Teman-teman sekalian ...
Saya sekedar melemparkan tanggapan sehubungan dengan kasus konflik warga Katolik di sekitar sekolah para biarawati Sang Timur dan warga Muslim setempat di Cileduk, Jakarta Barat. Saya punya pengalaman sedikit membantu proses transformasi konflik Maluku tengah (Ambon, Lease, Buru, Seram Muka). Hampir tiga tahun kiranya saya membantu mereka. Barangkali yang saya alami untuk sebagian masyarakat dari kawasan itu sedikit memberi gambaran untuk pemahaman kita tentang konflik antara komunitas St. Bernadette dan masyarakat Muslim di sekitarnya di Cileduk, atau di lokasi-lokasi lain.
Saya merasa pandangan rekan-rekan kita Agung Sugiarto dan Bambang Andianto itu menarik, mengacu pada persoalan praktis. Suara hati tertindas seperti terungkap dari Agung Sugiarto sudah sering kita dengar. Agung menceriterakan bahwa di Malang jika para pemuka agama Kristen memulai membangun kerjasama koperasi (dan tentunya semua keterlibatan yang lain yang positif nilainya) dengan warga masyarakat setempat sebelum membangun gedung gereja, maka masalah seperti di Cileduk kiranya tak akan terjadi. Keluhan karena gereja suka bikin macet karena mobil-mobil pribadi itu seperti yang ditulis Bambang juga pernah disindirkan oleh seorang kiai sangat terhormat seperti Sayid Aqiel Syiraj.
Dewasa ini, seandainya kejujuran boleh kita miliki --lepas dari semua isyu besar seperti hak asasi (kebebasan beragama) dan kesenjangan sosial, ambur adulnya penegakan hukum, dlsb.-- masing-masing pihak tampaknya sudah bertindak seperti yang dituduhkannya sendiri pada pihak lain. Kiranya acuan praktis itu penting sekali sebagai titik berangkat, karena tampaknya perubahan masyarakat dalam bidang sosial dan politik, terutama ekonomi pasar yang terus menghimpit, di Jakarta dan sekitarnya sudah sedemikian jauh membuat banyak orang tidak lagi mengutamakan (lupa?) komunitas bersama (multi-pihak) dalam suatu lingkup kehidupan masyarakat.
Akan jadi sangat bagus seandainya ada yang berupaya membandingkan secara konkrit bagaimana strategi orang Katolik Malang dan Jabotabek, dan mengambil hikmahnya: apakah "commonalities" di antara mereka yang gagal dan sukses (katakanlah begitu) dalam membangun jemaat? Apakah ada perbedaan yang sama dan persamaan yang berbeda di antara mereka? Setidaknya satu kejadian sukses berjemaat di Malang barangkali sudah dapat menjadi sandaran untuk meragukan pernyataan agak heboh "ancaman terhadap gereja" .. atau setidak-tidaknya "meletakkan persoalan di atas meja" terlebih dahulu .. mulai dari kelompok sendiri. Forum sharing dalam kelompok pihak yang (hanya) sejenis tidak jarang justru meningkatkan rasa takut karena menjadikan pihak lain sebagai sasaran sharing itu sendiri. Ini sudah jamak.
Pola hubungan antarkelompok itulah yang sekarang ini sebenarnya menjadi keprihatinan banyak pihak di Indonesia (juga di dunia), melihat merebaknya di mana-mana terjadi kekacauan sosial, di tengah situasi politik yang lebih terbuka yang ditandai dengan "mass politics". Semua itu tampaknya sudah menjadi suatu keniscayaan yang terjadi, atau setidaknya sesuatu yang sulit diharapkan kembali ke keadaan sebelumnya (misalnya selama masa "floating mass" dalam rejim Soeharto) sehingga tak ada alternatif lain kecuali kita semestinya mempelajarinya kembali. Bukankah selama masa yang lama selama rejim Orde Baru kita tidak mendapatkan kesempatan untuk berlatih hidup bermasyarakat seperti yang kita hadapi sekarang? Kita tidak akan terlalu heran kalau kejadian yang mirip dengan kasus Cileduk akan terjadi di tempat-tempat lain, seperti sudah terjadi dan barangkali belum akan berhenti, karena ada prasyarat-prasyarat dasar reliabilitas hidup masyarakat yang tidak bisa berkembang.
