(Tulisan pendek di bawah ini diterbitkan dalam rubrik Fokus dari harian Kompas, Sabtu, 01 Mei 2004, tak lama berselang setelah kerusuhan di Ambon meledak lagi setelah tanggal 25 April 2004.)
KEKACAUAN di Kota Ambon, Provinsi Maluku, meletus kembali dalam skala yang lebih kurang mirip dengan situasi ketika kebijakan darurat sipil diterapkan tahun 2000. Penanganannya sangat bergantung pada pemahaman para pihak tentang kondisi laten konflik Maluku dan tentang kerentanannya untuk ditunggangi pihak-pihak lain, sementara tokoh masyarakat yang sedang memperjuangkan perdamaian sendiri pada masa pascadarurat sipil ini belum lagi tuntas menyelesaikan tugas-tugas mereka membangun perekat sosial yang paling minimal.
TENTU keadaan yang bagaikan mundur kembali ke saat awal kerusuhan Ambon ini sangat mengecewakan masyarakat, terutama para pemuka dan pekerja perdamaian yang berbulan-bulan menekuni proses menjahit kembali jalinan sosial, ekonomi, dan budaya yang terobek-robek. Sungguh sulit diterima bahwa ribuan pengungsi yang perlahan-lahan telah kembali ke tempat-tempat relokasi, bahkan tempat asal mereka, kini kembali kocar-kacir, terlunta-lunta, di negeri-negeri mereka sendiri.
Persoalan laten
Kurun pascakonflik yang sedianya sudah berlangsung setelah darurat sipil dicabut September 2003 menyodorkan berbagai persoalan laten yang masih mengendap di dasar kesadaran masyarakat Maluku. Konflik yang meledak lagi di Ambon bermula dari isu pihak aparat keamanan membiarkan reli menyambut peristiwa ulang tahun Front Kedaulatan Maluku sebagai penampilan depan dari klaim separatisme Republik Maluku Selatan (RMS).
Kelompok anti-RMS, dengan mengemukakan klaim nasionalistis merah-putih, sudah mengancam balik akan menyerang sehari sebelum kekerasan merebak. Suatu kejadian yang tampaknya tak cukup diantisipasi oleh aparat keamanan ternyata meledak secara mendadak dan bergulung-gulung, seolah-olah tak tersangka-sangka sebelumnya, berubah menjadi kekacauan dalam skala besar-puluhan orang tewas, ratusan rumah dibakar, kantor-kantor perwakilan pekerjaan kemanusiaan internasional dikaitkan dengan khayalan dukungan terhadap salah satu pihak.
Namun, jika ditilik lebih jauh lagi ketimbang isu sedangkal permukaan, terdapat suatu polarisasi yang pelik pada tingkat masyarakat. Dari survei menjelang masa pascakonflik yang diselenggarakan Tim Baku Bae, Maret-April 2002, persoalan isu separatisme (34,2 persen) berhadapan langsung dengan isu konflik elite politik, yang terbagi secara kontras antara 73 persen kelompok Kristen dan 11,6 persen Islam.
Dari kecondongan terbelahnya masyarakat berdasarkan polarisasi isu yang mencuat ke permukaan ini tampak jelas bahwa isu separatisme yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang "besar" dan karenanya dilebih-lebihkan di Maluku ini memiliki suatu dimensi yang sama sekali berbeda jika dibandingkan dengan separatisme di Aceh atau Papua, misalnya.
Separatisme Aceh sudah sampai ke taraf TNI sendiri terpaksa blakblakan membuka jalan penanganan militer. Di Maluku, di mana pada tingkat publik TNI masih bersikap persuasif, klaim separatisme yang ada hampir-hampir melulu didukung oleh para pemuda (kebetulan Kristen, tapi secara umum dulu ada pula dari kalangan Muslim) menganggur. Sementara keadaan para pendukung anti-RMS pun tak jauh berbeda.
Preferensi pencegahan
Meskipun polarisasi isu ini sudah kronis sifatnya dalam sejarah Maluku sejak kemerdekaan Republik Indonesia, selisih pandangan ini bukanlah suatu keniscayaan bahwa potensi konflik yang masih laten itu tidak dapat dilerai. Upaya pencegahan sebenarnya merupakan strategi yang paling tepat untuk mengendurkan polarisasi isu yang secara aktual memang sensitif dan sekaligus dapat ditunggangi oleh pihak-pihak luar yang tidak bertanggung jawab.
Belajar dari proses transformasi konflik Maluku, polarisasi isu bukanlah suatu hal yang tidak dapat dibahas dan ditangani oleh orang-orang Maluku sendiri. Namun, haruslah diakui bahwa proses rekonsiliasi yang selama ini telah dilakukan untuk Maluku belum sampai tuntas menyentuhnya dalam suatu proses bertahap dan terus-menerus digarap baik di tingkat atas maupun di tingkat publik.
Penanganan tahap menengah adalah secara cepat dan setidaknya mulai mengubah dan mengorientasikan para pendukung muda dari masing-masing isu ini menjadi tenaga kerja minimal. Jika tidak, risikonya adalah isu banal ini diangkat-angkat jadi isu publik yang panas dan dapat ditunggangi menjadi sangat besar.
Mutlaknya memperhatikan program penanganan kaum muda yang menganggur di daerah konflik adalah salah satu kunci utamanya. Hal ini didukung oleh hasil awal dari penelitian terhadap konflik komunal di India, Srilanka, Nigeria, dan Malaysia yang dilakukan oleh Ashutosh Varsney yang sedang meneliti konflik-konflik komunal di Indonesia. Dibandingkan dengan konflik komunal yang terjadi di empat negara tersebut, kata profesor telaah etnis dari Universitas Michigan, Amerika Serikat, ini, konflik komunal yang di banyak tempat dimulai oleh keterlibatan dan pertikaian antar-anak muda adalah ciri sangat khas yang hanya terdapat di Indonesia.
Penanganan tahap jangka panjang dalam proses rekonsiliasi kiranya akan terkait dengan dimensi pendidikan sipil untuk masyarakat, terutama pada bidang pendidikan formal. Pendidikan terbuka melibatkan kelompok-kelompok berbeda yang menekankan hak-hak sipil dalam konteks kemasyarakatan dan politik lokal seumumnya kiranya merupakan hal sentral.
Konflik antarpenembak jitu
Kekacauan di Ambon yang terjadi mulai Minggu 25 April sampai sekarang ini memiliki dimensi peranan aktor-aktornya yang sudah sangat berbeda ketimbang yang sebelumnya muncul di permukaan. Eskalasi yang cepat membuat masyarakat bertanya-tanya ada apa gerangan sebelumnya. Banyak warga masyarakat biasa, baik Muslim maupun Kristen, tidak mengerti bagaimana semuanya bisa terjadi begitu cepat dan fatal, ketika ratusan rumah dan kantor-kantor pekerja kemanusiaan internasional jadi sasaran.
Barangkali yang bergulung-gulung kemudian terjadi sudah lebih jelas tidak bisa lagi disebut sebagai "kerusuhan" biasa yang cepat dapat ditangani, tetapi gamblang sebuah kegiatan "serang-menyerang" yang selama ini senantiasa ditutup-tutupi dari ruang publik. Misalnya, "kegiatan menembak dengan peralatan senjata canggih dari tempat terlindung" (persisnya bukanlah "tersembunyi" karena banyak orang sudah tahu di mana asal dan jangkauannya) bukanlah kegiatan warga masyarakat biasa, melainkan justru mengorbankan masyarakat biasa seumumnya.
Fakta adanya para penembak jitu tersembunyi ini belum pernah diangkat ke permukaan publik. Padahal, belajar dari konflik-konflik yang terjadi di Ambon dalam waktu empat tahun setelah Januari 1999, hal yang sama pernah berbulan-bulan berlangsung di Kota Ambon dan sekitarnya. Namun, sekarang media mengangkatnya sebagai sesuatu yang jelas di depan mata. Sengketa dengan senjata api telak yang terjadi di Ambon sebenarnya sama sekali bukan hal baru. Namun, pengangkatannya ke ruang publik ini penting karena memang layak menjadi sasaran perhatian masyarakat untuk mendesak pihak berwewenang, terutama polisi, untuk bersikap lebih jujur dan lebih seimbang dengan kepercayaan yang telah diberikan oleh masyarakat untuk menjamin keamanan publik.
Tumpang tindih
Dalam pertikaian fisik bersenjata tajam atau bersenjata api, kiranya terjadi serang-menyerang yang tumpang tindih, saling mendukung sekaligus mengaburkan pihak masing-masing yang berkonflik.
Pertama adalah desakan dan dukungan tidak langsung dari masing-masing kekuatan bersenjata yang berkonflik kepada warga masyarakat umumnya-kaum muda yang umumnya bingung mencari pekerjaan itu-untuk menyerang pihak lain yang dipersepsikan sebagai "musuh" dari masing-masing pihak dan dipermudah dengan adanya pengecapan konfesi agama.
Kedua, yang terjadi adalah juga tembak-menembak di antara para penembak jitu itu sendiri. Barangkali titik paling panas dalam keseimbangan konflik yang penuh ketegangan inilah yang masih berlangsung. Sejauh konflik antarpenembak jitu ini masih terus bertahan, ketegangan dalam masyarakat akan jadi sangat sulit diredakan.
Ketiga, masyarakat, baik yang Muslim maupun Kristen, setiap saat bisa jadi sasaran yang sungguh-sungguh tidak berperikemanusiaan, dan karenanya sekaligus juga tidak masuk akal. Soalnya, untuk menimbulkan ketegangan yang dapat membantu meningkatkan perlindungan dan pengaburan seraya terus bertahan baik untuk si penembak jitu maupun untuk kelompoknya, arah laras senapan tidak hanya disasarkan pada pihak lain yang bersenjata, tetapi juga warga masyarakat yang tidak berdosa.
Inilah buruk dan kacaunya "kerusuhan" Ambon yang nyata sudah berubah menjadi kegiatan "serang-menyerang" antara kelompok-kelompok spesifik yang berkonflik. Konsekuensinya, penanganan oleh pihak polisi yang sedianya menjadi pemegang wewenang keamanan lokasi setempat juga haruslah lebih terfokus dan lebih efisien pada keadaan yang sudah jelas kasatmata. Hal ini jelas berisiko, termasuk tewasnya anggota-anggota aparat keamanan yang bersungguh-sungguh atau yang baru saja datang ke lokasi konflik dan kurang waspada, seperti telah terjadi dengan meninggalnya setidaknya dua orang Brigade Mobil, Senin (26/4).
Secara spesifik pihak yang berwewenang wajib menangani kejahatan ini, siapa pun pelakunya, termasuk jika aparat keamanan itu sendiri, "dapat memiliki keterikatan emosional" (seperti sudah sering diakui oleh para pemimpin mereka; lihat juga foto-foto di halaman depan media cetak 28 April) tidak hanya terhadap masing-masing kelompoknya, tapi terutama malah kepentingan politik dan ekonomi mereka yang ada di belakang.
Netralitas sikap aparat keamanan bagaimanapun adalah syarat mutlak bagi keberhasilan penanganan masalah Ambon karena sudah bukan rahasia lagi di masyarakat: perlengkapan keamanan itu diperjualbelikan secara gelap atau pernah dijebol dari gudang-gudang senjata resmi.
PRASETYOHADI Pemerhati Konflik Etnis dan Mantan Kofasilitator Transformasi Konflik Maluku
Friday, November 12, 2004
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment