepakatan” (deferment) untuk masa 30 tahun sejak disahkan Mei 1989. Selama itu legalitas dan legitimasi apa pun dari segi pembaruan agraria, sekalipun sudah disahkan oleh negara, sulit digunakan untuk mendesak keluarga kaya itu meredistribusikan tanah-tanahnya.

Karenanya jalan satu-satunya yang diambil oleh para buruh tani Tarlac adalah memanfaatkan saluran hukum perburuhan, seperti diindikasikan oleh modus SDO itu. Namun, jalan ini adalah jalan sangat terjal karena legalitas modus SDO ini telah menundukkan para petani di bawah kerangkéng hukum tuan tanah dan hukum pasar global. Para petani di Tarlac telah kehilangan peluang hukum yang sebenarnya tersedia di bawah UU PA 1988. Namun, sekalipun UU ini dapat dijadikan pijakan politik rakyat, masih tetap harus ditanggapi dengan pandangan kritis dan wawasan demokrasi dari bawah yang harus dibangun selama bertahun-tahun.

Kunci sukses
Dalam pengalaman pembaruan agraria (CARP) selama lebih dari 15 tahun di Filipina, keberhasilan proses redistribusi tanah hanyalah dapat dijamin jika kepastian perundangan pembaruan agraria itu sungguh-sungguh dihidupkan, yaitu bahwa suatu areal tanah memang memiliki legalitas yang dapat diproses oleh para aktor negara dan aktor masyarakat, mulai dari tingkat pusat, provinsi sampai kabupaten/kotamadya, dengan hasil yang sangat bervariasi dan tersebar-sebar.

Di desa Magsalisi, provinsi Nueva Ecija, dibutuhkan rentang waktu 1992-1997, untuk mentransformasikan tanah seluas 12.000 ha; di Candaba, San Luis, Pampanga 1992-1996, 1.000 ha; di perkebunan kepala hacienda Maloles, Sta. Catalina Sur, Candeleria, Quezon, 1992-1997, 6.000 ha. Namun di hacienda Esperanza, Negros Occ., dibutuhkan 13 tahun dengan perjuangan gigih anti-kekerasan dari para petani dan para pendukungnya (1991-2003), 572 ha; di desa Catulin, Buenavista, Quezon, 1996-2002, dengan dampak pembunuhan dua tokoh petani oleh para enkargardos (intel-satpam-tukang pukul) dan komplikasi politik elektoral di tingkat kabupaten serta kerjasama antara tuan tanah dan gerakan ekstrim NPA melawan petani dan pemerintah.

Dalam hal ini, Departemen Pembaruan Agraria Filipina memainkan peranan penting. Namun, tanpa kerjasama dari berbagai kantor pemerintah yang lain di semua tingkat dan lembaga bank tanah (LBP), ditambah dengan desakan militan dari para petani dan koalisi organisasi-organisasi tani beserta aktor-aktor masyarakat, baik yang memiliki cakupan pengaruh nasional maupun para organizers masyarakat petani di lapangan, keberhasilan pembaruan agraria masih akan memakan waktu yang lama. Akankah para petani di Tarlac menunggu sampai 2018 untuk merintis pelaksanaan UU PA 1988 di Filipina ini?

Sunday, November 14, 2004

Jajak Pendapat Partisipatif dan Proses Penyelesaian Konflik

— * Berikut ini adalah usaha yang saya lakukan untuk menerapkan suatu metode survey yang kiranya dapat dikatakan "sangat mempertahankan pendekatan partisipatif". Barangkali dapat dikatakan, "konflik komunal adalah salah satu bentuk tingkat paling ekstrim dari ketiadaan partisipasi masyarakat." Kiranya metode ini dapat diterapkan juga untuk jajak-jajak pendapat yang lain, dalam berbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik, lokal maupun internasional, terutama ketika hasil jajak pendapat dan prosedur pelaksanaannya dirasakan meragukan karena ada anggapan penjajakan dilakukan untuk "mempropagandakan" kepentingan pelaku atau pelaksananya. Semoga berguna.—

— * Jika Anda membutuhkan sebuah contoh bagaimana model ini diterapkan, barangkali tulisan saya tentang jajak pendapat bertahap yang dijalankan di Ambon-Lease, Maluku, awal 2002, bertajuk "JAJAK PENDAPAT DAN PERDAMAIAN: Belajar dari Proses Transformasi Konflik Maluku" dapat memberikan gambaran awal. Cara mendapatkannya: lihat pada posting saya terdahulu, dengan cara klik pada item terakhir dalam urutan "Previous Posts" di sebelah kanan atas halaman ini, dan akan Anda temukan posting file tulisan tersebut.—


JAJAK PENDAPAT dapat menjadi sangat bermanfaat dalam membantu dan mendorong proses perdamaian di kawasan-kawsasan konflik. Kerap kali pertikaian dan selisih pendapat memuncak sampai pada bentrok berdarah. Sudah bukan lagi akal budi yang sehat yang berbicara, tapi dorongan nafsu dan kesempitan berpikir yang dilatarbelakangi oleh sikap tertutup, mengggunakan cara apa pun yang dapat dipakai mencapai tujuan jangka pendek. Pada periode pasca-bentrok pun keadaan tutup-komunikasi masih bertahan, karena rasa benci, dendam, dan rasa tak terima masih bersarang. Ini menambah rumitnya proses deliberasi yang sedang dilakukan untuk melerai kusutnya masalah. Jika rasa saling tak percaya sudah mendalam sifatnya, para juru damai pun jadi kewalahan. Kata-kata dan konsultasinya jadi tumpul. Pada saat itu jajak pendapat atau konsultasi kepada masyarakat, kepada semua pihak yang terlibat dalam konflik —sebagai salah satu cara komunikasi dan deliberasi— dapat menjadi berguna.

Tapi bagaimana merancang agar suatu jajak pendapat tak disalahgunakan untuk kepentingan salah satu pihak saja, entah pihak-pihak bertikai atau pun “si juru damai” itu sendiri? Dari pengalaman dan pengamatan, jajak pendapat yang prosesnya tertutup kerapkali justru membuat masyarakat tambah mencibir: Pasti ada udang di balik batu .. polling itu dipakai untuk mendukung sikap politik tertentu. Atau jadi begitu “eksklusif” dan “akademis” atau “pretensius” karena terlalu didominasi oleh para pakar statistik, sosiologi, politik, atau entah ilmu apa yang lain, yang sensibilitasnya kurang memiliki perspektif keadilan kemasyarakatan dan kerakyatan yang berpihak secara seimbang dari bawah.

Salah satu cara handal menyelenggarakan jajak pendapat yang cocok diterapkan di kawasan konflik adalah dengan melibatkan para pihak bertikai itu sendiri, dengan membuka proses jajak pendapat itu sendiri, mulai dari periode awal ketika penyusunan sedang dilakukan. Metode “partisipatif” ini menerapkan prinsip-prinsip transformasi konflik dalam upaya peace-building. Dampak positif yang diharapkan memiliki berbagai dimensi ganda yang mencakup pembaruan segi-segi partisipasi publik dan pemerintahan yang sifatnya positif pula.

Pelajaran dari pengalaman dari Irlandia Utara [Colin Irwin 2001] dapat kita tarik di sini sebagai awal dari proses pembangunan kembali rasa saling percaya di antara kelompok-kelompok masyarakat yang telah tercabik-cabik oleh kebencian mendalam satu sama lain, perusakan lingkungan hidup yang memerosotkan mutu hidup manusia, represi terhadap aspirasi masyarakat. Semuanya telah menyebabkan prosedur saling berembug dengan kepala dingin dan tradisi bermusyawarah yang jujur dan mendalam tak berkembang dalam kehidupan kita bersama, malah dikhawatirkan di banyak tempat sudah lenyap. Pengalaman kita di Indonesia membuktikannya ketika kita saksikan banyak tempat diguncang berbagai kerusuhan, kita tak habis mengerti bagaimana (dan mengapa) justru bentrok berdarah terjadi dan bukan deliberasi dan musyawarah yang jadi pilihan. Otot dan senjata yang bicara, bukan akal budi dan hati jadi panglima.


Beberapa pokok dasar jajak pendapat dan proses perdamaian

JAJAK pendapat bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, meskipun memiliki aspek yang “sangat mudah dilihat hasilnya” dalam pendekatan penyelesaian konflik. Proses jajak pendapat itu sendiri sangat penting maknanya. Sebagai suatu program yang independen, para pihak didorong untuk ikut serta dalam proses penyusunan pertanyaan-pertanyaan untuk kuesioner, menentukan timing yang tepat kapan pengumpulan jawaban responden dilaksanakan, kapan sosialisasi atau publikasi hasil jajak pendapat dilakukan dan bagaimana caranya, bagaimana kritik, saran, tanggapan pasca publikasi disalurkan dan ditindaklanjutkan, dsb.

Pada galibnya, semua caranya sedapat mungkin diserahkan kepada para peserta-pihak sesuai dengan apa yang mereka yakini sebagai paling membantu untuk mengembangkan proses bersama menuju perdamaian. Kerja bersama ini dalam bentuknya yang paling ideal akan menjadi bagian dari proses yang penting yang tak mungkin dikerjakan oleh salah satu atau sedikit pihak saja, misalnya kalangan pakar di perguruan tinggi saja secara tertutup.

Proses pembangunan perdamaian yang efektif menuntut pendasaran kembali yang memungkinkan semua anasir masyarakat bekerja kembali secara wajar dan produktif. Setidaknya ada tiga segi yang layak disimak dalam proses transkonflik. Pertama, tidak adanya dialog yang memadai di antara mereka yang bertikai sebisa mungkin haruslah disilih dengan saluran-saluran komunikasi yang memungkinkan wacana yang jujur tentang semua masalah pokok yang diidentifikasi jadi sumber suatu konflik. Kedua, jika deliberasi sudah mencapai titik kerja yang optimal, proses diskusi haruslah mengarah pada negosiasi yang konkret dan proses pengambilan keputusan atas semua anasir dari suatu kesepakatan bagaimana memecahkan masalah praktik kehidupan sosial yang gagal dan lembaga-lembaga politik yang tidak berfungsi selayaknya. Ketiga, jika suatu kesepakatan sudah tercapai, kesepakatan itu haruslah dilaksanakan sepenuhnya, dengan kesungguhan, perhatian untuk mencapai keberhasilan, seperti halnya negosiasi-negosiasi itu juga selayaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Peace-building menuntut sikap terus waspada dan kesabaran, sementara semua pihak haruslah dilibatkan, termasuk di tingkat nasional dan internasional, jika memang kita hendak menyudahi kebencian, penolakan, bentrok kekerasan atau perang.

Bersamaan dengan jajak pendapat sebagai suatu prosedur peace-building, para pihak terlibat dalam hidup bermasyarakat dapat meningkatkan semua proses sosial politik yang sifatnya mendasar dengan cara membantu dan mendorong penyelenggaraan dialog nyata dan komunikasi efektif; menjelajahi berbagai permasalahan dan kemungkinan pemecahannya; memilah-milah dan menentukan masalah-masalah kritis dan genting dan berbagai kaitannya; dan tentu saja diharapkan mendorong proses perdamaian agar tetap berjalan pada relnya yang benar. Tekanannya di sini adalah “meningkatkan, membantu dan mendorong”, sebab jajak pendapat tidak akan mengubah masyarakat. Jajak pendapat hanya dapat membantu dan mempermudah suatu proses yang akan harus dijalani oleh suatu masyarakat dan para wakil mereka. Perlu di sini diutarakan beberapa pokok yang selayaknya dipegang.


Beberapa hal yang harus dilakukan dan sebaiknya dicegah
dalam melakukan jajak pendapat untuk proses perdamaian

1. Upaya deliberasi menuju tersusunnya kuesioner jajak pendapat dalam transkonflik haruslah mencakup semua aspek penting dalam kehidupan sosial politik yang terpengaruh oleh semua lembaga publik dan pemerintah.
2. Mendorong para pengambil keputusan penting (tokoh-tokoh kunci) dalam proses penyusunan rancangan jajak pendapat, baik materi kuesioner maupun caranya (metode).
3. Jika ada tokoh-tokoh penting yang tak setuju dengan hasil jajak pendapat, ajak mereka dalam penyusunan rancangan jajak pendapat tahap berikutnya. Jajak pendapat atau konsultasi kepada masyarakat selayaknya tetap dibuka kemungkinan mengenai berapa kali harus dilakukan. Bergantung pada deliberasi para pihak, sensitivitas masalah, capaian negosiasi.
4. Untuk mempertahankan tingkat kredibilitas jajak pendapat, barangkali perlu pula melakukan pengujian murni untuk memperlihatkan independensi dan kesahihan yang sepenuhnya.
5. Jangan sampai tak mengikutkan pihak-pihak berkonflik yang sifatnya penting dan vital peranannya.
6. Jika pihak-pihak kaum mapan atau mereka yang masih bersikeras dengan konflik tidak bersedia ikut ambil bagian dalam jajak pendapat, jajak pendapat dimulai dengan mengikutkan mereka yang lebih kurang keras sikapnya, yang jadi bawahan atau afiliasi dari kelompok keras.
7. Mulai dengan mendeliberasikan masalah-masalah yang sifatnya membangun rasa percaya diri, mulai dari yang sederhana.
8. Mulai dengan membicarakan hal-hal yang sifatnya prosedural terlebih dahulu, baru belakangan hal-hal yang sifatnya substansial.
9. Harus dihindari pilihan-pilihan yang sifatnya ekstrim, dan lebih banyak mencari titik temu (common ground).
10. Bisa jadi beberapa pertanyaan yang dirancang untuk jajak pendapat publik yang sudah disetujui semua pihak, akhirnya tak dapat ditanyakan pada masyarakat karena tak ada tempat/halaman/space lagi. Hal ini tak seluruhnya buruk, karena yang telah disepakati dapat menjadi dasar kerja untuk jajak pendapat berikutnya.
11. Semua persyaratan dan keberatan terhadap proses perdamaian perlu dibahas secara sistematis, sebab umumnya kalau terpaksa orang akan lebih memilih “berselisih” daripada “bentrok”/perang.
12. Jangan mencoba menghindari masalah-masalah yang sifatnya sensitif. Sebab, masalah yang sensitif itu sangat mungkin akan sangat merugikan salah satu pihak.
13. Masyarakat harus mendapatkan kesempatan untuk menerapkan hak-hak sipilnya dalam proses demokrasi. Diharapkan —entah kapan dan bagaimana— pesan, sikap dan posisi mereka dapat difahami oleh mereka yang jadi wakil dalam pengambilan keputusan publik.
14. Harus disusun pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya dapat menampilkan ranking dari masalah-masalah pokok dalam konflik dan peluang pemecahan yang paling potensial.
15. Harus dirancang pertanyaan-pertanyaan yang mengandung anasir potensial menuju kesepakatan final.
16. Jangan sampai terseret-seret oleh komplesitas masalah. Masyarakat yang hidup di tengah-tengah situasi sulit atau konflik justru sering memiliki pemahaman konflik yang sangat mendalam.
17. Gunakanlah cara analisis yang memantulkan prosedur pengambilan suara yang wajar dilakukan dalam proses negosiasi.
18. Kesepakatan-kesepakatan yang sifatnya luas, umum dan menyeluruh perlu diuji kembali. Salah satunya dengan cara mengelompokkan jenis-jenisnya. Dengan memandang dan menilainya secara seimbang dan dalam kacamata yang lebih menyeluruh, anasir masalah-masalah yang sifatnya problematik dan dilematis akan dapat dipecahkan bersama-sama dalam proses deliberasi para pihak bertikai.
19. Masalah-masalah yang sungguh sulit diterima haruslah disorot secara khusus. Ini diperlukan dalam proses menuju pencapaian suatu kesepakatan penyelesaian yang sifatnya menyeluruh, kalau saatnya memang tepat dan bagus dilakukan.
20. Timing harus dipertimbangkan masak-masak. Misalnya, kalau suatu jajak pendapat yang bermaksud mendorong tercapainya suatu bentuk kesepakatan final-menyeluruh dilakukan sementara pihak-pihak bertikai justru mau “menggunting dalam lipatan”, sangatlah tidak tepat diteruskan. Atau bayangkan melakukan jajak pendapat hanya beberapa hari setelah suatu upaya kesepakatan kandas dilaksanakan ..
21. Cobalah mengontrol persoalan keuangan. Harus ada funding yang sungguh independen. Jangan sampai ada pihak-pihak yang terlibat dalam proses jajak pendapat melakukan veto karena barangkali pada detik-detik akhir mereka berubah pendapat jajak pendapat ini akan merugikan mereka.
22. Jangan menggunakan jajak pendapat untuk menegosiasikan lagi kesepakatan yang sudah dicapai.
23. Jangan mengandaikan bahwa pekerjaan jajak pendapat telah selesai ketika kesepakatan dalam penyusunan rancangan jajak pendapat telah dicapai/ditandatangani, terutama jika masalah-masalah yang diangkat dalam jajak pendapat itu tidak dibicarakan dalam kesepakatan yang telah dicapai.
24. Bahkan jika suatu target pencapaian keputusan penting yang rumit akan harus diraih, semua pihak yang bersikap kritis terhadap proses itu haruslah ikut serta di dalamnya, sekalipun proses jajak pendapat dan transformasi konflik itu akan jadi sulit sekali.
25. Jika pihak-pelaku kunci menolak bernegosiasi, pihak-pihak yang netral harus diajak untuk memberikan usulan-usulan yang konstruktif.
26. Jika pihak-pihak kunci mencoba memasukkan pertanyaan-pertanyaan yang dimaksudkan untuk menimbulkan hasil yang negatif, harus ada pihak netral yang mampu mengritik pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
27. Perlu dirancang pertanyaan-pertanyaan yang mendinginkan jika sampai pada titik dilematis “pilih ini atau kehilangan itu”.
28. Jika dukungan untuk jajak pendapat sifatnya terlalu bermacam-macam, dan tak ada pattern yang jelas, perlu berkonsultasi seluas-luasnya pada berbagai pihak dan kalau perlu merancang pertanyaan yang sifatnya melawan keinginan beberapa pihak.
29. Harus ada dewan penasihat yang memiliki pengalaman yang siap mendukung jika suatu keputusan harus diambil berkaitan dengan proses dan hasil jajak pendapat.
30. Sejauh mungkin melibatkan tim penguji interdisipliner.
31. Perlu mengevaluasi proses jajak pendapat: kemajuan apa yang telah dicapai?
32. Pihak-pihaklah yang memutuskan kapan jajak pendapat terakhir akan dilakukan.


TONGGAK-tonggak perjalanan kehidupan masyarakat yang bertikai perlu ditentukan kembali mana yang tepat dan sesuai menjadi titik tolak dari suatu deliberasi untuk melakukan penyusunan kuesioner jajak pendapat. Proses bersama para pihak ini akan menuntut kreativitas dari para penyelenggara untuk mengeksplorasi cara-cara menyusun pertanyaan, metode kerja bersama dengan para pihak. Barangkali dibutuhkan waktu tak sebentar untuk bolak-balik memperbaiki rancangan jajak pendapat, supaya temuan-temuan baru dimungkinkan dalam proses yang bisa jadi melelahkan tapi tak kalah menantang dan menarik.

Keberhasilan sebuah jajak pendapat sangat tergantung pada dimensi kualitatif yang dijalani bersama. Pekerjaan teknik dengan komputer dapat direkayasa sedemikian canggih, tapi mengapa tak juga menjalankannya dengan cara sederhana namun jitu. Suatu jajak pendapat akan jadi bernilai hanya jika ada keprihatinan, rasa peduli dan perhatian yang sungguh-sungguh untuk terus mencari manakah pertanyaan-pertanyaan kuesioner yang paling tepat dan jitu. Tenaga dan sumber daya akan tercurah banyak dalam proses ini. Menemui responden dan mengumpulkan lembaran terjawab mereka barangkali hanya butuh waktu beberapa minggu saja, tapi proses merancang kuesioner bersama dengan para pihak barangkali memerlukan waktu yang lebih panjang. Barangkali beberapa langkah berikut ini dapat dipertimbangkan.

Langkah-langkah dasar transkonflik dalam proses jajak pendapat

1. Mengirimkan surat resmi kepada semua pihak untuk ikut serta dalam proses jajak pendapat menuju penyelesaian masalah konflik Kalimantan-Madura, yang isinya:
(a) Akan diselenggarakannya proses penyusunan rancangan jajak pendapat secara bersama di antara para pihak
(b) Tentatif pelaksanaan jajak pendapat (pengumpulan lembar jawaban responden, analisis, sosialisasi/publikasi)
2. Pertemuan pertama
(a) Bentuk pertemuan: diskusi & deliberasi
(b) Peserta: para wakil pihak yang secara tentatif diajak masuk ke dalam proses
(c) Tujuan: untuk menentukan wakil-wakil pihak (sebagai negosiator pihak) yang akan mendapat tugas untuk menentukan cara (metode), topik, penentuan waktu pelaksanaan, sosialisasi (penerbitan, penayangan, dll.)
3. Rancangan pertama kuesioner yang disusun oleh tim pelaksana dikirimkan ke pihak-pihak untuk dijadikan bahan diskusi (pertimbangan, penentuan)
(a) harus disertakan dalam rancangan itu ringkasan sikap pokok dari masing-masing pihak berkaitan dengan cara (metode), topik dasar pertanyaan dalam lembar kuesioner, penentuan waktu pelaksanaan, sosialisasi (cara, waktu).
(b) harus dicantumkan juga siapa saja pihak-pihak yang terlibat sehingga cukup ada kebebasan dan keleluasaan untuk membicarakan berbagai hal yang dapat muncul dari setiap pihak satu sama lain.
4. Pertemuan kedua
(a) Peserta: semua pihak yang nantinya telah ditentukan
(b) Tujuan: membahas rancangan kuesioner, dari pertemuan diharapkan muncul usul, kritik, dan saran dari setiap pihak tentang mana yang perlu diubah atau ditambahkan
5. Surat resmi ketiga
Isinya:
(a) Notulen pertemuan sebelumnya
(b) Ringkasan dari semua catatan dasar dari kritik, saran, tambahan, pengurangan, dll.
6. Percobaan jajak pendapat
Tujuan:
(a) Mengidentifikasi kesulitan pekerjaan lapangan dalam proses mengumpulkan lembar-lembar jawaban, terutama berkaitan tingkat pemahaman sukarnya atau mudahnya pertanyaan dan lamanya proses mengumpulkan untuk setiap responden.
(b) Mengabarkan kepada semua pihak bahwa proses jajak pendapat sudah sampai ke tahap ini dan bahwa diharapkan mereka segera mengidentifikasi setiap perubahan dari detil kuesioner satu per satu, termasuk jika diusulkan mencabut sementara pertanyaan tertentu untuk ditunda dalam pelaksanaan jajak pendapat berikutnya.
7. Melakukan perubahan final oleh penanggung jawab seluruh jajak pendapat, berangkat dari hasil-hasil percobaan di lapangan. Perubahan-perubahan harus secara jelas diberitahukan dan dikirimkan secara tertulis kepada pihak-pihak. Di dalamnya disertakan schedule jajak pendapat dan kapan pelaksanaan sosialisasi (publikasi).
8. Pelaksanaan proses pengumpulan lembar kuestioner

Setelah tahap 7 dilalui, tak satu pihak pun boleh campur tangan lagi dalam seluruh proses pengumpulan jawaban responden, analisis data, dan publikasi (??). Semua hasil laporan penghitungan angka disampaikan kepada pihak-pihak dan mereka bebas menyampaikan kritik atas temuan-temuan mereka sendiri.


Latar belakang survey jajak pendapat

1. Siapa saja, pihak-pihak mana saja: kelompok, lembaga, asosiasi, bahkan barangkali partai politik mana yang memiliki mandat dari rakyat secara demokratis dalam pengertian yang paling jujur?
2. Pihak mana saja yang mewakili kelompok sikap radikal, moderat, atau yang tengah-tengah?
3. Pihak-pihak mana saja yang mewakili kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik?
4. Pihak mana saja yang kehadirannya memiliki makna sentral dalam upaya menuju perdamaian?
5. Menghubungi pihak-pihak yang harus terlibat dalam proses perdamaian, dan pihak-pihak yang mau berbuat apa saja untuk mencapai perdamaian. Undang mereka untuk ambil bagian dalam program jajak pendapat ini untuk mencapai perdamaian.


Pokok-pokok yang harus dilakukan dalam survey jajak pendapat

1. Harus dicapai suatu persetujuan terhadap pelaksanaan program jajak pendapat dengan para pihak, yang bersangkutan dengan beberapa detil pokok ini: topik yang akan jadi fokus jajak pendapat, metode (struktur sampel, berapa banyak responden, proses distribusi lembaran kuesioner dan proses pengumpulan jawaban, style pertanyaan yang dipakai, dll.)
2. Bersama-sama dengan para pihak, perlu dilakukan pengujian semua pilihan pertanyaan yang intinya mengarah pada pemulihan rasa percaya diri masyarakat, berbagai masalah dan pemecahannya, hal-hal yang sifatnya prosedural dan substansial, dan rasa keprihatinan dari masyarakat sejauh berkaitan dengan konflik itu sendiri, dll.
3. Hasil jajak pendapat haruslah disosialisasikan, diterbitkan, ditayangkan, atau menggunakan cara-cara lain dalam publikasi massa, ditayangkan dalam internet secara detil dari hasil laporan jajak pendapat. Hasil itu ditujukan kepada para pihak bertikai, NGOs dan IGOs yang terkait, pemerintah, yang diharapkan akan memberikan dukungan pada proses perdamaian ini.
4. Dukungan tetap terus perlu dilanjutkan untuk para pihak, sampai implementasi hasil kesepakatan dicapai, ketika lembaga-lembaga yang melakukan pembaruan terus melakukan upaya melaksanakan kesepakatan seoptimal mungkin, bahkan juga ketika masih ada banyak masalah lain yang belum dapat disentuh yang telah diidentifikasi selama proses jajak pendapat.

Kalkulus melukiskan kenyataan transformasi konflik dalam angka

Seperti umumnya jajak pendapat, bentuk pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner umumnya dirancang secara “tertutup”. Namun, perlu diangkat model pertanyaan dan penghitungan yang sifatnya tidak hanya hitam-putih, ya atau tidak, tapi juga melukiskan rumitnya kenyataan di lapangan, tingkat-tingkat perbedaan sikap dan pilihan, banyak dan rumitnya akar masalah konflik, dan membuka peluang untuk responden menjawab secara terbuka (meski tentu terbatas). Model kuantitatif ini dirancang berdimensi sangat kualitatif.

Contoh:

Apa sikap Anda tentang beberapa pendapat ini?
a) Orang Madura, relatif semuanya bersama-sama, kembali secepatnya dalam beberapa bulan mendatang
b) Orang Madura kembali secara perlahan-lahan, bertahap, dalam jangka waktu 2 tahun
c) Orang Madura kembali secara perlahan-lahan, bertahap, dalam jangka waktu 3 tahun
d) Orang Madura kembali secara perlahan-lahan, bertahap, dalam jangka waktu 5 tahun
e) Orang Madura kembali secara perlahan-lahan, bertahap, dalam jangka waktu 10 tahun
f) Orang Madura kembali secara perlahan-lahan, bertahap, dalam jangka waktu 20 tahun
g) Orang Madura jangan pernah kembali lagi ke Kalimantan

Menurut Anda, apakah akar masalah konflik Kalimantan-Madura? (berilah ranking)
a) Lingkungan alam Kalimantan, misalnya hutan, telah dikeruk dan jadi rusak oleh siapa pun yang terlibat di dalamnya (orang pusat, orang daerah)
b) Pelaksanaan hukum yang tidak konsisten: polisi mau dibayar supaya tahanan/tersangka pelaku kejahatan yang ditangkap
c) Kekejian orang Dayak, Melayu, dll., “kok tega-teganya menebas kepala, sampai ke anak-anak kecil”
d) Kecemburuan ekonomi, sosial dan politik dari kalangan non-Madura, terutama masyarakat Dayak, di Kalimantan.
e) Tingkah laku orang Madura yang kurang ajar, tidak sopan, ekspansif, mencuri, merampas, dll.
f) Persaingan kekuasaan, manuver politik dan akses ekonomi dari kalangan elit politik lokal di Kalimantan
g) Persaingan kekuasaan, manuver politik dan akses ekonomi dari kalangan elit politik nasional di Jakarta
h) Keterbelakangan masyarakat Dayak dalam semua segi kehidupan: pendidikan, ekonomi, kekuasaan
i) Konflik terjadi karena ketidakadilan hubungan perempuan dan laki-laki
j) Konflik agama antara Islam dan non-Islam (Kristen)


Skala rentang sikap responden — dari satu sampai lima

1 = Anda percaya pilihan sikap Anda ini nilainya sangat penting, jadi bagian mutlak penting dari suatu upaya perdamaian dan karenanya harus dilaksanakan apa pun halangan dan resikonya (sangat penting dan perlu, essential).
2 = Pilihan Anda ini memang tidak Anda pandang “sangat penting” seperti pada urutan no.1 tapi, kiranya pilihan ini atau yang kiranya sejenis dengan ini adalah gagasan yang bagus dan bermutu, karena karenanya dapat dilaksanakan atau diterapkan (bagus meski tidak sangat penting, desirable).
3 = Anda tidak akan menilai pilihan ini “bagus” seperti pada pilihan no. 2, jika Anda diberi kesempatan untuk memilih atau menentukan, tapi sekalipun demikian Anda bersikap “baiklah, saya dapat hidup dengan layak, meskipun keadaannya sedemikian.” (yah dapat diterimalah, bolehlah, acceptable)
4 = Anda tidak menginginkan pilihan ini, tapi karena Anda jadi bagian, langsung maupun tidak langsung, dari seluruh permasalahan yang melanda Kalimantan-Madura, Anda toh akan bersedia menerima keadaan itu (apa boleh buat, saya tak bisa berbuat lain, tak bisa pula melawannya, saya terpaksa terima, tolerable).
5 = Pilihan ini sungguh sulit diterima akal sehat, apa pun alasan dan situasinya. Anda tidak akan menerima pilihan atau pendapat ini, meskipun pilihan ini dipandang sebagai bagian dari proses penyelesaian permasalahan Kalimantan (sama sekali tak dapat diterima & harus ditolak, unacceptable).


Kata kunci proses jajak pendapat

Perlu dirancang, dilakukan dan diterbitkan hasil-hasil jajak pendapat yang didasarkan pada upaya membangun kembali rasa percaya satu sama lain, keinginan dan kehendak warga masyarakat untuk mencapai suatu penyelesaian masalah lewat jalur negosiasi. Capaian jajak pendapat ini dapat memberikan atau menjadi usulan awal menuju ke suatu kesepakatan yang sifatnya seluas-luasnya dalam rentang perspektif politik yang diperlukan untuk transformasi konflik.


Check-list jajak pendapat

1. Lembaga intelektual manakah di kawasan konflik yang memiliki kinerja ilmu sosial yang bagus dan memadai?
2. Pakar atau akademis yang memiliki pengalaman dalam bidang survey jajak pendapat di kawasan konflik dan memiliki interes pada proses perdamaian?
3. Apakah ada akademisi yang dapat memberikan dukungan tambahan dari bidang studi politik, hukum, geografi sosial, bahasa, studi media, dll.?
4. Apakah ada NGOs atau IGOs yang memiliki interes pada kawasan konflik itu dan dapat memberikan dukungan finansial dan dukungan kebijakan dalam bidang survey?
5. Apakah terdapat pusat penelitian yang bekerja di daerah konflik dan pernah melakukan jajak pendapat di kawasan tersebut?
6. Bagaimana profil demografi kawasan konflik tersebut: jumlah penduduk, suku bangsa, geografi sosial, bahasa, pendidikan, umur, dll.?
7. Apakah terdapat surat kabar atau bentuk media massa yang lain —entah cetak maupun elektronik— yang mendukung proses perdamaian?
8. Apakah ada media massa yang dibaca, didengar, ditonton, dicerap oleh berbagai kelompok dan komunitas, dan kemudian bersedia menerbitkan atau menayangkan hasil jajak pendapat dan bekerja sama dengan media lain dari komunitas yang berseberangan sikap politik? Apakah ada kelompok peace journalism di kawasan konflik?
9. Beberapa bidang pokok pertanyaan untuk kuesioner masih membutuhkan eksplorasi yang lebih luas lagi. Tentang mana yang akan dipilih untuk jangka pendek, barangkali adalah persoalan lain yang juga membutuhkan penentuan. Namun barangkali sedikit contoh ini dapat membantu.


Variabel dependen:

a. Apakah akar masalah konflik Maluku: berapa banyak, serumit apa, kaitan satu sama lain?
b. Pendapat tentang hak asasi manusia: bagaimana pun manusia tidak boleh dilukai apalagi dibunuh, dibantai secara massal? Tingkat kesadaran moral dalam ukuran Kohlberg, misalnya?
c. Bagaimana sikap masyarakat terlibat konflik?
d. Bagaimana sikap masyarakat terhadap persoalan pemulangan, relokasi, dll.?
e. Bagaimana tanggapan masyarakat tentang upaya-upaya pemerintah dan masyarakat sipil, misalnya dengan kebijakan darurat sipil yang sudah berlangsung selama hampir tiga tahun ini?
f. Bagaimana selayaknya orang bertingkah laku dalam hidup sosial di mana diandaikan orang bersikap sopan santun satu sama lain, saling menghormati satu sama lain, dst.?
g. dst.

Variabel independen:
a. Latar belakang responden: umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan [pekerjaan selama enam bulan terakhir, dua minggu terakhir], suku bangsa, menikah atau tak menikah, jumlah anak, tingkat pendapatan; untuk orang Madura: sebelum rusuh tinggal di mana; untuk migran atau pendatang: sudah berapa lama tinggal di Kalteng, proses migrasi - spontan, transmigran, dll.
b. Sampling responden: jumlah minimal 1.500 lembar (?) untuk representasi dari masing-masing pihak, lokasi-lokasi ditentukan oleh para pihak. Antara lain: (a) IDPs Madura di pulau Madura [Sampang, Bangkalan, Pamekasan, Sumenep], Kalimantan Selatan, kawasan Jawa Timur yang lain; (b) masing-masing sub-suku masyarakat Dayak; (c) suku-suku yang lain; (d) perbedaan pedalaman dan kota, dsb.

Jakarta, Januari 2002
oleh Prasetyohadi