Saya kira, sejauh beracu pada kesadaran yang ada sekarang ini, proses menyelesaikan konflik seperti yang terjadi di Cileduk itu kiranya juga selayaknya tidak dilakukan begitu saja, cepat-cepat, karena sudah terburu "butuh" perdamaian. Saya kira sejauh setiap orang merasa dirinya berada sebagai "pihak" dalam konflik, tentunya masing-masing tidak berada dalam posisi dapat menyelesaikan seluruhnya. Sebenarnya dibutuhkan pihak lain yang netral yang memperlancar jika memang proses penyelesaian hendak dilakukan.
Dalam menyelesaikan konflik juga dibutuhkan variasi model pendekatan (multi-tracks), misalnya tidak hanya "dari atas" tapi juga "dari bawah" (berbasis komunitas secara bersama-sama baik yang Katolik maupun Muslim, tapi juga yang lain; apakah pengandaian ini juga sudah tidak akan menjadi persoalan lain bagi warga gereja Katolik sendiri?). Para pihak haruslah dideliberasikan dan diidentifikasikan terlebih dahulu: siapakah mereka, pola, tingkat dan model relasi di antara mereka (intergroup&intragroup), tingkat rasa takut, pengutamaan pada korban; peluang-peluang yang ada, terobosan yang mungkin dilakukan, dst. Prosesnya juga harus bertahap, misalnya selayaknya tidak langsung-langsungan begitu saja dengan mendatangkan bogem dengan menghadirkan Gus Dur, dengan harapan bahwa dengan sekali usaha lalu selesai ... Namun, prosesnya selayaknya mulai dari yang bawah dan yang paling mungkin terlebih dahulu. Misalnya, tidak dimulai dengan menjadikan kelompok/orang bersikap keras sebagai sasaran usaha penyelesaian/perdamaian pada tahap awal, tapi mulai dari yang paling bersedia terlebih dahulu baik yang Katolik maupun yang Muslim, dan juga jangan banyak pesertanya terlebih dahulu. Dari sana kemudian dimulai dengan pembentukan kelompok kerja yang konkrit.
Di samping itu masih ada juga pengandaian bahwa keadaan yang sudah berlangsung dan akhirnya terjadi di Cileduk itu telah sampai pada tahapnya yang parah dan pola relasi konflik yang rumit, pada titik kerumitan yang kita tak tahu persis ujung pangkalnya ... sehingga kerumitan itu hendaknya dilerai satu per satu terlebih dahulu, mulai dari yang mudah dan beresiko lebih kecil. Bersamaan dengan proses itu, para peserta dan mediatornya akan saling belajar dan mendapatkan pengetahuan baru (atau mungkin lama tapi terselubung karena dominannya kepentingan para pihak) dan menjadikannya bahan untuk evaluasi dan perbaikan untuk menempuh proses transformasi berikutnya, dan begitu seterusnya.
Saya kira dalam forum sesempit ini tidak tepat bagi saya untuk menjelaskan "prosedur teknologi penyelesaian konflik", semangat rekonsiliasi dst., yang memang belum memasyarakat, padahal semestinya diajarkan dan dilatihkan untuk semua orang, apalagi para pemuka agama, termasuk dalam pendidikan para pemuka jemaat ... Dan saya kira gereja Katolik dan juga gereja-gereja yang lain, yang paling lokal sekalipun, bukan tidak memiliki sumber-sumbernya untuk melakukan hal itu, tapi entah mengapa semua itu sekarang macet!
Ma`a salaam, shadiiqikum al-muqarrab! Mu`miin bil-masiih.
Friday, November 12, 2004
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment