Tuesday, May 31, 2005

Bahaya atau Peluang? Konflik Masyarakat Desa Pergulaan versus PT London Sumatra Tbk

Catatan: Tulisan berikut ini telah diterbitkan dalam buku sumber karya Ichsan Malik, Boedhi Wijardjo, Noer Fauzi dan Antoinette Royo, berjudul “Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam”, diterbitkan oleh Yayasan Kemala, Jakarta, 2003. Saya berterimakasih kepada beberapa petani dari desa Pergulaan, Sumatra Utara; RACA Institute di Jakarta; dan Antoinette Royo yang telah memberikan banyak masukan.
============================================


Analisis kasus konflik tanah di sebuah desa di Sumatra Utara ini memusatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan: Siapa para pihak yang bertikai? Siapa pihak-pihak lain sekalipun tak langsung tampak? Apa sumber-sumber konflik itu? Sejauh mana para pihak memandang konflik yang dihadapi sebagai bahaya atau peluang, secara khusus dipusatkan pada para warga petani sendiri. Bagaimana relativitas dari bahaya dan atau peluang yang dihadapi? Di manakah kekuatan dan kelemahan darip para pihak yang terlibat? Peluang apakah yang diambil oleh para pihak? Pertanyaan-pertanyaan ini penting diketengahkan untuk menguji tingkat dari konflik tanah dan usaha-usaha penyelesaian yang sejauh ini telah dilakukan oleh para pihak berkonflik tersebut.


Akar Masalah dan Para Pihak dalam Konflik

Pihak-pihak yang bersengketa adalah masyarakat desa Pergulaan, kecamatan Sei Rampah, kabupaten Deli Serdang, kira-kira 80 kilometer ke arah tenggara dari kota Medan (arah ke kota Pakanbaru dari Medan), Sumatera Utara (Sumut), berselisih klaim pemilikan tanah seluas lebih dari 165,6 hektar dengan perusahaan perkebunan PT London Sumatera Tbk (seterusnya Lonsum). Sampai sekarang perusahaan ini telah menguasai sejumlah tanah mendekati 4.000 hektar tanah perkebunan, dengan status HGU dari pemerintah. Namun dalam perjalanan waktu tampaknya keluasan itu dirasa belum cukup sehingga tanah rakyat yang berada di ujung tenggara perkebunan juga dicaplok oleh perusahaan kelapa sawit itu.

Dengan berbagai cara intimidasi dan kekerasan sepanjang tahun 1974, lahan 165,6 hektar itu dihaki oleh Lonsum. Sejumlah 517 kepala keluarga digusur. Sejumlah 54 rumah permanen hunian warga dihancurkan. Ganti rugi dipaksakan. Tanah itu kemudian ditanami dengan kakao dan kelapa sawit seperti tanaman bisnis lain yang dikomoditikan oleh perusahaan tersebut. Sepanjang 1974 sampai setelah reformasi 1998 penduduk tak bisa apa-apa. Kalau ada upaya merebut kembali tanah itu, segala macam cara menghambat diancamkan kepada penduduk, mulai dari mempekaíikan sampai melakukan kekerasan terhadap penduduk. Salah satu korban yang tragis adalah almarhum Pak Kasiat yang dianiaya dengan setrum listrik. Ia cacat sampai meninggalnya 1999. Tak ada pemulihan apa pun untuknya.

Izin HGU perusahaan itu sendiri yang didapat dari pemerintah tahun 1968 sudah habis masa berlakunya 1998 dengan ketentuan luas 3.787 hektar. Tapi kemudian pemerintah pusat memperbaruinya dengan HGU No 2/1997, namun anehnya luasnya meningkat jadi 4069,84 hektar. Peningkatan jumlah areal ini adalah suatu bentuk legal pencaplokan tanah yang semakin membuat masyarakat Pergulaan menentangnya. Karenanya, persis juga ketika keterbukaan reformasi sedang berlangsung, warga desa Pergulaan mulai berupaya memperjuangkan entah bagaimana caranya pokoknya harus sampai bisa memiliki kembali harta milik tanah mereka itu. Mereka telah mendapatkan hak atas tanah itu jauh sebelum perusahaan perkebunan itu mendapat izin dari pemerintah daerah dan pusat tahun 1968 untuk membudayakan tanah perkebunan.

Di satu sisi, terlibat dalam konflik ini para pihak lain pada lapis berikutnya. Pada lapis lokal terdapat Badan Pertanahan Nasional tingkat kabupaten Deli Serdang, bupati Deli Serdang. Pada lapis provinsi terdapat gubernur Sumatera Utara yang sebenarnya memiliki wewenang penataan dan perbaikan ke depan demi kesejahteraan dan kedamaian masyarakat setempat. Para aparat keamanan setempat yang bisa berasal dari lapis-lapis struktural dari Polda Sumatera Utara sampai polsek Deli Serdang, atau komando rayon militer setempat. Dalam proses ini pihak militer tidak tampak aktif, kecuali "menyaksikan". Di lain pihak setelah analisis semakin menajam Badan Pertanahan Nasional pada tingkat pusatlah yang berperan besar, setidaknya dalam meloloskan perpanjangan HGU 1997 untuk Lonsum dalam keluasan yang melonjok tak sesuai dengan perjanjian awal.

Di lain sisi, terdapat pula para organisasi non-pemerintah yang berupaya mendorong proses transformasi konflik dengan berbagai kegiatan standar yang mereka lakukan, mulai dari advokasi kasus konflik tanah, pelatihan produksi pertanian, intervensi peningkatan kesadaran dan pengetahuan sosial politik para pihak berkonflik.


Profil ekonomi konflik

Berdasarkan perhitungan warga desa Pergulaan, dalam jangka waktu 29 tahun (1974-2000) saja, pendapatan serobotan dari tanah warga yang dilakukan oleh Lonsum setidaknya mencapai 97,5 milyar rupiah. Hitungan ini didasarkan pada perkiraan minimum bisnis industri pertanian kelapa sawit (saja): 1 hektar tanah idealnya terdiri dari 125 pokok pohon kepala sawit; klaim kepemilikan warga seluas 165,6 hektar; harga buah sawit per kilo Rp 500 (sampai tahun 2003); minimum dua kali pemetikan buah kelapa sawit per bulan; hitungan masa produktif selama 26 tahun. Belum lagi ditambah dengan nilai kepemilikan tanah yang dicaplok itu sendiri. Berdasarkan perkiraan ini dapatlah ditaksir bahwa per tahun Lonsum mengeruk pemasukan sebesar 92,16 milyar rupiah, dengan dasar keluasan seluruh lahan perusahaan tersebut sebesar 4069,84 hektar. Ini baru untuk bisnis industri kepala sawit saja. Kepemilikan tanah warga hanyalah empat persen dibandingkan dengan seluruh kekayaan perusahaan.

Lonsum sendiri mempekerjakan sekitar 1.628 orang buruk perkebunan, dengan pengandaian satu orang buruh tani idealnya mengurus seluas 2,5 hektar lahan industri kelapa sawit. Gaji buruh tani terendah sekitar Rp 480.000 per bulan sampai pertengahan 2003; tapi masih ditambah dengan jatah beras yang volumenya tergantung tanggungan jumlah anggota keluarga para buruh. Rata-rata kebutuhan per bulan untuk kehidupan para buruh mencapai Rp 650.000. Dengan pendapat semepet ini ancangan ancangan ke depan untuk pendidikan anak-anak dan generasi mudah tak lagi mungkin dipikirkan.

Dari warga desa Pergulaan hanya sekitar 100-an orang yang menjadi buruh Lonsum, sisanya umumnya berusaha dan bekerja dengan cara menyewa tanah dari kawasan tetangga desa Bah Sidua-dua, desa Sri Utama dan desa Sukasari. Tingkat pendapat mereka pun mepet sekali untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Sulit dibayangkan adanya kekuatan ekonomi yang dapat menjadi modal lebih kuat untuk menghadapi konflik tanah yang merundung warga desa itu.

Warga desa sendiri masih menghadapi tantangan yang besar mengingat tingkat pendidikan warga desa Pergulaan hanya pas-pasan. Kebanyakan lulusan sekolah menengah umum, tapi belum lagi diuji kemampuan dan kesiapan mereka menghadapi tantangan bekerja secara produktif.

Jika tak ada peluang apa pun yang lain, pendapatan pokok mereka hanyalah dari jadi buruh tani harian lepas pada perusahaan perkebunan itu. Yang sungguh kesulitan menemukan pekerjaan di sekitar desa umumnya lalu memutuskan untuk merantau.

Perlu dicatat pula bahwa dampak lingkungan yang pasti terjadi adalah bahwa kelapa sawit menguruskan tanah. Memang dampak ini belum terukur secara ilmiah, namun pengalaman di berbagai daerah telah memberikan hikmah pada para petani. Lebih dari itu pabrik minyak kelapa sawit dalam wilayah perusahaan meracuni udara lingkungan sekitar Lonsum. Penduduk langsung terimbas dampaknya.


Perjuangan (Fisik) untuk Merebut Tanah Itu

Masyarakat Pergulaan pada dasarnya menginginkan tanah mereka dikembalikan. Sekalipun tanpa ada bantuan siapa pun, mereka tetap berusaha memperolehnya. Misalnya dengan melakukan aksi begitu saja menanam ubi dan pisang. Melihat aksi reklaiming ini tentu saja perusahaan perkebunan itu tidak terima. Pendudukan harus dihentikan. Intimidasi (harus) dilakukan, dengan mengundang dan membayar polisi. Ratusan brigade mobil polisi dikerahkan. Pemuda Pancasila dan Pamswakarsa disewa ototnya untuk mengancam warga desa dan kalau perlu memukuli warga yang berkeras kepala. Semua ini tentu saja "ongkos" untuk Lonsum.

Aksi reklaiming dan pengusiran berlangsung beberapa kali. Tercatat sampai akhir 2000 aksi reklaiming dan pengusiran sudah terjadi lima kali. Namun, kegagalan demi kegagalan meyakinkan warga ada di pihak yang lemah. Dalam hal ini tampak jelas keadaan kekuatan yang tak seimbang antara para pihak yang langsung terlibat dalam konflik. Upaya "pendudukan" kembali sering hendak dilakukan lagi, tapi melihat gelagat pam swakarsa mau datang, penduduk menghindari kemungkinan bentrok. Warga Pergulaan tak merasakan ada hasilnya. Upaya penguatan dan pemberdayaan dari berbagai segi masih sangat dibutuhkan oleh warga Pergulaan sendiri.


Negosiasi

Sejak Lonsum menyadari semakin meningkatnya klaim sengketa tanah dari pihak warga Pergulaan, beberapa pemuka warga menjadi kepentingan perusahaan pertanian itu untuk "diajak berbicara". Namun, tampaknya negosiasi itu palsu, sebab itikad Lonsum untuk berdialog tampak semu. Lonsum masih berniat untuk membujuk warga agar menerima suap. Empat orang pemuka warga secara diam-diam lewat selembar surat ketika sedang berdialog disodori kemungkinan menerima uang sebesar 200 juta rupiah untuk masing-masing. Para pemuka warga itu menepis tawaran ini.

Negosiasi yang akhirnya bermuara di forum dengar pendapat di DPRD Sumatera Utara, 5 September 2000, tak berbuntut apa-apa kecuali mulut terbungkam dari direktur utama Lonsum. DPRD Sumut sudah tegas menyatakan dukungan agar "masalah lahan antara Lonsum dan masyarakat hendaknya dikembali ke posisi semula" [buletin Hanura 2/2003:35]. Fasilitasi negosiasi yang didesakkan pada DPRD kiranya masih berada dalam posisi minimal. Desakan dan proses resolusi konflik belum mendapatkan perhatian dan pemikiran yang lebih mendasar.


Bahaya dan Peluang?

Di satu pihak, bahaya yang paling dikhawatirkan lagi oleh warga desa Pergulaan adalah kemungkinan bentrok dan kekerasan yang memang --tidak hanya "dirasakan"-- sangat aktual. Potensi konflik sementara ini kiranya dapat dikatakan "tidak laten" karena relatif dapat dilakukan kontrol dengan adanya organisasi warga setempat, tapi juga bukan tidak mungkin tiba-tiba muncul jadi "terbuka". Kondisi di antara "laten" dan "terbuka" ini (mencuat, emerging) secara silang-silih jadi merepotkan para pengurus warga dalam proses perjuangan yang dilakukan. Kekerasan menimbulkan ketakutan. Ketakutan berdampak mengerutnya semangat perjuangan merebut tanah itu. Ironi terasa kuat ketika disadari bahwa tanah itu sebetulnya adalah tanah "kami" sendiri. Masyarakat takut merebut tanahnya sendiri ..

Di lain pihak, ancaman internal kiranya juga bukan sedikit. Agak tak mudah dibayangkan potensi konflik internal yang mungkin muncul ke permukaan pada tataran praktik di lapangan dan kehidupan sehari-hari di lingkungan desa dan perkebunan itu. Sebanyak 100-an warga desa menjadi buruh atau pekerja pada Lonsum. Anggota keluarga dari seorang warga yang berjuang mendapatkan kembali tanahnya tak sedikit yang bekerja pada Lonsum. Komunikasi bocor yang tak dikehendaki dapat terjadi. Hal-hal yang selayaknya jadi rahasia di antara pegiat perjuangan mendapatkan tanah ómisalnya jika aksi reklaiming hendak atau sedang dilakukanó dapat bocor ke pihak Lonsum. Pemuka warga dapat diintimidasi, jika misalnya anaknya diancam Lonsum agar orangtuanya tak usah berjuang merebut tanahnya. Atau, sang anak dipindahkan ke wilayah pekerjaan yang lebih jauh sehingga beban kerjanya lebih banyak.


Peluang dan Kekuatan

Sekarang ini, ketika perjuangan yang sudah lama dilakukan belum menghasilkan yang diharapkan, tampaknya terasa tak ada kekuatan dan peluang nyata yang ada di tangan warga desa Pergulaan. Tapi, apa yang memotivasi sehingga toh mereka tetap mau memperjuangkan tanah milik mereka yang faktual ada di tangan Lonsum? Ada beberapa argumen mendasar yang kiranya perlu disebutkan di sini.

Pertama, kekuatan terletak pada dimensi moral yang mendasar, yaitu bahwa tanah itu (pernah jadi) adalah milik warga, tapi diserobot dengan paksa oleh Lonsum. Kekuatan terletak pada argumen kepemilikan yang kuat ini tidak hanya didasarkan pada kejernihan nurani tentang kebenaran dan didukung oleh rasa keadilan dan hak hukum yang sah dari masyarakat warga desa Pergulaan itu sendiri, tapi juga oleh bukti-bukti pembayaran pajak atas garapan tanah yang sekian lama telah selalu dilunasi oleh warga desa. Memang, bukti ini bukan berupa "sertifikat", tapi surat pajak telah membuktikan fakta hak sejarah yang sifatnya primer sebagai bentuk pengakuan publik dan terbuka. Lebih dari itu, hak garap dan keberadaan warga desa tersebut didukung oleh dokumen pencatatan pada asisten wedana Sei Rampah (sekarang kecamatan) dalam bentuk kartu pemakai tanah yang dilindungi oleh UU Darurat No 8/1955.

Kedua, fakta bahwa warga desa Pergulaan telah puluhan tahun tinggal dan menggarap lahan yang sekarang mereka tuntut adalah kekuatan hukum dasariah yang dibenarkan oleh keyakinan akan hak untuk hidup dan bekerja mendapatkan nafkah. Hak untuk hidup tak seimbang jika dibandingkan dengan pengutamaan atau penyalahgunaan "hak guna usaha" yang melindungi (melulu) bisnis sebuah perusahaan perkebunan.

Ketiga, pemerintah dan mereka yang berkuasa atas dasar suara rakyat sendiri sesungguhnya wajib dan bertanggungjawab untuk menjamin kehidupan masyarakatnya.

Keempat, dukungan dari sekian banyak pihak baik dari jawatan-jawatan pemerintahan setempat maupun berbagai kalangan publik yang lain seperti jaringan perjuangan para petani.

Kelima, keyakinan dan potensi pertumbuhan keyakinan itu sendiri untuk jadi semakin kuat bahwa hukum dan kebenaran berada di pihak warga desa adalah kekuatan objektif yang diharapkan mampu mengubah keseimbangan kekuatan dalam konflik.

Keenam, adanya tak sedikit peluang, kemungkinan, alternatif pemecahan terhadap konflik ini sendiri juga merupakan kekuatan moral yang disadari oleh para warga desa.

Namun, sejak menyadari terus-menerus ditimpa kegagalan dalam usaha mempertahankan hak mereka itu, meskipun warga desa Pergulaan sudah berusaha beberapa kali melakukan aksi reklaiming, kekuatan internallah yang kini mereka yakini harus dipastikan proses penguatannya. Dalam hal ini mereka sangat sadar akan bahaya reklaiming karena akan langsung dibalas dengan kekerasan dari aparat negara yaitu Brimob. Konflik terbuka itu memberikan pelajaran bahwa pengalaman bersengketa dengan perusahaan itu sendiri menumbuhkan hasrat untuk lebih bersikap hati-hati, cermat dan seksama dalam menanggapi konflik yang masih terus mengancam. Bentrok-bentrok awal yang terjadi memberikan pelajaran bahwa kekerasan dibalas dengan kekerasan tak akan menyelesaikan masalah. Keputusan untuk menghindari bentrok sejak September 2000 menimbulkan gagasan untuk menyilih pengelolaan konflik ini dengan cara menempuh jalan meluruskan politik hukum maupun jalan penguatan masyarakat terlebih dahulu. Sementara ini, warga Pergulaan mengaku jalan hukum di pengadilan kiranya tak dirasakan keperluannya. Namun, jika alternatif ini tidaklah tertutup, sebab jalan litigasi juga diyakini mampu menguji dan menguak tingkat konsistensi logika hukum secara publik.

Penguatan organisasi warga desa dimulai dengan membangun kerjasama dan aliansi dengan para pegiat advokasi kasus pertanian. Yayasan Bitra Indonesia ó Medan yang kemudian didirikan 1985 adalah rekan pertama yang dikenal warga lewat informasi terbuka dalam masyarakat. Kontak kerja dengan Lembaga Bantuan Hukum Medan membuka peluang untuk membangun jaringan dengan sesama organisasi para petani di Sumatera Utara. Intervensi yang dilakukan oleh kedua organisasi ini mendorong para warga untuk memahami persoalan menjadi lebih jelas dan jernih, sementara potensi kekerasan yang dapat menimbulkan korban dapat dicegah dan diperhalus tingkat ekspresinya. Potensi konflik disalurkan dan diubah menjadi kekuatan positif untuk menyusun kekuatan dari pihak para warga Pergulaan. Diharapkan dalam prospek perjalanan ke depan konstelasi kekuatan menjadi lebih berimbang sehingga dapat menjamin keputusan yang akan diambil jika tiba saatnya reklaiming dilakukan lagi.

Bangunan awal dari kekuatan sudah mulai tampak. Di satu sisi, Badan Perjuangan Petani Sumatera Utara (BPPSU) adalah rantai yang mengaitkan para petani berkasus dan mengambil jalan kerja advokasi kasus tanah. Sementara itu di sisi lain kerja sama dengan organisasi tani yang menekankan teknik pertanian pun diperlukan, yaitu Forum Petani Sumatera Utara (FPSU). Pada tingkat yang lebih luas (regional), kedua sisi hidup petani yang serba susah ini dijaring oleh minat Rapid Agrarian Conflict Appraisal (RACA) Institute di Jakarta yang merintis ruang politik kaum petani Indonesia dengan mulai membangun kelompok kerja para petani. Targetnya tentu akan mencapai seluruh petani di Indonesia.

Di tingkat desa Pergulaan sendiri dibangun organ bernama Badan Perjuangan Masyarakat Pergulaan (BPMP). Yang paling nyata jadi kekuatan organ ini adalah hadirnya kekuatan 50 orang warga menjadi "Tim 50" yang tugas utamanya adalah inti konstituen warga tani desa itu karena di tangan merekalah ketulusan dan militansi dapat diharapkan. Masing-masing anggota tim menjaring kepastian dukungan dari 10 orang warga desa tersebut. Tugas jaringan yang paling menonjol adalah membangun solidaritas dan menangkis segala kemungkinan jalur informasi bocor. Counter-intelligence melawan musuh adalah jaringan dasar yang menjamin kekuatan paguyuban warga desa Pergulaan. "Menggunting musuh" adalah kewajiban moral yang imperatif dilakukan jika saatnya tiba.

Di samping kekuatan kelompok kerja warga desa, kepala desa sendiri menjadi pemuka organisasi perjuangan dalam upaya merebut kembali tanah itu. Kekuatan "institusional" ini tentu mempermudah jalinan solidaritas di antara warga desa.


Kekuatan atau Bahaya?

Dalam perkembangan proses perjuangan yang dilakukan, terutama setelah strategi mengurus "politik hukum" ditekuni, tampaknya kekuatan yang dirasakan oleh warga desa Pergulaan adalah bahwa hampir semua pejabat pemerintah lokal secara terbuka menyatakan dukungannya. Pernyataan itu terungkap dari pihak bupati Deli Serdang, pihak kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional, pihak gubernur Sumatera Utara, dan juga para wakil rakyat di DPRD Sumatera Utara. Kekuatan verbal secara tertulis pun sudah dinyatakan secara terbuka bahwa hak atas tanah 165,6 hektar itu ada di tangah warga masyarakat Pergulaan. Tapi kelanjutan pernyataan mereka tak kurang mengimplikasikan ancaman, jika bukan "bahaya". Para pejabat daerah itu mengakui hak tanah warga Pergulaan, tapi juga menyatakan mereka tak mampu mengambil keputusan .. Keputusan ada di tangan pemerintah pusat, dalam hal ini BPN Pusat di Jakarta, yang telah mengeluarkan perpanjangan HGU tahun 1997. Apakah warga Pergulaan hendak menunggu 30 tahun lagi sampai 2027 untuk ditipu lagi dan menanti 30 tahun berikutnya? Konflik struktural ini menampakkan kerumitan dan kemungkinan untuk setiap kali memperlemahkan kembali kekuatan dari bawah.

Apakah ini artinya? Warga Pergulaan diingatkan dengan segala jenis kolusi dan korupsi yang juga sudah biasa terjadi hampir di semua lini kehidupan publik di Indonesia. Bukankah masyarakat lokal, siapa pun mereka yang selayaknya mengurus kehidupan sosial dalam kebersamaan menuju kesejahteraan bersama? Sogok dari Lonsum sedang berbicara? Siapa lagi yang kemungkinan mendapatkan uang untuk inaction dan cukup "mengakui" saja? Apakah ini yang disebut dengan "pengakuan kosong"? Para pejabat daerah hanya dapat memberikan "rekomendasi" dan "bukan aksi". Tampaknya belum dapat diharapkan adanya "keberanian politik moral" yang lebih jauh dari mereka.

Kabar burung memberitakan bahwa para pejabat itu takut nanti akan digugat oleh Lonsum.. Ongkosnya buat mereka bisa tidak sedikit .. Konflik ini terasa begitu nyata bagi banyak pihak. Bagaimana mungkin BPN Pusat enak saja mengeluarkan perpanjangan HGU untuk Lonsum tahun 1997, sekalipun pejabat setarafnya di departemen dalam negeri sudah memperingatkan jauh-jauh sebelumnya tahun 1978: "... apabila perkebunan masih menginginkan tanah tersebut akan diusulkan pemberian hak guna usahanya jika telah ada penyelesaian terlebih dahulu dengan pihak penggarap yang dibuktikan dengan keterangan dari bupati (setempat) tentang telah diselesaikannya masalah tanah garapan tersebut." [buletin Hanura 2/2003:37] Sampai akhir Juni 2003 pihak BPN Pusat masih mengulur konflik dengan dalih melakukan kompromi óyang bisa jadi berbentuk korupsi dan kolusió dengan pihak perusahaan perkebunan itu.

Keputusan tindak lanjut tetap ada di tangan warga desa Pergulaan sendiri. Mereka akan memutuskan apa yang hendak dilakukan, seandainya pengakuan tertulis itu pun nanti akhirnya bisa keluar dari BPN Pusat sebagai kementerian agraria.


"Kesabaran"

Sangat ironis jika "kesabaran" tergolong sebagai kekuatan masyarakat Pergulaan. Tapi tampaknya inilah pilihan aktual warga desa itu. Sejak aksi reklaiming kelima September 2000 yang gagal, warga memutuskan untuk memulai jalan menggarap "politik hukum" pemerintah dan para kroninya. Sementara ini dukungan yang sangat minim tapi resmi dari para pejabat daerah dapat menjadi modal mendesak pemerintah pusat. Pengakuan pihak pemerintah pusat adalah sasaran utama warga desa pada saat yang genting ini. Maka desakan di bawah dalam bentuk aksi reklaiming tak dilakukan terlebih dahulu, sementara kekuatan dipusatkan pada desakan ke pusat masalah. Disadari bersama bahwa reklaiming pada saat genting dan penantian ini dapat menimbulkan hal-hal yang konter-produktif. Isu nasional yang sedang condong menggunakan argumen "anti-terorisme" juga tak dirasakan mendukung pembangunan momentum warga desa.

Suatu fakta non-case yang cukup mencolok yang patut jadi catatan pinggir adalah perbedaan sikap aparat keamanan polisi di Sumatera Utara terhadap warga desa Pergulaan dibandingkan dengan terhadap warga Porsea yang sedang kembali menghadapi kembalinya si perusak lingkungan PT Inti Indorayon Utama atau PT Toba Pulp Lestari. Pada kasus Indorayon aparat mengriminalkan warga Porsea, sedang pada kasus Pergulaan tak satu warga pun dikriminalkan, meskipun aksi bentrok sudah menelan mobil dan sepeda motor polisi.

Namun, pada saat yang sama penguatan warga terus dijalankan. Program menggalang dukungan dan solidaritas lewat iuran seribu rupiah sebulan sudah berjalan baik dalam organisasi warga desa yang berjuang, meskipun tentu bukan berarti apa-apa tapi sekaligus sangat bermakna bagi pertumbuhan dan perkembangan kesadaran bersama di antara para warga.***

1 comment:

Anonymous said...

Hi.

I am enquiring about the confrontation between the villagers of Pergulaan, Deli Serdang and Lonsum. I was forwarded some info from UK Friends of The Earth :

Apparentley as a leading oil palm company "PT London Sumatra", with backing from Cadbury's and Deutsche Bank, are currently intimidating a local community which is fighting for the return of their forest lands.

The villagers of Pergulaan have peacefully sought to regain 169 hectares of land which was stolen from them years ago to create an oil palm plantation.
In the last few months it is aledged that you have dug a massive ditch, 6 metres deep and 4 wide, around the village to cut off the protesting villagers.
The most recent reports are that you have sent in militias to violently silence the villagers.


I made a 'Lonsum' website http://londonsumatra.unveiled.info to expose it but I want to update it with images of the village etc.

I am hopeing someone can send me pictures and a location map of Pergulaan with any updates on their struggle:

Thanks

Roger Lovejoy

Contact me by bulletin board