— * Berikut ini adalah usaha yang saya lakukan untuk menerapkan suatu metode survey yang kiranya dapat dikatakan "sangat mempertahankan pendekatan partisipatif". Barangkali dapat dikatakan, "konflik komunal adalah salah satu bentuk tingkat paling ekstrim dari ketiadaan partisipasi masyarakat." Kiranya metode ini dapat diterapkan juga untuk jajak-jajak pendapat yang lain, dalam berbagai bidang kehidupan sosial, ekonomi, politik, lokal maupun internasional, terutama ketika hasil jajak pendapat dan prosedur pelaksanaannya dirasakan meragukan karena ada anggapan penjajakan dilakukan untuk "mempropagandakan" kepentingan pelaku atau pelaksananya. Semoga berguna.—
— * Jika Anda membutuhkan sebuah contoh bagaimana model ini diterapkan, barangkali tulisan saya tentang jajak pendapat bertahap yang dijalankan di Ambon-Lease, Maluku, awal 2002, bertajuk "JAJAK PENDAPAT DAN PERDAMAIAN: Belajar dari Proses Transformasi Konflik Maluku" dapat memberikan gambaran awal. Cara mendapatkannya: lihat pada posting saya terdahulu, dengan cara klik pada item terakhir dalam urutan "Previous Posts" di sebelah kanan atas halaman ini, dan akan Anda temukan posting file tulisan tersebut.—
JAJAK PENDAPAT dapat menjadi sangat bermanfaat dalam membantu dan mendorong proses perdamaian di kawasan-kawsasan konflik. Kerap kali pertikaian dan selisih pendapat memuncak sampai pada bentrok berdarah. Sudah bukan lagi akal budi yang sehat yang berbicara, tapi dorongan nafsu dan kesempitan berpikir yang dilatarbelakangi oleh sikap tertutup, mengggunakan cara apa pun yang dapat dipakai mencapai tujuan jangka pendek. Pada periode pasca-bentrok pun keadaan tutup-komunikasi masih bertahan, karena rasa benci, dendam, dan rasa tak terima masih bersarang. Ini menambah rumitnya proses deliberasi yang sedang dilakukan untuk melerai kusutnya masalah. Jika rasa saling tak percaya sudah mendalam sifatnya, para juru damai pun jadi kewalahan. Kata-kata dan konsultasinya jadi tumpul. Pada saat itu jajak pendapat atau konsultasi kepada masyarakat, kepada semua pihak yang terlibat dalam konflik —sebagai salah satu cara komunikasi dan deliberasi— dapat menjadi berguna.
Tapi bagaimana merancang agar suatu jajak pendapat tak disalahgunakan untuk kepentingan salah satu pihak saja, entah pihak-pihak bertikai atau pun “si juru damai” itu sendiri? Dari pengalaman dan pengamatan, jajak pendapat yang prosesnya tertutup kerapkali justru membuat masyarakat tambah mencibir: Pasti ada udang di balik batu .. polling itu dipakai untuk mendukung sikap politik tertentu. Atau jadi begitu “eksklusif” dan “akademis” atau “pretensius” karena terlalu didominasi oleh para pakar statistik, sosiologi, politik, atau entah ilmu apa yang lain, yang sensibilitasnya kurang memiliki perspektif keadilan kemasyarakatan dan kerakyatan yang berpihak secara seimbang dari bawah.
Salah satu cara handal menyelenggarakan jajak pendapat yang cocok diterapkan di kawasan konflik adalah dengan melibatkan para pihak bertikai itu sendiri, dengan membuka proses jajak pendapat itu sendiri, mulai dari periode awal ketika penyusunan sedang dilakukan. Metode “partisipatif” ini menerapkan prinsip-prinsip transformasi konflik dalam upaya peace-building. Dampak positif yang diharapkan memiliki berbagai dimensi ganda yang mencakup pembaruan segi-segi partisipasi publik dan pemerintahan yang sifatnya positif pula.
Pelajaran dari pengalaman dari Irlandia Utara [Colin Irwin 2001] dapat kita tarik di sini sebagai awal dari proses pembangunan kembali rasa saling percaya di antara kelompok-kelompok masyarakat yang telah tercabik-cabik oleh kebencian mendalam satu sama lain, perusakan lingkungan hidup yang memerosotkan mutu hidup manusia, represi terhadap aspirasi masyarakat. Semuanya telah menyebabkan prosedur saling berembug dengan kepala dingin dan tradisi bermusyawarah yang jujur dan mendalam tak berkembang dalam kehidupan kita bersama, malah dikhawatirkan di banyak tempat sudah lenyap. Pengalaman kita di Indonesia membuktikannya ketika kita saksikan banyak tempat diguncang berbagai kerusuhan, kita tak habis mengerti bagaimana (dan mengapa) justru bentrok berdarah terjadi dan bukan deliberasi dan musyawarah yang jadi pilihan. Otot dan senjata yang bicara, bukan akal budi dan hati jadi panglima.
Beberapa pokok dasar jajak pendapat dan proses perdamaian
JAJAK pendapat bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, meskipun memiliki aspek yang “sangat mudah dilihat hasilnya” dalam pendekatan penyelesaian konflik. Proses jajak pendapat itu sendiri sangat penting maknanya. Sebagai suatu program yang independen, para pihak didorong untuk ikut serta dalam proses penyusunan pertanyaan-pertanyaan untuk kuesioner, menentukan timing yang tepat kapan pengumpulan jawaban responden dilaksanakan, kapan sosialisasi atau publikasi hasil jajak pendapat dilakukan dan bagaimana caranya, bagaimana kritik, saran, tanggapan pasca publikasi disalurkan dan ditindaklanjutkan, dsb.
Pada galibnya, semua caranya sedapat mungkin diserahkan kepada para peserta-pihak sesuai dengan apa yang mereka yakini sebagai paling membantu untuk mengembangkan proses bersama menuju perdamaian. Kerja bersama ini dalam bentuknya yang paling ideal akan menjadi bagian dari proses yang penting yang tak mungkin dikerjakan oleh salah satu atau sedikit pihak saja, misalnya kalangan pakar di perguruan tinggi saja secara tertutup.
Proses pembangunan perdamaian yang efektif menuntut pendasaran kembali yang memungkinkan semua anasir masyarakat bekerja kembali secara wajar dan produktif. Setidaknya ada tiga segi yang layak disimak dalam proses transkonflik. Pertama, tidak adanya dialog yang memadai di antara mereka yang bertikai sebisa mungkin haruslah disilih dengan saluran-saluran komunikasi yang memungkinkan wacana yang jujur tentang semua masalah pokok yang diidentifikasi jadi sumber suatu konflik. Kedua, jika deliberasi sudah mencapai titik kerja yang optimal, proses diskusi haruslah mengarah pada negosiasi yang konkret dan proses pengambilan keputusan atas semua anasir dari suatu kesepakatan bagaimana memecahkan masalah praktik kehidupan sosial yang gagal dan lembaga-lembaga politik yang tidak berfungsi selayaknya. Ketiga, jika suatu kesepakatan sudah tercapai, kesepakatan itu haruslah dilaksanakan sepenuhnya, dengan kesungguhan, perhatian untuk mencapai keberhasilan, seperti halnya negosiasi-negosiasi itu juga selayaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh. Peace-building menuntut sikap terus waspada dan kesabaran, sementara semua pihak haruslah dilibatkan, termasuk di tingkat nasional dan internasional, jika memang kita hendak menyudahi kebencian, penolakan, bentrok kekerasan atau perang.
Bersamaan dengan jajak pendapat sebagai suatu prosedur peace-building, para pihak terlibat dalam hidup bermasyarakat dapat meningkatkan semua proses sosial politik yang sifatnya mendasar dengan cara membantu dan mendorong penyelenggaraan dialog nyata dan komunikasi efektif; menjelajahi berbagai permasalahan dan kemungkinan pemecahannya; memilah-milah dan menentukan masalah-masalah kritis dan genting dan berbagai kaitannya; dan tentu saja diharapkan mendorong proses perdamaian agar tetap berjalan pada relnya yang benar. Tekanannya di sini adalah “meningkatkan, membantu dan mendorong”, sebab jajak pendapat tidak akan mengubah masyarakat. Jajak pendapat hanya dapat membantu dan mempermudah suatu proses yang akan harus dijalani oleh suatu masyarakat dan para wakil mereka. Perlu di sini diutarakan beberapa pokok yang selayaknya dipegang.
Beberapa hal yang harus dilakukan dan sebaiknya dicegah
dalam melakukan jajak pendapat untuk proses perdamaian
1. Upaya deliberasi menuju tersusunnya kuesioner jajak pendapat dalam transkonflik haruslah mencakup semua aspek penting dalam kehidupan sosial politik yang terpengaruh oleh semua lembaga publik dan pemerintah.
2. Mendorong para pengambil keputusan penting (tokoh-tokoh kunci) dalam proses penyusunan rancangan jajak pendapat, baik materi kuesioner maupun caranya (metode).
3. Jika ada tokoh-tokoh penting yang tak setuju dengan hasil jajak pendapat, ajak mereka dalam penyusunan rancangan jajak pendapat tahap berikutnya. Jajak pendapat atau konsultasi kepada masyarakat selayaknya tetap dibuka kemungkinan mengenai berapa kali harus dilakukan. Bergantung pada deliberasi para pihak, sensitivitas masalah, capaian negosiasi.
4. Untuk mempertahankan tingkat kredibilitas jajak pendapat, barangkali perlu pula melakukan pengujian murni untuk memperlihatkan independensi dan kesahihan yang sepenuhnya.
5. Jangan sampai tak mengikutkan pihak-pihak berkonflik yang sifatnya penting dan vital peranannya.
6. Jika pihak-pihak kaum mapan atau mereka yang masih bersikeras dengan konflik tidak bersedia ikut ambil bagian dalam jajak pendapat, jajak pendapat dimulai dengan mengikutkan mereka yang lebih kurang keras sikapnya, yang jadi bawahan atau afiliasi dari kelompok keras.
7. Mulai dengan mendeliberasikan masalah-masalah yang sifatnya membangun rasa percaya diri, mulai dari yang sederhana.
8. Mulai dengan membicarakan hal-hal yang sifatnya prosedural terlebih dahulu, baru belakangan hal-hal yang sifatnya substansial.
9. Harus dihindari pilihan-pilihan yang sifatnya ekstrim, dan lebih banyak mencari titik temu (common ground).
10. Bisa jadi beberapa pertanyaan yang dirancang untuk jajak pendapat publik yang sudah disetujui semua pihak, akhirnya tak dapat ditanyakan pada masyarakat karena tak ada tempat/halaman/space lagi. Hal ini tak seluruhnya buruk, karena yang telah disepakati dapat menjadi dasar kerja untuk jajak pendapat berikutnya.
11. Semua persyaratan dan keberatan terhadap proses perdamaian perlu dibahas secara sistematis, sebab umumnya kalau terpaksa orang akan lebih memilih “berselisih” daripada “bentrok”/perang.
12. Jangan mencoba menghindari masalah-masalah yang sifatnya sensitif. Sebab, masalah yang sensitif itu sangat mungkin akan sangat merugikan salah satu pihak.
13. Masyarakat harus mendapatkan kesempatan untuk menerapkan hak-hak sipilnya dalam proses demokrasi. Diharapkan —entah kapan dan bagaimana— pesan, sikap dan posisi mereka dapat difahami oleh mereka yang jadi wakil dalam pengambilan keputusan publik.
14. Harus disusun pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya dapat menampilkan ranking dari masalah-masalah pokok dalam konflik dan peluang pemecahan yang paling potensial.
15. Harus dirancang pertanyaan-pertanyaan yang mengandung anasir potensial menuju kesepakatan final.
16. Jangan sampai terseret-seret oleh komplesitas masalah. Masyarakat yang hidup di tengah-tengah situasi sulit atau konflik justru sering memiliki pemahaman konflik yang sangat mendalam.
17. Gunakanlah cara analisis yang memantulkan prosedur pengambilan suara yang wajar dilakukan dalam proses negosiasi.
18. Kesepakatan-kesepakatan yang sifatnya luas, umum dan menyeluruh perlu diuji kembali. Salah satunya dengan cara mengelompokkan jenis-jenisnya. Dengan memandang dan menilainya secara seimbang dan dalam kacamata yang lebih menyeluruh, anasir masalah-masalah yang sifatnya problematik dan dilematis akan dapat dipecahkan bersama-sama dalam proses deliberasi para pihak bertikai.
19. Masalah-masalah yang sungguh sulit diterima haruslah disorot secara khusus. Ini diperlukan dalam proses menuju pencapaian suatu kesepakatan penyelesaian yang sifatnya menyeluruh, kalau saatnya memang tepat dan bagus dilakukan.
20. Timing harus dipertimbangkan masak-masak. Misalnya, kalau suatu jajak pendapat yang bermaksud mendorong tercapainya suatu bentuk kesepakatan final-menyeluruh dilakukan sementara pihak-pihak bertikai justru mau “menggunting dalam lipatan”, sangatlah tidak tepat diteruskan. Atau bayangkan melakukan jajak pendapat hanya beberapa hari setelah suatu upaya kesepakatan kandas dilaksanakan ..
21. Cobalah mengontrol persoalan keuangan. Harus ada funding yang sungguh independen. Jangan sampai ada pihak-pihak yang terlibat dalam proses jajak pendapat melakukan veto karena barangkali pada detik-detik akhir mereka berubah pendapat jajak pendapat ini akan merugikan mereka.
22. Jangan menggunakan jajak pendapat untuk menegosiasikan lagi kesepakatan yang sudah dicapai.
23. Jangan mengandaikan bahwa pekerjaan jajak pendapat telah selesai ketika kesepakatan dalam penyusunan rancangan jajak pendapat telah dicapai/ditandatangani, terutama jika masalah-masalah yang diangkat dalam jajak pendapat itu tidak dibicarakan dalam kesepakatan yang telah dicapai.
24. Bahkan jika suatu target pencapaian keputusan penting yang rumit akan harus diraih, semua pihak yang bersikap kritis terhadap proses itu haruslah ikut serta di dalamnya, sekalipun proses jajak pendapat dan transformasi konflik itu akan jadi sulit sekali.
25. Jika pihak-pelaku kunci menolak bernegosiasi, pihak-pihak yang netral harus diajak untuk memberikan usulan-usulan yang konstruktif.
26. Jika pihak-pihak kunci mencoba memasukkan pertanyaan-pertanyaan yang dimaksudkan untuk menimbulkan hasil yang negatif, harus ada pihak netral yang mampu mengritik pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
27. Perlu dirancang pertanyaan-pertanyaan yang mendinginkan jika sampai pada titik dilematis “pilih ini atau kehilangan itu”.
28. Jika dukungan untuk jajak pendapat sifatnya terlalu bermacam-macam, dan tak ada pattern yang jelas, perlu berkonsultasi seluas-luasnya pada berbagai pihak dan kalau perlu merancang pertanyaan yang sifatnya melawan keinginan beberapa pihak.
29. Harus ada dewan penasihat yang memiliki pengalaman yang siap mendukung jika suatu keputusan harus diambil berkaitan dengan proses dan hasil jajak pendapat.
30. Sejauh mungkin melibatkan tim penguji interdisipliner.
31. Perlu mengevaluasi proses jajak pendapat: kemajuan apa yang telah dicapai?
32. Pihak-pihaklah yang memutuskan kapan jajak pendapat terakhir akan dilakukan.
TONGGAK-tonggak perjalanan kehidupan masyarakat yang bertikai perlu ditentukan kembali mana yang tepat dan sesuai menjadi titik tolak dari suatu deliberasi untuk melakukan penyusunan kuesioner jajak pendapat. Proses bersama para pihak ini akan menuntut kreativitas dari para penyelenggara untuk mengeksplorasi cara-cara menyusun pertanyaan, metode kerja bersama dengan para pihak. Barangkali dibutuhkan waktu tak sebentar untuk bolak-balik memperbaiki rancangan jajak pendapat, supaya temuan-temuan baru dimungkinkan dalam proses yang bisa jadi melelahkan tapi tak kalah menantang dan menarik.
Keberhasilan sebuah jajak pendapat sangat tergantung pada dimensi kualitatif yang dijalani bersama. Pekerjaan teknik dengan komputer dapat direkayasa sedemikian canggih, tapi mengapa tak juga menjalankannya dengan cara sederhana namun jitu. Suatu jajak pendapat akan jadi bernilai hanya jika ada keprihatinan, rasa peduli dan perhatian yang sungguh-sungguh untuk terus mencari manakah pertanyaan-pertanyaan kuesioner yang paling tepat dan jitu. Tenaga dan sumber daya akan tercurah banyak dalam proses ini. Menemui responden dan mengumpulkan lembaran terjawab mereka barangkali hanya butuh waktu beberapa minggu saja, tapi proses merancang kuesioner bersama dengan para pihak barangkali memerlukan waktu yang lebih panjang. Barangkali beberapa langkah berikut ini dapat dipertimbangkan.
Langkah-langkah dasar transkonflik dalam proses jajak pendapat
1. Mengirimkan surat resmi kepada semua pihak untuk ikut serta dalam proses jajak pendapat menuju penyelesaian masalah konflik Kalimantan-Madura, yang isinya:
(a) Akan diselenggarakannya proses penyusunan rancangan jajak pendapat secara bersama di antara para pihak
(b) Tentatif pelaksanaan jajak pendapat (pengumpulan lembar jawaban responden, analisis, sosialisasi/publikasi)
2. Pertemuan pertama
(a) Bentuk pertemuan: diskusi & deliberasi
(b) Peserta: para wakil pihak yang secara tentatif diajak masuk ke dalam proses
(c) Tujuan: untuk menentukan wakil-wakil pihak (sebagai negosiator pihak) yang akan mendapat tugas untuk menentukan cara (metode), topik, penentuan waktu pelaksanaan, sosialisasi (penerbitan, penayangan, dll.)
3. Rancangan pertama kuesioner yang disusun oleh tim pelaksana dikirimkan ke pihak-pihak untuk dijadikan bahan diskusi (pertimbangan, penentuan)
(a) harus disertakan dalam rancangan itu ringkasan sikap pokok dari masing-masing pihak berkaitan dengan cara (metode), topik dasar pertanyaan dalam lembar kuesioner, penentuan waktu pelaksanaan, sosialisasi (cara, waktu).
(b) harus dicantumkan juga siapa saja pihak-pihak yang terlibat sehingga cukup ada kebebasan dan keleluasaan untuk membicarakan berbagai hal yang dapat muncul dari setiap pihak satu sama lain.
4. Pertemuan kedua
(a) Peserta: semua pihak yang nantinya telah ditentukan
(b) Tujuan: membahas rancangan kuesioner, dari pertemuan diharapkan muncul usul, kritik, dan saran dari setiap pihak tentang mana yang perlu diubah atau ditambahkan
5. Surat resmi ketiga
Isinya:
(a) Notulen pertemuan sebelumnya
(b) Ringkasan dari semua catatan dasar dari kritik, saran, tambahan, pengurangan, dll.
6. Percobaan jajak pendapat
Tujuan:
(a) Mengidentifikasi kesulitan pekerjaan lapangan dalam proses mengumpulkan lembar-lembar jawaban, terutama berkaitan tingkat pemahaman sukarnya atau mudahnya pertanyaan dan lamanya proses mengumpulkan untuk setiap responden.
(b) Mengabarkan kepada semua pihak bahwa proses jajak pendapat sudah sampai ke tahap ini dan bahwa diharapkan mereka segera mengidentifikasi setiap perubahan dari detil kuesioner satu per satu, termasuk jika diusulkan mencabut sementara pertanyaan tertentu untuk ditunda dalam pelaksanaan jajak pendapat berikutnya.
7. Melakukan perubahan final oleh penanggung jawab seluruh jajak pendapat, berangkat dari hasil-hasil percobaan di lapangan. Perubahan-perubahan harus secara jelas diberitahukan dan dikirimkan secara tertulis kepada pihak-pihak. Di dalamnya disertakan schedule jajak pendapat dan kapan pelaksanaan sosialisasi (publikasi).
8. Pelaksanaan proses pengumpulan lembar kuestioner
Setelah tahap 7 dilalui, tak satu pihak pun boleh campur tangan lagi dalam seluruh proses pengumpulan jawaban responden, analisis data, dan publikasi (??). Semua hasil laporan penghitungan angka disampaikan kepada pihak-pihak dan mereka bebas menyampaikan kritik atas temuan-temuan mereka sendiri.
Latar belakang survey jajak pendapat
1. Siapa saja, pihak-pihak mana saja: kelompok, lembaga, asosiasi, bahkan barangkali partai politik mana yang memiliki mandat dari rakyat secara demokratis dalam pengertian yang paling jujur?
2. Pihak mana saja yang mewakili kelompok sikap radikal, moderat, atau yang tengah-tengah?
3. Pihak-pihak mana saja yang mewakili kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik?
4. Pihak mana saja yang kehadirannya memiliki makna sentral dalam upaya menuju perdamaian?
5. Menghubungi pihak-pihak yang harus terlibat dalam proses perdamaian, dan pihak-pihak yang mau berbuat apa saja untuk mencapai perdamaian. Undang mereka untuk ambil bagian dalam program jajak pendapat ini untuk mencapai perdamaian.
Pokok-pokok yang harus dilakukan dalam survey jajak pendapat
1. Harus dicapai suatu persetujuan terhadap pelaksanaan program jajak pendapat dengan para pihak, yang bersangkutan dengan beberapa detil pokok ini: topik yang akan jadi fokus jajak pendapat, metode (struktur sampel, berapa banyak responden, proses distribusi lembaran kuesioner dan proses pengumpulan jawaban, style pertanyaan yang dipakai, dll.)
2. Bersama-sama dengan para pihak, perlu dilakukan pengujian semua pilihan pertanyaan yang intinya mengarah pada pemulihan rasa percaya diri masyarakat, berbagai masalah dan pemecahannya, hal-hal yang sifatnya prosedural dan substansial, dan rasa keprihatinan dari masyarakat sejauh berkaitan dengan konflik itu sendiri, dll.
3. Hasil jajak pendapat haruslah disosialisasikan, diterbitkan, ditayangkan, atau menggunakan cara-cara lain dalam publikasi massa, ditayangkan dalam internet secara detil dari hasil laporan jajak pendapat. Hasil itu ditujukan kepada para pihak bertikai, NGOs dan IGOs yang terkait, pemerintah, yang diharapkan akan memberikan dukungan pada proses perdamaian ini.
4. Dukungan tetap terus perlu dilanjutkan untuk para pihak, sampai implementasi hasil kesepakatan dicapai, ketika lembaga-lembaga yang melakukan pembaruan terus melakukan upaya melaksanakan kesepakatan seoptimal mungkin, bahkan juga ketika masih ada banyak masalah lain yang belum dapat disentuh yang telah diidentifikasi selama proses jajak pendapat.
Kalkulus melukiskan kenyataan transformasi konflik dalam angka
Seperti umumnya jajak pendapat, bentuk pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner umumnya dirancang secara “tertutup”. Namun, perlu diangkat model pertanyaan dan penghitungan yang sifatnya tidak hanya hitam-putih, ya atau tidak, tapi juga melukiskan rumitnya kenyataan di lapangan, tingkat-tingkat perbedaan sikap dan pilihan, banyak dan rumitnya akar masalah konflik, dan membuka peluang untuk responden menjawab secara terbuka (meski tentu terbatas). Model kuantitatif ini dirancang berdimensi sangat kualitatif.
Contoh:
Apa sikap Anda tentang beberapa pendapat ini?
a) Orang Madura, relatif semuanya bersama-sama, kembali secepatnya dalam beberapa bulan mendatang
b) Orang Madura kembali secara perlahan-lahan, bertahap, dalam jangka waktu 2 tahun
c) Orang Madura kembali secara perlahan-lahan, bertahap, dalam jangka waktu 3 tahun
d) Orang Madura kembali secara perlahan-lahan, bertahap, dalam jangka waktu 5 tahun
e) Orang Madura kembali secara perlahan-lahan, bertahap, dalam jangka waktu 10 tahun
f) Orang Madura kembali secara perlahan-lahan, bertahap, dalam jangka waktu 20 tahun
g) Orang Madura jangan pernah kembali lagi ke Kalimantan
Menurut Anda, apakah akar masalah konflik Kalimantan-Madura? (berilah ranking)
a) Lingkungan alam Kalimantan, misalnya hutan, telah dikeruk dan jadi rusak oleh siapa pun yang terlibat di dalamnya (orang pusat, orang daerah)
b) Pelaksanaan hukum yang tidak konsisten: polisi mau dibayar supaya tahanan/tersangka pelaku kejahatan yang ditangkap
c) Kekejian orang Dayak, Melayu, dll., “kok tega-teganya menebas kepala, sampai ke anak-anak kecil”
d) Kecemburuan ekonomi, sosial dan politik dari kalangan non-Madura, terutama masyarakat Dayak, di Kalimantan.
e) Tingkah laku orang Madura yang kurang ajar, tidak sopan, ekspansif, mencuri, merampas, dll.
f) Persaingan kekuasaan, manuver politik dan akses ekonomi dari kalangan elit politik lokal di Kalimantan
g) Persaingan kekuasaan, manuver politik dan akses ekonomi dari kalangan elit politik nasional di Jakarta
h) Keterbelakangan masyarakat Dayak dalam semua segi kehidupan: pendidikan, ekonomi, kekuasaan
i) Konflik terjadi karena ketidakadilan hubungan perempuan dan laki-laki
j) Konflik agama antara Islam dan non-Islam (Kristen)
Skala rentang sikap responden — dari satu sampai lima
1 = Anda percaya pilihan sikap Anda ini nilainya sangat penting, jadi bagian mutlak penting dari suatu upaya perdamaian dan karenanya harus dilaksanakan apa pun halangan dan resikonya (sangat penting dan perlu, essential).
2 = Pilihan Anda ini memang tidak Anda pandang “sangat penting” seperti pada urutan no.1 tapi, kiranya pilihan ini atau yang kiranya sejenis dengan ini adalah gagasan yang bagus dan bermutu, karena karenanya dapat dilaksanakan atau diterapkan (bagus meski tidak sangat penting, desirable).
3 = Anda tidak akan menilai pilihan ini “bagus” seperti pada pilihan no. 2, jika Anda diberi kesempatan untuk memilih atau menentukan, tapi sekalipun demikian Anda bersikap “baiklah, saya dapat hidup dengan layak, meskipun keadaannya sedemikian.” (yah dapat diterimalah, bolehlah, acceptable)
4 = Anda tidak menginginkan pilihan ini, tapi karena Anda jadi bagian, langsung maupun tidak langsung, dari seluruh permasalahan yang melanda Kalimantan-Madura, Anda toh akan bersedia menerima keadaan itu (apa boleh buat, saya tak bisa berbuat lain, tak bisa pula melawannya, saya terpaksa terima, tolerable).
5 = Pilihan ini sungguh sulit diterima akal sehat, apa pun alasan dan situasinya. Anda tidak akan menerima pilihan atau pendapat ini, meskipun pilihan ini dipandang sebagai bagian dari proses penyelesaian permasalahan Kalimantan (sama sekali tak dapat diterima & harus ditolak, unacceptable).
Kata kunci proses jajak pendapat
Perlu dirancang, dilakukan dan diterbitkan hasil-hasil jajak pendapat yang didasarkan pada upaya membangun kembali rasa percaya satu sama lain, keinginan dan kehendak warga masyarakat untuk mencapai suatu penyelesaian masalah lewat jalur negosiasi. Capaian jajak pendapat ini dapat memberikan atau menjadi usulan awal menuju ke suatu kesepakatan yang sifatnya seluas-luasnya dalam rentang perspektif politik yang diperlukan untuk transformasi konflik.
Check-list jajak pendapat
1. Lembaga intelektual manakah di kawasan konflik yang memiliki kinerja ilmu sosial yang bagus dan memadai?
2. Pakar atau akademis yang memiliki pengalaman dalam bidang survey jajak pendapat di kawasan konflik dan memiliki interes pada proses perdamaian?
3. Apakah ada akademisi yang dapat memberikan dukungan tambahan dari bidang studi politik, hukum, geografi sosial, bahasa, studi media, dll.?
4. Apakah ada NGOs atau IGOs yang memiliki interes pada kawasan konflik itu dan dapat memberikan dukungan finansial dan dukungan kebijakan dalam bidang survey?
5. Apakah terdapat pusat penelitian yang bekerja di daerah konflik dan pernah melakukan jajak pendapat di kawasan tersebut?
6. Bagaimana profil demografi kawasan konflik tersebut: jumlah penduduk, suku bangsa, geografi sosial, bahasa, pendidikan, umur, dll.?
7. Apakah terdapat surat kabar atau bentuk media massa yang lain —entah cetak maupun elektronik— yang mendukung proses perdamaian?
8. Apakah ada media massa yang dibaca, didengar, ditonton, dicerap oleh berbagai kelompok dan komunitas, dan kemudian bersedia menerbitkan atau menayangkan hasil jajak pendapat dan bekerja sama dengan media lain dari komunitas yang berseberangan sikap politik? Apakah ada kelompok peace journalism di kawasan konflik?
9. Beberapa bidang pokok pertanyaan untuk kuesioner masih membutuhkan eksplorasi yang lebih luas lagi. Tentang mana yang akan dipilih untuk jangka pendek, barangkali adalah persoalan lain yang juga membutuhkan penentuan. Namun barangkali sedikit contoh ini dapat membantu.
Variabel dependen:
a. Apakah akar masalah konflik Maluku: berapa banyak, serumit apa, kaitan satu sama lain?
b. Pendapat tentang hak asasi manusia: bagaimana pun manusia tidak boleh dilukai apalagi dibunuh, dibantai secara massal? Tingkat kesadaran moral dalam ukuran Kohlberg, misalnya?
c. Bagaimana sikap masyarakat terlibat konflik?
d. Bagaimana sikap masyarakat terhadap persoalan pemulangan, relokasi, dll.?
e. Bagaimana tanggapan masyarakat tentang upaya-upaya pemerintah dan masyarakat sipil, misalnya dengan kebijakan darurat sipil yang sudah berlangsung selama hampir tiga tahun ini?
f. Bagaimana selayaknya orang bertingkah laku dalam hidup sosial di mana diandaikan orang bersikap sopan santun satu sama lain, saling menghormati satu sama lain, dst.?
g. dst.
Variabel independen:
a. Latar belakang responden: umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan [pekerjaan selama enam bulan terakhir, dua minggu terakhir], suku bangsa, menikah atau tak menikah, jumlah anak, tingkat pendapatan; untuk orang Madura: sebelum rusuh tinggal di mana; untuk migran atau pendatang: sudah berapa lama tinggal di Kalteng, proses migrasi - spontan, transmigran, dll.
b. Sampling responden: jumlah minimal 1.500 lembar (?) untuk representasi dari masing-masing pihak, lokasi-lokasi ditentukan oleh para pihak. Antara lain: (a) IDPs Madura di pulau Madura [Sampang, Bangkalan, Pamekasan, Sumenep], Kalimantan Selatan, kawasan Jawa Timur yang lain; (b) masing-masing sub-suku masyarakat Dayak; (c) suku-suku yang lain; (d) perbedaan pedalaman dan kota, dsb.
Jakarta, Januari 2002
oleh Prasetyohadi
Sunday, November 14, 2004
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment