Wednesday, June 01, 2005

Arah Dasar dalam Menyelesaikan Konflik (Sumber Daya Alam)

Tulisan berikut ini saya susun dan tulis kembali sebagai pendahuluan buku berjudul "Menyeimbangkan Kekuatan", yang diprakarsai oleh Ichsan Malik, Boedhi Wijardjo, Noer Fauzi dan Antoinette Royo, diterbitkan oleh Yayasan Kemala, Jakarta, 2003, h1-14. Gagasan dasar tulisan ini berasal dari pemikir hukum kritis Michael W. Reisman & Aaron M. Schreiber 1987 bertajuk "Jurisprudence: Understanding and Shaping Law, Cases, Reading, Commentary". Rujukan ini semula merupakan tawaran dari Antoinette Royo yang pernah mengikuti kuliah-kuliah kedua pengajar tersebut.
========================================================



PARA pihak yang terlibat dalam proses transformasi konflik kini sedang berusaha mencari dan menemukan prinsip-prinsip bagaimana rakyat dapat menentukan diri sendiri dan memilih langkah-langkah konkrit. Tampaknya, sekiranya hendak kita ibaratkan, mereka tengah melihat bintang petunjuk jalan di langit. Cukup jelas dapat dilihat, tapi bintang-bintang itu tak cukup jelas menerangi jalan dan jalur di mana kaki melangkah setapak demi setapak. Jika terlalu mendongak memandang bintang, dapat jadi kaki tersandung batu, atau terperosok ke dalam lubang yang tak terlihat. Meskipun ada bintang-bintang yang lain, cahaya yang telah tampak itu setidaknya adalah alternatif yang sifatnya sudah sangat jelas atau konstitutif dalam proses perjuangan mempertahankan hak-hak yang berkaitan dengan sumber-sumber daya alam. Konstitutif dalam arti mengandung unsur-unsur yang konstruktif, formatif tapi sekaligus hakiki. Konstitutif juga berarti bahwa cahaya itu tidak lagi abstrak dengan konsep-konsep tapi malah sedang membimbing tindakan yang nyata dan spesifik ke arah dan tujuan yang jelas, yaitu proses mengambil keputusan dan bertindak.

Karenanya, kalau dikatakan secara singkat, buku sumber ini bagaikan bintang petunjuk jalan, meskipun tentunya kita sadar ada alternatif yang lain. Cahaya bintang ini berupaya menawarkan pelajaran dari proses-proses bagaimana banyak pihak berupaya menyelesaikan berbagai konflik. Inilah salah satu alat pendukung untuk terus menguatkan para petani, nelayan, masyarakat adat dan rakyat pada umumnya. Mereka lebih sering kalah dalam perjuangan menyelesaikan sengketa dan konflik sumber daya alam. Tanggapan kita, sementara terus-menerus bertanya: Bagaimana cara menguatkan mereka secara efektif, efisien, jelas, dan mencapai tujuan, dan mencegah kecondongan jadi bertele-tele karena rumitnya permasalahan? Apa yang paling penting bagi para pihak dalam proses transformasi konflik yang mereka jalani agar proses itu berlangsung secara efektif? Apa syarat-syarat dasar yang harus dilatih agar mereka yang terlibat dalam proses perubahan sosial dan politik sampai pada tujuan pemulihan para korban? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang sebagian dicoba dijawab dalam buku "Menyeimbangkan Kekuatan" ini.

Pemenuhan cita-cita menyelesaikan berbagai konflik sumber daya alam yang merebak di berbagai lokasi di Indonesia kiranya masih jauh dari tercapai. Memang sudah ada yang pulih, sebagian kecil setidaknya, sejak pergeseran rejim 1998 di Indonesia ini, seperti mendapatkan hak-hak miliknya atas tanah. Tapi pemulihan itu masih sangat sedikit. Di antara yang pulih itu pun masih terancam oleh berbagai potensi bahaya yang mencemaskan. Keadaannya, masih tetap tak sebanding dan tak seimbang. Malah ada kecondongan semakin mengerasnya kemungkinan perubahan yang berorientasi semakin menekan ke bawah. Formasi establishment politik ekonomi semakin membeku.


RUANG lingkup buku sumber ini adalah proses fasilitasi. Dan, proses fasilitasi transformasi konflik yang tak bertele-tele, yang kita maksudkan di sini, tidak hanya concern pada acara dan agenda pelatihan demi pelatihan serta perangkat-perangkat yang dibutuhkan, tapi semestinya juga memrediksi dan mempengaruhi suatu kompleks dari para pihak berkonflik (bisa lembaga, bisa "berbentuk", bisa "tak berbentuk") yang berkaitan dengan pengambilan keputusan melangkah ke depan, baik yang formal, informal, terorganisasi, tak terorganisir, kelompok-kelompok dan individu-individu yang semuanya memiliki andil dan pengaruh terhadap para korban yang menjadi subjek dari keprihatinan dalam proses transformasi itu. Seluruh peristiwa ketersingkiran para korban itu tidaklah hanya sekedar kejadian kekerasan, aksi penggusuran, tindak penyingkiran yang dialami oleh para korban. Keputusan yang diambil oleh para perpetrators itu sendiri juga bukan sekedar seperti tampak dalam bentuk surat keputusan badan pertanahan nasional, izin kontrak karya, surat keputusan menteri, dan lain-lain, yang serba kotak, putih, dingin dan kaku. Hampir-hampir "tak berekspresi". Sementara itu, semua bentuk formal yang lebih sering kita tengarai sebagai perubahan itu dipengaruhi oleh berbagai faktor dan pihak-pihak lain, misalnya kepentingan para pengusaha atau tengkulak ke tangan-tangan sekelompok pemegang kuasa kekerasan koersif, atau bahkan koalisi sekutu hitam yang mereka lakukan dengan sipil bersenjata, atau segerombolan preman dan tukang pukul. Anda akan ditantang untuk menegaskan karakteristik hakiki dari kompleksitas itu. Dalam hal ini proses fasilitasi transformasi konflik yang sedang dikembangkan tak bisa tidak harus tidak bertele-tele, tapi juga tidak gegabah. Para korban itu sendiri sudah bagaikan tenggelam ke dalam arus deras perubahan yang tak dikehendakinya, masih lebih baik jika tampak mulutnya yang berteriak minta pertolongan. Kebisuan para korban pengelolaan ngawur terhadap sumber daya alam akan menantang para pelaksana proses fasilitasi agar tetap partisipatif, bukan hubungan guruómurid, tapi sungguh-sungguh jadi pendamping, bidan, penyapih yang memiliki kepekaan batin dan jiwa besar.

Fasilitasi transformasi konflik adalah proses pembentukan komunitas dan kelompok kerja yang tanggap terhadap fakta dan tantangan lapangan. Tugas fasilitasi ini adalah membuka kemungkinan-kemungkinan adanya peluang-peluang baru, atau lama tapi diperbarui, menjalin aliansi, menggandeng koalisi, menguatkan bobot pemahaman dan tindakan. Fasilitasi ini adalah proses sosial yang pertama-tama dibimbing oleh kehausan akan pemahaman duduk perkara konflik secara komprehensif, lalu fasilitasi juga menegaskan identifikasi siapa pemegang kekuatan yang akan menentukan nasib para korban, dan bagaimana kekuatan (dan juga kekuasaan) itu dapat digunakan secara efektif untuk pemihakan kepentingan rakyat. Karena fasilitasi yang sifatnya komprehensif itu pada dasarnya adalah menentukan proses mengambil keputusan, penentuan peluang, penegasan pilihan dapat dicapai, maka mereka yang terlibat dalam proses fasilitasi itu haruslah memusatkan perhatian pada mengidentifikasi langkah-langkah dasar dari proses mengambil keputusan itu sendiri ditentukan. Tentunya proses fasilitasi ini juga concern pada pemahaman unsur-unsur dasar dalam proses mengambil keputusan: membangun kesepakatan, menetapkan kata putus, mengakhiri perjanjian, dan seterusnya.

Ini ringkasan pokok peran sentral para pihak dan siapa pun yang terlibat dalam proses transformasi konflik: (1) Analisis masalah pokok yang dihadapi secara menyeluruh, menentukan konteks dengan kepastian keberpihakan pada keadilan untuk para korban, (2) Analisis terhadap cakupan yang lebih sempit, detil tapi relevan, yang berpengaruh terhadap: [a] lingkungan atau situasi di sekitar, [b] proses yang menjamin efektivitas kekuatan dan kekuasaan, [c] proses penentuan kesepakatan yang sifat lebih formal, [d] hasil dan capaian-capaian dari proses itu. Yang tercakup dalam "hasil" adalah bagaimana tingkat produktivitas dari pengambilan keputusan, bagaimana distribusi dari keputusan itu dirasakan oleh para pihak, terutama subjek dari fasilitasi, beban dan kelegaan yang dirasakan, atau "nilai-nilai" apa yang dikandung dalam proses mengambil keputusan itu, termasuk apa dampaknya terhadap lingkungan manusia dan lingkungan alam.

Fasilitasi pada dasarnya adalah seni memecahkan masalah, menyelesaikan konflik, melerai sengketa. Fungsi ini berada pada titik krusial menerjemahkan pengetahuan, nilai-nilai dan gagasan menjadi rencana yang sah (adil) dan memang sungguh dapat berfungsi baik, (relatif) cocok untuk semua pihak. Hanya jika fungsi ini dipenuhi, fasilitasi itu dapat dikatakan "bermanfaat", ada gunanya untuk masyarakat.

Seni menyelesaikan konflik ini bertugas menentukan bahwa apa yang diinginkan bersama memang sungguh jadi nyata terealisasi di lapangan. Seni ini menegaskan bahwa perubahan sosial yang diinginkan itu tidak akan jalan dengan sendirinya begitu saja, tapi haruslah ditentukan terlebih dahulu apa saja prasyaratnya, menjelaskan alternatif-alternatif yang lebih condong diinginkan bersama, metode-metodenya untuk mencapai tujuan itu dan tentu saja mengalkulasikan langkah-langkah yang harus diambil dalam mengimplementasikannya, terutama jika sudah bersentuhan langsung dengan kerumitan dan kompleksitas "kenyataan lapangan" yang keras dan penuh dengan tarik-ulur kepentingan.


BAYANGKAN jika Anda seorang tokoh masyarakat di pedesaan Aceh, yang membawahi sekian puluh ribu massa petani dan buruh tani yang semuanya berteriak tak punya tanah dan dihambat jaringan tengkulak, diserang oleh politik revolusi hijau, pembangunanisme dan ancaman kekerasan militer. Budaya di lingkungan Anda adalah patronase, korupsi, cari untung sendiri. Setelah perang anti-separatis, katanya, pemerintah pusat menetapkan untuk memaksakan rejim kekuasaan lokal yang baru. Cirinya militeristik, kaku, ikut perintah atasan. Negeri ini, termasuk desa Anda, diubah jadi negeri polisi. Setiap hari Anda diinteli. Tapi anehnya, semuanya berjalan dengan teratur, semua didasarkan pada hukum yang jelas dan kepastian yang tinggi. Syariat Islam ditegaskan ulang untuk melegitimasikan rejim itu. Kekerasan yang dilakukan oleh penguasa rejim juga dipaterikan dengan hukum yang disahkan.

Anda sendiri memiliki komitmen yang kuat terhadap demokrasi, hukum dan martabat manusia. Anda terkenal karena visi dan pemikiran Anda sebagai tokoh masyarakat dipandang jernih, memiliki reputasi nomor wahid sebagai tokoh berwibawa dan berprikemanusiaan. Rejim penguasa tertarik pada peran Anda. Lewat jalur kementerian dalam negeri, komando tentara lokal dan dinas sosial politik, Anda tidak disingkirkan dan tidak dipandang sebagai separatis. Rejim membutuhkan Anda dan reputasi Anda, untuk ikut mendukung rejim (menceriterakan kebaikan rejim) baik di antara warga desa dan provinsi Aceh serta Indonesia umumnya, tapi juga luar negeri. Anda sendiri sangat sadar bahwa Anda dimanfaatkan dan nanti pasti juga akan ditendang dan disingkirkan jika rejim itu sudah tak butuh Anda lagi. Tentu Anda juga khawatir dengan keamanan diri Anda, seperti juga banyak orang lain di Aceh. Tapi, justru karena komitmen Anda pada kemanusiaan, hukum dan kebenaran sangat mendalam, Anda jadi bingung dan timbul konflik batin yang mendalam pula.

Ada beberapa alternatif yang tersedia dan Anda harus memilih salah satu: (1) Menerima kenyataan bahwa kekuasaan militer itu memang brutal dan menyesuaikan diri dengan kebrutalan itu agar dapat selamat baik diri sendiri maupun warga desa Anda; (2) Mundur ke desa, bersembunyi entah di mana, menunggu terjadinya perubahan; (3) Melanjutkan jadi tokoh masyarakat secara terbuka tapi berperilaku baik dan bersikap ëlow profileí demi keselamatan, tapi terus berusaha mengritik rejim militer dan korupsi; (4) Pergi ke pengasingan di luar negeri dan berjuang melawan rejim itu dari sana; (5) Mengguyur diri dengan bensin dan membakar diri di depan istana negara di Jakarta; (6) Ikut para gerilyawan di gunung-gunung.

Ada beberapa alternatif, tapi jika Anda tersudut hanya dapat mengambil satu pilihan atau masuk dalam keadaan terpaksa harus menjawab ya dan tidak yang sifatnya eksklusif, situasi ini sangatlah merepotkan, bagaikan buah simalakama. Padahal, pilihan-pilihan jawaban yang ada sifatnya juga sangat hipotetis, ada banyak pengandaian di belakangnya. Pilihan-pilihan jawaban itu didasari oleh latar belakang pemikiran tertentu tentang tujuan hidup dalam masyarakat dan model pengambilan keputusan yang dilakukan serta cara-cara yang ditempuh untuk mencapai tujuan itu. Latar belakang ini mempengaruhi analisis, cara mengidentifikasi masalah dan konflik yang ada, serta bagaimana memecahkan konflik-konflik itu.

Setelah menguak kembali berbagai masalah etika hidup sepanjang zaman, buku "Menyeimbangkan Kekuatan" menghadirkan latar belakang pemikiran dan sikap-sikap dasar manusia sepanjang sejarah sehubungan dengan pilihan-pilihan yang mereka ambil. Setelah menegaskan prioritas yang akan harus diambil, setelah mempertimbangkan semua pendapat dan sikap yang ada di sekitar Anda ódi mana rakyat selalu kalah dalam pertandingan, persaingan dan konflik yang tak seimbangó dan dalam sejarah manusia, Anda akan siap masuk ke dalam aras dan poros yang sangat jelas: supremasi hak-hak asasi manusia, atau keadilan dalam perjalanan pemikiran manusia. Dilema-dilema terus akan Anda hadapi sepanjang penjelasan bacaan buku sumber ini, tapi dalam intensitas yang semakin menyempit pada aras konsep, semakin membesar pada poros menemukan titik temu dan jalan keluar dari konflik.

Tema besar yang melatarbelakangi seluruh buku ini tidaklah hanya sekedar latihan berpikir tentang konsep-konsep abstrak, refleksi berbagai pengalaman yang tak terjangkau atau tak terbayangkan karena keterlibatan yang mendalam para pihak dalam transformasi sosial itu sendiri, tapi buku ini juga memancing Anda untuk mencari dan menemukan pilihan-pilihan yang barangkali bisa jadi tidak ringan tanggungannya, baik untuk masyarakat secara umum atau pun untuk subjek fasilitasi yang Anda lakukan. Pengalaman lapangan sendiri akan bicara pada Anda. Kesadaran tentang penyelesaian konflik pada dasarnya adalah tantangan untuk bertindak. Jika tidak bertindak, Anda hanya akan jadi pakar, bukan para pihak-peserta subjek pelaku perubahan yang terlibat di dalamnya.

Namun, sebelumnya Anda ditantang untuk terlebih dahulu memahami konflik secara mendasar dalam kaitan dengan sumber daya alam dan seluruh latar belakang konsep eksploitasi politik ekonomi di belakangnya. Kemudian Anda akan dibawa lebih jauh masuk ke dalam persoalan-persoalan mendasar di balik kekacauan dan kehancuran karena pengelolaan sepihak atas sumber daya alam di Indonesia (sebagai bagian dari politik dunia). Akhirnya hal-hal yang mengarah pada tindakan menyelesaikan konflik kembali akan menantang Anda untuk mengambil keputusan untuk menentukan bentuk dan model fasilitasi yang selayaknya dilakukan, baik dalam kegiatan advokasi langsung maupun dalam bentuk perundingan (negosiasi) atau mediasi. Relung dan pernik yang melatarbelakangi preferensi "menyeimbangkan kekuatan" dari bawah ini dapat mempengaruhi cara Anda menyelesaikan konflik, mengambil keputusan, dan tentunya juga apakah dampaknya pada cara kita menyelesaikan masalah memang ada manfaatnya untuk masyarakat dan rakyat yang jadi subjek fasilitasi secara luas itu sendiri. "Menyeimbangkan Kekuatan" menawarkan bahan-bahan dasar yang menjabarkan berbagai permasalahan etis ódan karenanya sekaligus praktis dalam hidup warga masyarakat, dan karenanya juga mengantisipasi kemungkinan cara kita bersikap dan menangani konflik dan sengketa sumber daya alam. Inilah alasan dasar dari proses yang kita jalani ini: mencoba membangkitkan inisiatif Anda dari bawah untuk menyelesaikan sendiri konflik-konflik yang terjadi.

Preferensi "menyeimbangkan kekuatan" tidak begitu saja didapatkan oleh para penulis dan pengarah buku sumber ini. Dalam suatu masyarakat demokratis, setiap orang diandaikan ikut serta berpartisipasi dalam mengambil keputusan. Para pihak ditantang untuk memberikan sumbangan dalam mencari penyelesaian dan titik temu atas berbagai konflik dan sengketa dalam masyarakat: kepentingan-kepentingan bersama apakah yang terus harus ditemukan dan diyakinkan bersama. Tak sedikit pula godaan untuk mereka yang mulai belajar memiliki banyak pengaruh, banyak konstituen. Di tengah godaan itu, para pegiat masih pula ditantang untuk membangkitkan, menghimpun dan menularkan kekuatan dalam bentuk ketrampilan yang dilatih dan kepribadian yang ditempa. Tapi pelajaran dari semua pengalaman ini sangatlah relevan untuk kesehatan dan ketahanan serta kekuatan tubuh sosial politik dan ekonomi masyarakat kita.

Sebagai pihak-pihak yang terlibat dalam proses transformasi konflik Anda semuanya menjadi pusat, subjek tapi juga objek dari proses tersebut. Cara Anda memandang diri sendiri dan proses-proses dalam kelompok subjek fasilitasi dan perangkat-perangkat pikiran yang Anda butuhkan untuk mendesakkan perubahan sosial secara bersama-sama akan diuji apakah sungguh-sungguh jadi efektif. Mungkin agak kurang biasa jika kita menganggap bahwa pemikiran atau gagasan adalah "perangkat kerja"; begitu pula dengan konsep atau metode untuk memusatkan perhatian Anda pada masalah yang dihadapi, proses pengumpulan informasi dan data, lalu mengolahnya untuk kemudian memecahkannya. Namun sarana inilah yang kita ciptakan untuk memenuhi kebutuhan kita dalam menganalisis dan bertindak menjalankan tugas.

Berikut ini akan diketengahkan empat sarana yang dibutuhkan untuk menegaskan pilihan-pilihan dalam mengambil keputusan yang berguna sepanjang proses fasilitasi, proses advokasi dan proses pendampingan dalam transformasi konflik. Pertama, titik pandang kritis pada diri sendiri. Sarana ini dibutuhkan agar kinerja transformasi sosial itu jadi lebih efektif. Sarana ini sifatnya subsidier tapi kiranya justru mendorong agar sarana operasional utama menjadi lebih efisien. Kedua, cara pandang kita terhadap komunitas atau kelompok masyarakat yang kita fasilitasi; di sini digunakan beberapa "kacamata" yang dirancang agar jadi lebih tajam mengarah pada salah satu aspek dari sasaran (target) dan menguranginya ketika dibutuhkan, menyaring atau menekan aspek-aspek lain. Ketiga, proses-proses yang kita coba pengaruhi dan kemudian proses-proses itu juga mempengaruhi diri kita sendiri dan para pengambil keputusan yang lain. Keempat, adalah teknik-teknik nyata dalam mengambil keputusan.


Titik Pandang Kritis

Dalam berbagai hal yang melibatkan proses fasilitasi dan tindakan intervensinya untuk mempengaruhi proses-proses sosial, alat yang paling ampuh dalam melakukan keterlibatan dan menentukan pilihan adalah diri kita sendiri, cara berpikir kita, yang mempengaruhi pemahaman kita dan cara pandang kita terhadap pilihan-pilihan yang kita ambil.

Ada dua pokok mengapa titik pandang kritis ini diperlukan. Pertama adalah kebutuhan untuk mengambil jarak. Anda adalah bagian dari proses fasilitasi yang sedang dijalankan tapi sekaligus Anda juga bukan sepenuhnya berada di sana atau bahkan termasuk mentah-mentah di sana. Preferensinya tentu berada pada tingkat cara kita berpikir, ada dalam benak kita, dan bukan menarik diri secara fisik. Dengan "menarik diri", Anda memiliki peluang untuk memahami diri Anda sendiri secara lain, secara berbeda. Kedua, kebutuhan memandang diri Anda sendiri sebagai pendukung proses fasilitasi dan keterlibatan itu, sekaligus juga jika menentukan pilihan-pilihan. Semua orang menjadi sasaran untuk dipengaruhi, termasuk fasilitator transformasi itu sendiri, ódipengaruhi oleh situasi dan kondisi, yang akhirnya menentukan cara pandang kita dan cara kita mengambil pilihan tindakan, juga sangat mungkin mendistorsi tindakan yang kita ambil.

Ada tiga hal yang dapat mendistorsi tindakan kita. Pertama, kecondongan emosi yang dapat berpengaruh pada tindakan kita; semua orang memiliki kecondongan ini; kedua, kecondongan kita jadi sempit karena latar belakang budaya dalam kelompok, bangsa, dan sistem bahasa; ketiga, distorsi yang timbul karena keterlibatan yang intens dalam suatu unsur kelembagaan tertentu; misalnya: mereka yang lama dididik sebagai psikolog tentu akan memandang persoalan dari sudut pandang pendidikannya.

Karena adanya kecondongan-kecondongan distorsi ini, setiap peserta pihak dan pengambil keputusan hendaklah mengembangkan cara-cara dan metode untuk menguji dirinya sendiri, mengaca diri sejauh mana emosinya mempengaruhi tindakan, apakah memiliki kecondongan parokial "kedaerahan", apakah bias lembaga pendidikan atau tempatnya bekerja. Anda dapat mencari sendiri bentuk-bentuk yang cocok; ada banyak cara dan teknik yang dapat dikembangkan untuk terus-menerus menjamin terselenggaranya "titik pandang kritis" ini.


Fokus

Kacamata jenis apa saja yang diperlukan bagi mereka yang terlibat dalam proses transformasi untuk memulai upaya transformasi konflik "Menyeimbangkan Kekuatan" dan dalam mengambil keputusan? Pertama-tama, kacamata itu haruslah komprehensif untuk menganalisis konflik dengan makroskop daripada mikroskop. Jika orang menganalisis konflik, sering komentar dilontarkan: "Ini konflik karena kerakusan pengusaha dan pemerintah." atau "Ini konflik etnis." atau "Ini konflik karena senjang ekonomi." dsb. Komentar itu sering begitu saja kita anggap benar. Tapi sesungguhnya kenyataan konflik itu tak sekaku seperti komentar-komentar itu. Batas-batas, mana bidang ekonomi, mana lingkup etnis, atau politik, batas provinsi, ini wilayah pedesaan, ini konflik perkotaan, dan sebagainya, sebenarnya tak menggambarkan keadaan yang sesungguhnya dalam kenyataan. Penekanan yang dilakukan secara eksplisit dalam memandang masalah konflik secara komprehensif akan membuat para pihak yakin bahwa diri mereka masing-masing sungguh telah berpijak pada suatu lingkup keseluruhan di hadapan suatu masalah tertentu yang sifatnya spesifik. Di samping itu, kita harus menerima bahwa sumber-sumber daya yang dimiliki oleh masing-masing pihak dan mereka yang diserahi mengambil keputusan pada dasarnya terbatas. Oleh karena itu kebutuhan untuk memandang konflik dengan kacamata komprehensif haruslah diimbangi dengan sikap selektif dan kalkulasi sumber daya yang selayaknya.

Konsep dan teori memang diperlukan untuk menentukan fokus perhatian kita. Kita membutuhkan teori, baik secara eksplisit atau pun implisit, ketika menarik kesimpulan: apakah ciri-ciri, variabel dan jenis hubungan tertentu memang perlu dikaji dan diuji atau sebaliknya tak perlu sama sekali. Lagi pula teori atau kerangka pemahaman itu hendaknya bersifat realistis. Yang menghasilkan pola-pola keputusan yang sifatnya mantap dan tetap biasanya justru kerangka (teori) yang muncul dari bawah di antara masyarakat sendiri. Yang dari bawah inilah biasanya mencetuskan sesuatu yang lebih tahan uji. Karenanya model ini akan menantang para peserta-pihak dan para pengambil keputusan itu sendiri, sementara mereka berupaya mempengaruhi kelompok masyarakat yang dilayani.

Dalam menentukan fokus fasilitasi ini, prasyarat untuk tidak hanya mempertimbangkan hal-hal yang sifatnya subjektif haruslah diberi tempat. Kita tak bisa hanya melihat sebelah mata pada apa yang dikatakan orang tapi juga apa yang sesungguhnya mereka lakukan. Perlu keseimbangan antara penekanan pada perspektif (apa yang dikatakan dan yang dipikirkan) dan operasi pelaksanaan (apa yang dilakukan di lapangan). Berkaitan dengan hal ini, diperlukan pertimbangan yang mendasar sehubungan dengan, di satu pihak, apa yang dianggap benar oleh masyarakat óinilah ruang lingkup target dari kesadaran masyarakat konvensionaló dan, di lain pihak, apa yang sebenarnya hendak dilakukan. Di sini dibutuhkan keseimbangan antara pentingnya menekankan wewenang (yaitu apa yang dianggap benar oleh masyarakat) dan kontrol (terhadap apa yang hendak dilakukan).

Dalam hal ini kita lebih membutuhkan konsep-konsep baru yang sifatnya dinamis dan berorientasi pada proses, dan bukan "ketentuan-ketentuan hukum" (konstitusi) yang sifatnya kaku, tapi pengutamaan pada proses yang "menentu" (konstitutif). Dalam kenyataan, yang justru membuat suatu lembaga (bukan harus berupa kantor) mampu bertahan dan berkembang dasar-dasarnya bukanlah ketentuan-ketentuan yang dihasilkan oleh lembaga itu. "Ketentuan" mengindikasikan adanya dokumen-dokumen yang sifatnya pasti tentang bagaimana suatu keputusan berfungsi atau bagaimana keputusan tertentu sebenarnya diharapkan. Padahal dokumen-dokumen itu tak melukiskan dimensi-dimensi nafas hidup lembaga itu secara persis dan representatif. Di sini kita membutuhkan suatu kacamata yang fokusnya mengarah pada proses-proses yang sifatnya "menentu", yaitu proses mengambil keputusan yang terus berjalan dan berlangsung. Di situlah wewenang dan kontrol ditetapkan dan disepakati bersama. Dalam proses itu akan tampak bagaimana hal-hal mendasar dari pihak-pihak yang bertikai atau subjek fasilitasi transformasi konflik tetap bertahan dan berkembang.

Perlu dicatat pula munculnya suatu kontras antara ruang privat, ruang komunitas, ruang publik dan ruang negara dalam masyarakat kita. Ke mana fokus fasilitasi diarahkan? Di Indonesia negara telah jauh campur tangan ke ruang-ruang komunitas (adat), ruang publik sipil, bahkan ruang pribadi masyarakat. Jika fokus kita tetap mendua antara negara dan sisanya, maka tak jelaslah preferensi kita pada proses perubahan sosial menuju perbaikan dan kemajuan. Di sini fokus kita terarah pada penguatan masyarakat, penyeimbangan kekuatan. Sebab, kehancuran sistem-sistem komunitas telah membuat mekanisme-mekanisme komunitas itu tak berdaya memulihkan dirinya sendiri. Ruang sipil dan ruang komunitas haruslah dijamin dalam fokus fasilitasi ini.


Mengelola Wewenang dan Kontrol

"Advokasi langsung" sangatlah dibutuhkan dalam konteks kondisi ketidakseimbangan di antara pihak-pihak yang berkonflik, di mana rakyat umumnya kalah karena lemah. Objek dari pilihan dan keputusan sosial dalam fasilitasi mengarah kepada advokasi langsung menentang penindasan dan represi yang terus terjadi. Namun represi yang tak juga berhenti itu sudah merembet lebih jauh dan mengacaubalaukan masyarakat dan rakyat sebagai pihak yang kalah. Akibatnya, pekerjaan para pegiat advokasi tak mencukupi tanpa melengkapi diri dengan penegasan penguatan ke dalam komunitas yang dilayani, dan pada saat yang sama proses penguatan itu pun harus berorientasi ke luar.

Dalam hal mengelola wewenang dan kontrol, tidaklah cukup hanya mengidentifikasi proses-proses represi yang terjadi menindas rakyat dan kemudian menentukan sasaran tindakan advokasi dengan menekan balik dalam memastikan perubahan-perubahan sosial yang ditargetkan. Di sini diperlukan pula "analisis fase" yang jelas. Harus ditetapkan siapa aktor-aktor yang terlibat dalam konflik (para peserta proses transformasi), bagaimana masing-masing pihak ambil posisi, apa harapan mereka masing-masing baik pada masa lalu maupun ke depan, apa tuntutan-tuntutan mereka (perspektif), bagaimana posisi interaksi konflik di antara para pihak, faktor-faktor dan sumber-sumber daya apa saja yang dipakai dalam interaksi konflik untuk mencapai hasil tertentu yang mereka sasar (basis kekuatan dan kekuasaan mereka), bagaimana sumber-sumber daya itu dimanipulasikan baik secara paksa dengan kekerasan atau pun secara persuasif, bagaimana strateginya apakah diarahkan kepada pribadi-pribadi tertentu atau kelompok masyarakat atau cakupan sosial yang lebih luas lagi, dan akhirnya apa dampak-dampaknya. Berdasarkan "analisis kebutuhan" (needs assessment), deskripsi dan penentuan dampak konflik ini perlu pula dipertajam spesifikasinya agar dapat ditentukan ruang lingkup proses perubahan sosial dan perubahan nilai-nilai yang terjadi. Kalau perlu, pada perubahan nilai-nilai sosial itu, analisis dipertajam lagi agar jadi relevan berdasarkan aspek-aspek ini: kekuasaan, harta-kekayaan, akses informasi, kemampuan dan ketrampilan (teknologi), kesejahteraan, nafkah batin, harga diri, gengsi sosial, dll. Analisis fase dan analisis kebutuhan ini dapat membantu para pengambil keputusan untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku para pihak dan akhirnya memanfaatkannya untuk mencapai perubahan sosial yang ditargetkan bersama.


Apa yang Harus Dilakukan: Basis Kegiatan Mengambil Keputusan

Menghadapi berbagai kelemahan rakyat yang pada umumnya membuat mereka selalu kalah dalam memperjuangkan hak-hak mereka, siapa pun yang terlibat dalam proses transformasi sosial menuju situasi yang lebih baik tidak bisa lagi hanya mengambil keputusan bertindak jika sedang ada masalah atau terjepit atau ada kasus saja, alias sambil lalu secara intuitif mengambil keputusan. Menghadapi keadaan semacam itu secara komprehensif, prosedur mengambil keputusan tidak bisa hanya sekedar menerapkan proses jangka pendek dan mengikutsertakan beberapa gelintir orang saja, tapi haruslah menempatkan proses fasilitasi dalam kesinambungan yang terus-menerus yang dapat dievaluasi dan diuji objektivitas kegunaannya. Detik-detik pengambilan keputusan bisa mendebarkan jantung para pihak, tapi juga dapat dideskripsikan dan diterapkan secara sistematis dan dalam ketenangan serta kemantapan, tanpa menimbulkan kehebohan.
Beberapa pokok berikut ini dapat menjadi bermanfaat sebagai bagian inti dari dimensi intelektual pengambilan keputusan, yakni:

a. Tujuan harus jelas!
Perlu dipertimbangkan apakah ada kesenjangan yang terlalu lebar antara keinginan dalam proses fasilitasi kita jalankan dan kemampuan yang ada? Antara apa yang disukai dan kemampuan kita dan kelompok dalam memrediksi tercapainya suatu tujuan yang ditentukan bersama? Apa saja masalah-masalah yang terkait dengan tujuan yang hendak dicapai bersama?

b. Belajar dari sejarah!
Mengingat tujuan yang hendak dicapai, belajar dari mereka yang berada pada garis perjuangan yang sama sangatlah penting. Siapa saja musuh-musuh dan para pesaing yang ada di sekitar? Dengan siapa aliansi dan koalisi dapat dibangun dan dijalin? Strategi apa yang cocok diterapkan? Hambatan-hambatan apa yang dapat diperkirakan akan menghadang upaya transformasi yang dilakukan? Sumber-sumber daya apa saja yang mungkin dimiliki? Teknik-teknik apa yang dapat dipelajari dan dikembangkan? Mungkinkah belajar dari keberhasilan dan kegagalan di masa lalu? (trend analysis)

c. Analisis faktor
Sejarah tak perlu berulang, kecuali dalam situasi yang sama dicapai suatu hasil yang (minimal) memang baik. Malah kalau bisa tentu opsi pilihan yang lebih baik yang harus ditetapkan dan dipastikan untuk masa depan yang diprogramkan bersama. Namun kondisi sering berubah, bisa perubahan total, atau bisa jadi hanya perubahan parsial. Belajar dari masa lalu pada aspek faktor-faktor yang berperan dalam seluruh proses transformasi dapat membantu menentukan opsi dan strategi di masa depan, tapi perlu ditegaskan sebelumnya perbedaan konteks keadaan di masa lalu dan masa yang akan datang.

d. Melakukan prediksi
Inilah salah satu tugas yang paling sulit mengingat tingginya tingkat represi dalam konteks sosial, politik dan ekonomi di Indonesia. Melakukan prediksi pada tingkat detil-detil perubahan pada ruang lingkup yang lebih sempit kiranya sangat dibutuhkan dewasa ini. Memang jarang ada nabi yang muncul di dunia modern ini, namun suatu proyeksi ke depan dengan mengetengahkan gambaran (sekalipun khayal atau kiasan) akan sangat berguna dalam proses komunikasi penguatan kelompok. Gambaran ini haruslah diintegrasikan ke dalam proses pengambilan keputusan untuk transformasi sosial yang diperjuangkan.

e. Menemukan atau menentukan alternatif
Jika rakyat yang berada pada posisi tertindas atau berada dalam konflik entah sifatnya vertikal atau horizontal sudah melakukan semua opsi dalam proses transformasi yang sejauh itu mampu dibayangkan dan dikembangkan tapi toh tetap tak menghasilkan perubahan apa pun yang ditargetkan, inilah saatnya para pihak, para pemuka di antaranya, ditantang secara jujur untuk menawarkan alternatif-alternatif. Dari para pihak yang terlibat dalam proses ini diharapkan munculnya cetusan-cetusan alternatif yang cerdas dalam strategi perjuangan. Inilah raison díËtre eksistensi dari proses transformasi konflik.

f. Jangan Lupa Tersenyum!
Nelson Mandela di Afrika Selatan, Dalai Lama di Nepal, atau pegiat perdamaian Adam Curle adalah orang-orang yang dilahirkan dengan "instink tersenyum". Thich Nhat Hanh seorang biksu, penyair tapi juga pegiat perdamaian dari Vietnam, tidak hanya tersenyum dengan "menentramkan hati" ketika konflik sedang melanda, tapi ia juga menegaskan praktik "tersenyum" sebagai metode transformasi konflik berakar dalam pengalaman kebijaksanaan tradisional. "Jika [hati] kita damai, jika kita bahagia, kita dapat tersenyum dan berseri-seri seperti bunga mekar, dan setiap orang di sekitar kita, dalam masyarakat kita mendapatkan rasa keberuntungan dari rasa damai dalam hati kita.î [Nhat Hanh 1987] Gagasan "tersenyum" sebagai pendekatan menyelesaikan konflik ini didasarkan pada keyakinan (teori) bahwa kita berasal dari sumber yang sama dan unsur-unsur dalam sumber yang sama itu saling tergantung satu sama lain (interdependent co-origination). Inilah bagian dari praktik "keprihatinan kita yang sungguh terlibat dalam masyarakat dan rakyat seumumnya". Keprihatinan ini mengingatkan kita bahwa para pihak dalam transformasi konflik juga harus ber tanggung jawab pada transformasi masing-masing dirinya sendiri bersamaan dengan proses transformasi yang dijalaninya. [Miall 2001]

Namun, tetap ada suatu pertanyaan yang mengganjal dalam hati kita. Kekalahan-kekalahan rakyat dalam menyelesaikan konflik berhadapan dengan negara, pengusaha dan sekutunya, belum tercerahkan juga bagaimana mengatasinya, kecuali mengujarkan bahwa diperlukan upaya-upaya menyeimbangkan. Memang, akhirnya semua ada di tangan kita sendiri. Namun, jika kita bertanya, dengan ujaran yang sedikit lebih tajam: Apakah ada kunci suksesnya dalam jangka relatif dekat ini? Berbagai jawaban muncul jika kita tanyakan kepada mereka yang bergulat langsung di lapangan. Beberapa alinea akhir ini mencoba menyarikan suatu alternatif jawaban mereka.

Kepada para pendamping dan mereka yang terlibat dalam usaha penyelesaian konflik, pada dasarnya rakyat berharap menjadi partner, tidak ingin ditunggangi, dipakai, dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingan rakyat. Rakyat ingin "dimudahkan" dalam usaha-usaha mereka menemukan jalan keluar. Itulah hakikat makna kata dari bahasa Latin "facil" yang kemudian kita pinjam untuk menyebut semua upaya penyelesaian konflik sebagai "fasilitator" atau "fasilitasi", pribadi-pribadi atau proses-proses yang diharapkan "memudahkan" hal-hal yang sulit, rumit dan penuh pertentangan.

Sementara dari cakupan makro, yakni ruang sosial, politik dan ekonomi, kunci sukses perjuangan rakyat pada dasarnya adalah terselenggaranya "wadah" (organisasi) dan tumbuhnya semangat dan kemauan untuk menghidupkannya. "Semangat" ini adalah basis kesadaran rakyat dan perjuangannya. Dalam semangat dan perwujudannya itu haruslah ada kekuatan untuk mempertahankan diri dengan memangkas setiap kecondongan membelokkan perjuangan menjadi lebih mengutamakan kepentingan individu, yang menyebabkan perjuangan menjadi terpecah-belah dan tak kuat. Kebersamaan yang sifatnya "kolektif" adalah unsur hakiki eksistensi organisasi. Semangat perjuangan itu berpusat pada rakyat itu sendiri sebagai manusia yang menjadi pusat keprihatinan. Kata lainnya yang dapat ditawarkan di sini: "ideologi petani-isme", "ideologi indijenusisme" (masyarakat adat), "ideologi rakyatisme", dll. Dari semangat ini dituangkan suatu perwujudan perjuangan panjang dalam mencapai "kemandirian politik dan logistik". Ruang politik ini akan dicapai jika integritas rakyat jadi utuh sehingga sanggup menjamin dirinya sendiri. Dalam aspek hukum dan budaya, kemandirian ini haruslah diwujudkan dalam proses pertumbuhan yang dijamin oleh mekanisme penentuan kesepakatan bersama. Rakyat yang mandiri adalah rakyat yang "kritis sekaligus sejahtera", seimbang antara eksistensi dirinya sebagai manusia dan alam di mana ia hidup.

Namun, pada masa sebelum Soeharto lËngsËr, organisasi-organisasi rakyat, termasuk yang berbasis sumber daya alam, barulah sekedar menjadi "kelompok-kelompok penekan" rejim otoriter. Kini perjuangan itu sudah akan harus berwujud suatu "gerakan politik rakyat" yang dijamin oleh organisasi yang mandiri. Salah satu unsur penyatu dan pengadanya adalah bahwa gerakan ini tidak bisa lagi hanya jadi semacam "gerakan moral", tapi sudah akan harus mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik. Di satu sisi, masih terus akan ada perdebatan tentang sarana-sarana mana yang lebih sesuai dengan ciri-ciri masing-masing kelompok rakyat yang berjuang, namun dalam kaitan dengan sumber daya alam suatu "sistem pengamanan hak milik" (tanah atau dalam bentuk yang lain; lokasi penangkapan ikan untuk nelayan, misalnya) adalah tak terelakkan, apa pun bentuknya. Di sini lain, sekarang sudah tak sedikit rakyat yang berbasis hidup pada sumber daya alam ini telah mampu melakukan desakan-desakan dan lobbies sendiri tanpa dikawal oleh pegiat dan pendorong gerakan moral. Mereka juga telah sedikit demi sedikit menambah kemampuan teknis yang dipelajari dan dikembangkan karena kebutuhan mendesak. Tapi cakupan unit perjuangan itu masih sempit dan terpisah-pisah karena umumnya lebih dominan di tingkat daerah dan sporadis di sana-sini. Sementara itu, ketidakjelasan dan kongkalikong secara halus di antara rejim di tingkat pusat dan daerah masih tetap sangat merugikan nasib rakyat sendiri. Tanpa suatu organisasi yang kuat, cita-cita ini tetap akan tinggal dalam pikiran saja, ketika peluang yang kita lihat sampai titik ini tak juga menjadi mobilizing points untuk maju selangkah lagi. Sampai pada tahap kesadaran ini, ruang politik yang lebih leluasa untuk rakyat bagaimana pun menjadi kebutuhan yang dirasa mendesak.***

Tuesday, May 31, 2005

Bahaya atau Peluang? Konflik Masyarakat Desa Pergulaan versus PT London Sumatra Tbk

Catatan: Tulisan berikut ini telah diterbitkan dalam buku sumber karya Ichsan Malik, Boedhi Wijardjo, Noer Fauzi dan Antoinette Royo, berjudul “Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam”, diterbitkan oleh Yayasan Kemala, Jakarta, 2003. Saya berterimakasih kepada beberapa petani dari desa Pergulaan, Sumatra Utara; RACA Institute di Jakarta; dan Antoinette Royo yang telah memberikan banyak masukan.
============================================


Analisis kasus konflik tanah di sebuah desa di Sumatra Utara ini memusatkan perhatian pada pertanyaan-pertanyaan: Siapa para pihak yang bertikai? Siapa pihak-pihak lain sekalipun tak langsung tampak? Apa sumber-sumber konflik itu? Sejauh mana para pihak memandang konflik yang dihadapi sebagai bahaya atau peluang, secara khusus dipusatkan pada para warga petani sendiri. Bagaimana relativitas dari bahaya dan atau peluang yang dihadapi? Di manakah kekuatan dan kelemahan darip para pihak yang terlibat? Peluang apakah yang diambil oleh para pihak? Pertanyaan-pertanyaan ini penting diketengahkan untuk menguji tingkat dari konflik tanah dan usaha-usaha penyelesaian yang sejauh ini telah dilakukan oleh para pihak berkonflik tersebut.


Akar Masalah dan Para Pihak dalam Konflik

Pihak-pihak yang bersengketa adalah masyarakat desa Pergulaan, kecamatan Sei Rampah, kabupaten Deli Serdang, kira-kira 80 kilometer ke arah tenggara dari kota Medan (arah ke kota Pakanbaru dari Medan), Sumatera Utara (Sumut), berselisih klaim pemilikan tanah seluas lebih dari 165,6 hektar dengan perusahaan perkebunan PT London Sumatera Tbk (seterusnya Lonsum). Sampai sekarang perusahaan ini telah menguasai sejumlah tanah mendekati 4.000 hektar tanah perkebunan, dengan status HGU dari pemerintah. Namun dalam perjalanan waktu tampaknya keluasan itu dirasa belum cukup sehingga tanah rakyat yang berada di ujung tenggara perkebunan juga dicaplok oleh perusahaan kelapa sawit itu.

Dengan berbagai cara intimidasi dan kekerasan sepanjang tahun 1974, lahan 165,6 hektar itu dihaki oleh Lonsum. Sejumlah 517 kepala keluarga digusur. Sejumlah 54 rumah permanen hunian warga dihancurkan. Ganti rugi dipaksakan. Tanah itu kemudian ditanami dengan kakao dan kelapa sawit seperti tanaman bisnis lain yang dikomoditikan oleh perusahaan tersebut. Sepanjang 1974 sampai setelah reformasi 1998 penduduk tak bisa apa-apa. Kalau ada upaya merebut kembali tanah itu, segala macam cara menghambat diancamkan kepada penduduk, mulai dari mempekaíikan sampai melakukan kekerasan terhadap penduduk. Salah satu korban yang tragis adalah almarhum Pak Kasiat yang dianiaya dengan setrum listrik. Ia cacat sampai meninggalnya 1999. Tak ada pemulihan apa pun untuknya.

Izin HGU perusahaan itu sendiri yang didapat dari pemerintah tahun 1968 sudah habis masa berlakunya 1998 dengan ketentuan luas 3.787 hektar. Tapi kemudian pemerintah pusat memperbaruinya dengan HGU No 2/1997, namun anehnya luasnya meningkat jadi 4069,84 hektar. Peningkatan jumlah areal ini adalah suatu bentuk legal pencaplokan tanah yang semakin membuat masyarakat Pergulaan menentangnya. Karenanya, persis juga ketika keterbukaan reformasi sedang berlangsung, warga desa Pergulaan mulai berupaya memperjuangkan entah bagaimana caranya pokoknya harus sampai bisa memiliki kembali harta milik tanah mereka itu. Mereka telah mendapatkan hak atas tanah itu jauh sebelum perusahaan perkebunan itu mendapat izin dari pemerintah daerah dan pusat tahun 1968 untuk membudayakan tanah perkebunan.

Di satu sisi, terlibat dalam konflik ini para pihak lain pada lapis berikutnya. Pada lapis lokal terdapat Badan Pertanahan Nasional tingkat kabupaten Deli Serdang, bupati Deli Serdang. Pada lapis provinsi terdapat gubernur Sumatera Utara yang sebenarnya memiliki wewenang penataan dan perbaikan ke depan demi kesejahteraan dan kedamaian masyarakat setempat. Para aparat keamanan setempat yang bisa berasal dari lapis-lapis struktural dari Polda Sumatera Utara sampai polsek Deli Serdang, atau komando rayon militer setempat. Dalam proses ini pihak militer tidak tampak aktif, kecuali "menyaksikan". Di lain pihak setelah analisis semakin menajam Badan Pertanahan Nasional pada tingkat pusatlah yang berperan besar, setidaknya dalam meloloskan perpanjangan HGU 1997 untuk Lonsum dalam keluasan yang melonjok tak sesuai dengan perjanjian awal.

Di lain sisi, terdapat pula para organisasi non-pemerintah yang berupaya mendorong proses transformasi konflik dengan berbagai kegiatan standar yang mereka lakukan, mulai dari advokasi kasus konflik tanah, pelatihan produksi pertanian, intervensi peningkatan kesadaran dan pengetahuan sosial politik para pihak berkonflik.


Profil ekonomi konflik

Berdasarkan perhitungan warga desa Pergulaan, dalam jangka waktu 29 tahun (1974-2000) saja, pendapatan serobotan dari tanah warga yang dilakukan oleh Lonsum setidaknya mencapai 97,5 milyar rupiah. Hitungan ini didasarkan pada perkiraan minimum bisnis industri pertanian kelapa sawit (saja): 1 hektar tanah idealnya terdiri dari 125 pokok pohon kepala sawit; klaim kepemilikan warga seluas 165,6 hektar; harga buah sawit per kilo Rp 500 (sampai tahun 2003); minimum dua kali pemetikan buah kelapa sawit per bulan; hitungan masa produktif selama 26 tahun. Belum lagi ditambah dengan nilai kepemilikan tanah yang dicaplok itu sendiri. Berdasarkan perkiraan ini dapatlah ditaksir bahwa per tahun Lonsum mengeruk pemasukan sebesar 92,16 milyar rupiah, dengan dasar keluasan seluruh lahan perusahaan tersebut sebesar 4069,84 hektar. Ini baru untuk bisnis industri kepala sawit saja. Kepemilikan tanah warga hanyalah empat persen dibandingkan dengan seluruh kekayaan perusahaan.

Lonsum sendiri mempekerjakan sekitar 1.628 orang buruk perkebunan, dengan pengandaian satu orang buruh tani idealnya mengurus seluas 2,5 hektar lahan industri kelapa sawit. Gaji buruh tani terendah sekitar Rp 480.000 per bulan sampai pertengahan 2003; tapi masih ditambah dengan jatah beras yang volumenya tergantung tanggungan jumlah anggota keluarga para buruh. Rata-rata kebutuhan per bulan untuk kehidupan para buruh mencapai Rp 650.000. Dengan pendapat semepet ini ancangan ancangan ke depan untuk pendidikan anak-anak dan generasi mudah tak lagi mungkin dipikirkan.

Dari warga desa Pergulaan hanya sekitar 100-an orang yang menjadi buruh Lonsum, sisanya umumnya berusaha dan bekerja dengan cara menyewa tanah dari kawasan tetangga desa Bah Sidua-dua, desa Sri Utama dan desa Sukasari. Tingkat pendapat mereka pun mepet sekali untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Sulit dibayangkan adanya kekuatan ekonomi yang dapat menjadi modal lebih kuat untuk menghadapi konflik tanah yang merundung warga desa itu.

Warga desa sendiri masih menghadapi tantangan yang besar mengingat tingkat pendidikan warga desa Pergulaan hanya pas-pasan. Kebanyakan lulusan sekolah menengah umum, tapi belum lagi diuji kemampuan dan kesiapan mereka menghadapi tantangan bekerja secara produktif.

Jika tak ada peluang apa pun yang lain, pendapatan pokok mereka hanyalah dari jadi buruh tani harian lepas pada perusahaan perkebunan itu. Yang sungguh kesulitan menemukan pekerjaan di sekitar desa umumnya lalu memutuskan untuk merantau.

Perlu dicatat pula bahwa dampak lingkungan yang pasti terjadi adalah bahwa kelapa sawit menguruskan tanah. Memang dampak ini belum terukur secara ilmiah, namun pengalaman di berbagai daerah telah memberikan hikmah pada para petani. Lebih dari itu pabrik minyak kelapa sawit dalam wilayah perusahaan meracuni udara lingkungan sekitar Lonsum. Penduduk langsung terimbas dampaknya.


Perjuangan (Fisik) untuk Merebut Tanah Itu

Masyarakat Pergulaan pada dasarnya menginginkan tanah mereka dikembalikan. Sekalipun tanpa ada bantuan siapa pun, mereka tetap berusaha memperolehnya. Misalnya dengan melakukan aksi begitu saja menanam ubi dan pisang. Melihat aksi reklaiming ini tentu saja perusahaan perkebunan itu tidak terima. Pendudukan harus dihentikan. Intimidasi (harus) dilakukan, dengan mengundang dan membayar polisi. Ratusan brigade mobil polisi dikerahkan. Pemuda Pancasila dan Pamswakarsa disewa ototnya untuk mengancam warga desa dan kalau perlu memukuli warga yang berkeras kepala. Semua ini tentu saja "ongkos" untuk Lonsum.

Aksi reklaiming dan pengusiran berlangsung beberapa kali. Tercatat sampai akhir 2000 aksi reklaiming dan pengusiran sudah terjadi lima kali. Namun, kegagalan demi kegagalan meyakinkan warga ada di pihak yang lemah. Dalam hal ini tampak jelas keadaan kekuatan yang tak seimbang antara para pihak yang langsung terlibat dalam konflik. Upaya "pendudukan" kembali sering hendak dilakukan lagi, tapi melihat gelagat pam swakarsa mau datang, penduduk menghindari kemungkinan bentrok. Warga Pergulaan tak merasakan ada hasilnya. Upaya penguatan dan pemberdayaan dari berbagai segi masih sangat dibutuhkan oleh warga Pergulaan sendiri.


Negosiasi

Sejak Lonsum menyadari semakin meningkatnya klaim sengketa tanah dari pihak warga Pergulaan, beberapa pemuka warga menjadi kepentingan perusahaan pertanian itu untuk "diajak berbicara". Namun, tampaknya negosiasi itu palsu, sebab itikad Lonsum untuk berdialog tampak semu. Lonsum masih berniat untuk membujuk warga agar menerima suap. Empat orang pemuka warga secara diam-diam lewat selembar surat ketika sedang berdialog disodori kemungkinan menerima uang sebesar 200 juta rupiah untuk masing-masing. Para pemuka warga itu menepis tawaran ini.

Negosiasi yang akhirnya bermuara di forum dengar pendapat di DPRD Sumatera Utara, 5 September 2000, tak berbuntut apa-apa kecuali mulut terbungkam dari direktur utama Lonsum. DPRD Sumut sudah tegas menyatakan dukungan agar "masalah lahan antara Lonsum dan masyarakat hendaknya dikembali ke posisi semula" [buletin Hanura 2/2003:35]. Fasilitasi negosiasi yang didesakkan pada DPRD kiranya masih berada dalam posisi minimal. Desakan dan proses resolusi konflik belum mendapatkan perhatian dan pemikiran yang lebih mendasar.


Bahaya dan Peluang?

Di satu pihak, bahaya yang paling dikhawatirkan lagi oleh warga desa Pergulaan adalah kemungkinan bentrok dan kekerasan yang memang --tidak hanya "dirasakan"-- sangat aktual. Potensi konflik sementara ini kiranya dapat dikatakan "tidak laten" karena relatif dapat dilakukan kontrol dengan adanya organisasi warga setempat, tapi juga bukan tidak mungkin tiba-tiba muncul jadi "terbuka". Kondisi di antara "laten" dan "terbuka" ini (mencuat, emerging) secara silang-silih jadi merepotkan para pengurus warga dalam proses perjuangan yang dilakukan. Kekerasan menimbulkan ketakutan. Ketakutan berdampak mengerutnya semangat perjuangan merebut tanah itu. Ironi terasa kuat ketika disadari bahwa tanah itu sebetulnya adalah tanah "kami" sendiri. Masyarakat takut merebut tanahnya sendiri ..

Di lain pihak, ancaman internal kiranya juga bukan sedikit. Agak tak mudah dibayangkan potensi konflik internal yang mungkin muncul ke permukaan pada tataran praktik di lapangan dan kehidupan sehari-hari di lingkungan desa dan perkebunan itu. Sebanyak 100-an warga desa menjadi buruh atau pekerja pada Lonsum. Anggota keluarga dari seorang warga yang berjuang mendapatkan kembali tanahnya tak sedikit yang bekerja pada Lonsum. Komunikasi bocor yang tak dikehendaki dapat terjadi. Hal-hal yang selayaknya jadi rahasia di antara pegiat perjuangan mendapatkan tanah ómisalnya jika aksi reklaiming hendak atau sedang dilakukanó dapat bocor ke pihak Lonsum. Pemuka warga dapat diintimidasi, jika misalnya anaknya diancam Lonsum agar orangtuanya tak usah berjuang merebut tanahnya. Atau, sang anak dipindahkan ke wilayah pekerjaan yang lebih jauh sehingga beban kerjanya lebih banyak.


Peluang dan Kekuatan

Sekarang ini, ketika perjuangan yang sudah lama dilakukan belum menghasilkan yang diharapkan, tampaknya terasa tak ada kekuatan dan peluang nyata yang ada di tangan warga desa Pergulaan. Tapi, apa yang memotivasi sehingga toh mereka tetap mau memperjuangkan tanah milik mereka yang faktual ada di tangan Lonsum? Ada beberapa argumen mendasar yang kiranya perlu disebutkan di sini.

Pertama, kekuatan terletak pada dimensi moral yang mendasar, yaitu bahwa tanah itu (pernah jadi) adalah milik warga, tapi diserobot dengan paksa oleh Lonsum. Kekuatan terletak pada argumen kepemilikan yang kuat ini tidak hanya didasarkan pada kejernihan nurani tentang kebenaran dan didukung oleh rasa keadilan dan hak hukum yang sah dari masyarakat warga desa Pergulaan itu sendiri, tapi juga oleh bukti-bukti pembayaran pajak atas garapan tanah yang sekian lama telah selalu dilunasi oleh warga desa. Memang, bukti ini bukan berupa "sertifikat", tapi surat pajak telah membuktikan fakta hak sejarah yang sifatnya primer sebagai bentuk pengakuan publik dan terbuka. Lebih dari itu, hak garap dan keberadaan warga desa tersebut didukung oleh dokumen pencatatan pada asisten wedana Sei Rampah (sekarang kecamatan) dalam bentuk kartu pemakai tanah yang dilindungi oleh UU Darurat No 8/1955.

Kedua, fakta bahwa warga desa Pergulaan telah puluhan tahun tinggal dan menggarap lahan yang sekarang mereka tuntut adalah kekuatan hukum dasariah yang dibenarkan oleh keyakinan akan hak untuk hidup dan bekerja mendapatkan nafkah. Hak untuk hidup tak seimbang jika dibandingkan dengan pengutamaan atau penyalahgunaan "hak guna usaha" yang melindungi (melulu) bisnis sebuah perusahaan perkebunan.

Ketiga, pemerintah dan mereka yang berkuasa atas dasar suara rakyat sendiri sesungguhnya wajib dan bertanggungjawab untuk menjamin kehidupan masyarakatnya.

Keempat, dukungan dari sekian banyak pihak baik dari jawatan-jawatan pemerintahan setempat maupun berbagai kalangan publik yang lain seperti jaringan perjuangan para petani.

Kelima, keyakinan dan potensi pertumbuhan keyakinan itu sendiri untuk jadi semakin kuat bahwa hukum dan kebenaran berada di pihak warga desa adalah kekuatan objektif yang diharapkan mampu mengubah keseimbangan kekuatan dalam konflik.

Keenam, adanya tak sedikit peluang, kemungkinan, alternatif pemecahan terhadap konflik ini sendiri juga merupakan kekuatan moral yang disadari oleh para warga desa.

Namun, sejak menyadari terus-menerus ditimpa kegagalan dalam usaha mempertahankan hak mereka itu, meskipun warga desa Pergulaan sudah berusaha beberapa kali melakukan aksi reklaiming, kekuatan internallah yang kini mereka yakini harus dipastikan proses penguatannya. Dalam hal ini mereka sangat sadar akan bahaya reklaiming karena akan langsung dibalas dengan kekerasan dari aparat negara yaitu Brimob. Konflik terbuka itu memberikan pelajaran bahwa pengalaman bersengketa dengan perusahaan itu sendiri menumbuhkan hasrat untuk lebih bersikap hati-hati, cermat dan seksama dalam menanggapi konflik yang masih terus mengancam. Bentrok-bentrok awal yang terjadi memberikan pelajaran bahwa kekerasan dibalas dengan kekerasan tak akan menyelesaikan masalah. Keputusan untuk menghindari bentrok sejak September 2000 menimbulkan gagasan untuk menyilih pengelolaan konflik ini dengan cara menempuh jalan meluruskan politik hukum maupun jalan penguatan masyarakat terlebih dahulu. Sementara ini, warga Pergulaan mengaku jalan hukum di pengadilan kiranya tak dirasakan keperluannya. Namun, jika alternatif ini tidaklah tertutup, sebab jalan litigasi juga diyakini mampu menguji dan menguak tingkat konsistensi logika hukum secara publik.

Penguatan organisasi warga desa dimulai dengan membangun kerjasama dan aliansi dengan para pegiat advokasi kasus pertanian. Yayasan Bitra Indonesia ó Medan yang kemudian didirikan 1985 adalah rekan pertama yang dikenal warga lewat informasi terbuka dalam masyarakat. Kontak kerja dengan Lembaga Bantuan Hukum Medan membuka peluang untuk membangun jaringan dengan sesama organisasi para petani di Sumatera Utara. Intervensi yang dilakukan oleh kedua organisasi ini mendorong para warga untuk memahami persoalan menjadi lebih jelas dan jernih, sementara potensi kekerasan yang dapat menimbulkan korban dapat dicegah dan diperhalus tingkat ekspresinya. Potensi konflik disalurkan dan diubah menjadi kekuatan positif untuk menyusun kekuatan dari pihak para warga Pergulaan. Diharapkan dalam prospek perjalanan ke depan konstelasi kekuatan menjadi lebih berimbang sehingga dapat menjamin keputusan yang akan diambil jika tiba saatnya reklaiming dilakukan lagi.

Bangunan awal dari kekuatan sudah mulai tampak. Di satu sisi, Badan Perjuangan Petani Sumatera Utara (BPPSU) adalah rantai yang mengaitkan para petani berkasus dan mengambil jalan kerja advokasi kasus tanah. Sementara itu di sisi lain kerja sama dengan organisasi tani yang menekankan teknik pertanian pun diperlukan, yaitu Forum Petani Sumatera Utara (FPSU). Pada tingkat yang lebih luas (regional), kedua sisi hidup petani yang serba susah ini dijaring oleh minat Rapid Agrarian Conflict Appraisal (RACA) Institute di Jakarta yang merintis ruang politik kaum petani Indonesia dengan mulai membangun kelompok kerja para petani. Targetnya tentu akan mencapai seluruh petani di Indonesia.

Di tingkat desa Pergulaan sendiri dibangun organ bernama Badan Perjuangan Masyarakat Pergulaan (BPMP). Yang paling nyata jadi kekuatan organ ini adalah hadirnya kekuatan 50 orang warga menjadi "Tim 50" yang tugas utamanya adalah inti konstituen warga tani desa itu karena di tangan merekalah ketulusan dan militansi dapat diharapkan. Masing-masing anggota tim menjaring kepastian dukungan dari 10 orang warga desa tersebut. Tugas jaringan yang paling menonjol adalah membangun solidaritas dan menangkis segala kemungkinan jalur informasi bocor. Counter-intelligence melawan musuh adalah jaringan dasar yang menjamin kekuatan paguyuban warga desa Pergulaan. "Menggunting musuh" adalah kewajiban moral yang imperatif dilakukan jika saatnya tiba.

Di samping kekuatan kelompok kerja warga desa, kepala desa sendiri menjadi pemuka organisasi perjuangan dalam upaya merebut kembali tanah itu. Kekuatan "institusional" ini tentu mempermudah jalinan solidaritas di antara warga desa.


Kekuatan atau Bahaya?

Dalam perkembangan proses perjuangan yang dilakukan, terutama setelah strategi mengurus "politik hukum" ditekuni, tampaknya kekuatan yang dirasakan oleh warga desa Pergulaan adalah bahwa hampir semua pejabat pemerintah lokal secara terbuka menyatakan dukungannya. Pernyataan itu terungkap dari pihak bupati Deli Serdang, pihak kantor wilayah Badan Pertanahan Nasional, pihak gubernur Sumatera Utara, dan juga para wakil rakyat di DPRD Sumatera Utara. Kekuatan verbal secara tertulis pun sudah dinyatakan secara terbuka bahwa hak atas tanah 165,6 hektar itu ada di tangah warga masyarakat Pergulaan. Tapi kelanjutan pernyataan mereka tak kurang mengimplikasikan ancaman, jika bukan "bahaya". Para pejabat daerah itu mengakui hak tanah warga Pergulaan, tapi juga menyatakan mereka tak mampu mengambil keputusan .. Keputusan ada di tangan pemerintah pusat, dalam hal ini BPN Pusat di Jakarta, yang telah mengeluarkan perpanjangan HGU tahun 1997. Apakah warga Pergulaan hendak menunggu 30 tahun lagi sampai 2027 untuk ditipu lagi dan menanti 30 tahun berikutnya? Konflik struktural ini menampakkan kerumitan dan kemungkinan untuk setiap kali memperlemahkan kembali kekuatan dari bawah.

Apakah ini artinya? Warga Pergulaan diingatkan dengan segala jenis kolusi dan korupsi yang juga sudah biasa terjadi hampir di semua lini kehidupan publik di Indonesia. Bukankah masyarakat lokal, siapa pun mereka yang selayaknya mengurus kehidupan sosial dalam kebersamaan menuju kesejahteraan bersama? Sogok dari Lonsum sedang berbicara? Siapa lagi yang kemungkinan mendapatkan uang untuk inaction dan cukup "mengakui" saja? Apakah ini yang disebut dengan "pengakuan kosong"? Para pejabat daerah hanya dapat memberikan "rekomendasi" dan "bukan aksi". Tampaknya belum dapat diharapkan adanya "keberanian politik moral" yang lebih jauh dari mereka.

Kabar burung memberitakan bahwa para pejabat itu takut nanti akan digugat oleh Lonsum.. Ongkosnya buat mereka bisa tidak sedikit .. Konflik ini terasa begitu nyata bagi banyak pihak. Bagaimana mungkin BPN Pusat enak saja mengeluarkan perpanjangan HGU untuk Lonsum tahun 1997, sekalipun pejabat setarafnya di departemen dalam negeri sudah memperingatkan jauh-jauh sebelumnya tahun 1978: "... apabila perkebunan masih menginginkan tanah tersebut akan diusulkan pemberian hak guna usahanya jika telah ada penyelesaian terlebih dahulu dengan pihak penggarap yang dibuktikan dengan keterangan dari bupati (setempat) tentang telah diselesaikannya masalah tanah garapan tersebut." [buletin Hanura 2/2003:37] Sampai akhir Juni 2003 pihak BPN Pusat masih mengulur konflik dengan dalih melakukan kompromi óyang bisa jadi berbentuk korupsi dan kolusió dengan pihak perusahaan perkebunan itu.

Keputusan tindak lanjut tetap ada di tangan warga desa Pergulaan sendiri. Mereka akan memutuskan apa yang hendak dilakukan, seandainya pengakuan tertulis itu pun nanti akhirnya bisa keluar dari BPN Pusat sebagai kementerian agraria.


"Kesabaran"

Sangat ironis jika "kesabaran" tergolong sebagai kekuatan masyarakat Pergulaan. Tapi tampaknya inilah pilihan aktual warga desa itu. Sejak aksi reklaiming kelima September 2000 yang gagal, warga memutuskan untuk memulai jalan menggarap "politik hukum" pemerintah dan para kroninya. Sementara ini dukungan yang sangat minim tapi resmi dari para pejabat daerah dapat menjadi modal mendesak pemerintah pusat. Pengakuan pihak pemerintah pusat adalah sasaran utama warga desa pada saat yang genting ini. Maka desakan di bawah dalam bentuk aksi reklaiming tak dilakukan terlebih dahulu, sementara kekuatan dipusatkan pada desakan ke pusat masalah. Disadari bersama bahwa reklaiming pada saat genting dan penantian ini dapat menimbulkan hal-hal yang konter-produktif. Isu nasional yang sedang condong menggunakan argumen "anti-terorisme" juga tak dirasakan mendukung pembangunan momentum warga desa.

Suatu fakta non-case yang cukup mencolok yang patut jadi catatan pinggir adalah perbedaan sikap aparat keamanan polisi di Sumatera Utara terhadap warga desa Pergulaan dibandingkan dengan terhadap warga Porsea yang sedang kembali menghadapi kembalinya si perusak lingkungan PT Inti Indorayon Utama atau PT Toba Pulp Lestari. Pada kasus Indorayon aparat mengriminalkan warga Porsea, sedang pada kasus Pergulaan tak satu warga pun dikriminalkan, meskipun aksi bentrok sudah menelan mobil dan sepeda motor polisi.

Namun, pada saat yang sama penguatan warga terus dijalankan. Program menggalang dukungan dan solidaritas lewat iuran seribu rupiah sebulan sudah berjalan baik dalam organisasi warga desa yang berjuang, meskipun tentu bukan berarti apa-apa tapi sekaligus sangat bermakna bagi pertumbuhan dan perkembangan kesadaran bersama di antara para warga.***

"Negosiasi ala Ketanbanci" dalam Konflik Tanah antara Warga Desa Ciseru, Cilacap versus PT Indo Java Rubber Planting Company

Catatan: Analisis kasus berikut ini telah diterbitkan dalam buku sumber karya Ichsan Malik, Boedhi Wijardjo, Noer Fauzi dan Antoinette Royo, berjudul “Menyeimbangkan Kekuatan: Pilihan Strategi Menyelesaikan Konflik atas Sumber Daya Alam”, diterbitkan oleh Yayasan Kemala, Jakarta, 2003, h500-06. Saya berterimakasih kepada Adhi Prasetyo, sebagai advokat masyarakat dari RACA Institute di Jakarta; dan Antoinette Royo yang telah memberikan banyak masukan.
===============================================



PENTINGNYA pengawalan dari para pendamping, pegiat, organisers, dan para lawyers yang terbuka untuk dimensi perjuangan non-peradilan, terutama pada saat terjadi perundingan-perundingan, adalah pelajaran yang penting yang dapat ditarik dari kasus konflik tanah yang terjadi antara warga masyarakat desa Ciseru, kecamatan Cipari, kabupaten Cilacap, Jawa Tengah melawan perkebunan yang lebih dikenal dengan nama desa itu sendiri tapi berada di bawah manajemen PT Indo Java Rubber Planting Company ókasus laten ini jadi terbuka setidaknya sejak 1998.

Analisis kasus ini membahas secara khusus tentang proses menyeimbangkan kekuatan rakyat dan membuka jalan-jalan non-peradilan yang dapat membantu menyelesaikan konflik. Kiranya menjadi revelan di sini jika kita simak lebih jauh lagi proses penguatan yang terjadi pada kasus ini dan secara khusus menyoroti kasus proses "negosiasi" yang berlangsung. Negosiasi atau perundingan antara petani dan para pihak lain sempat terjadi dalam kasus konflik tanah warga Ciseru. Ini prestasi tersendiri yang patut ditarik pelajaran.


Tawaran Negosiasi yang Tak Sempat Ditanggapi Sepenuhnya

Cilacap, Jawa Tengah. Sekitar pertengahan 2000. Setelah rentetan kejadian yang cukup keras melanda warga desa Ciseru yang berkonflik dengan perusahaan perkebunan karet itu, pemerintah kabupaten Cilacap, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, Kanwil BPN Jawa Tengah, BPN Cilacap, akhirnya mau melakukan "negosiasi secara serius" dengan warga "Ketanbanci". Sebutan ini, kependekan dari "Kelompok Tani Korban Ciseru Cipari", dipakai oleh warga desa tersebut untuk menyintalkan identitas perjuangan gerakan penyelesaian konflik tanah. Di satu sisi, pasca pemenjaraan beberapa warga petani dari desa yang memperjuangkan hak tanah itu, Desember 1999, kampanye kasus konflik tanah itu di tingkat nasional memang membawa dampak positif. Namun, di sisi lain, proses pengurusan kasus tindak pidana oleh polisi dan aparat hukum lainnya tetap terus berjalan sehingga menguras tenaga para pegiat bantuan hukum dan para organisernya. Jumlah pengacara publik yang tersedia dan diakui dalam sistem yurisdiski setempat juga tak memadai, meskipun dana relatif masih tersedia.

Dalam keadaan susah payah semacam itu, tawaran dan proses negosiasi akhirnya tak sempat diurus dengan baik. Namun, barangkali juga diakibatkan oleh bias institusi lembaga bantuan hukum. Akibatnya, pengawalan tak bisa dilakukan secara optimal baik oleh warga petani Ketanbanci sendiri, Serikat Tani Merdeka (SeTAM) maupun divisi tanah dan lingkungan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta. LBH Yogyakarta waktu itu sangat disibukkan dengan proses litigasi atas 36 anggota Ketanbanci yang dituduh melakukan aksi perusakan truk Brimob Polwil Purwokerto dan Polres Cilacap. Kasus pidana itu sendiri dipecah menjadi lima kasus sehingga jadi beban yang lebih merepotkan para pegiat bantuan hukum.

Ada satu skenario pembusukan terhadap gerakan warga desa Ciseru dan para pendukungnya tetap berlangsung. Seorang pemuka para wakil rakyat setempat yang berpengaruh dan sesungguhnya juga disegani oleh warga kabupaten melakukan "pendekatan" terhadap keluarga-keluarga yang dikriminalkan dan warga-warga lain dari desa itu agar tidak lagi bergabung dengan SeTAM dan memutuskan hubungan dengan LBH Yogyakarta. Namun, upaya penggembosan organisasi tani tersebut tidak menyurutkan langkah perjuangan. Pengurus organisasi tani yang masih tersisa bersama dengan SeTAM dan LBH Yogyakarta melakukan kampanye kasus di tingkat nasional dengan mendatangi BPN, Komnas HAM dan lembaga jaringan gerakan lainnya untuk ikut mendapatkan dukungan dan melakukan berbagai tekanan dalam bentuk apa saja yang mungkin.

Pada skenario lain muncul pengacara umum lokal di tingkat kabupaten yang disewa oleh perusahaan perkebunan PT Indo Java Rubber Planting Company giat memanfaatkan situasi tak menguntungkan bagi para petani Ketanbanci itu. Pengacara tersebut ótentunya didasarkan afirmasi sikap perusahaan sendirió menawarkan "kue kecil" yang dipandang akan menenteramkan situasi secara umum, yaitu tanah seluas 11 hektar yang hendak diserahkan secara "formal" kepada warga desa Ciseru. Semua isu kasus Ketanbanci total bergeser hanya ke "kue kecil" itu. Perhatian warga Ciseru yang sudah klenger karena pemenjaraan para tokoh petaninya, juga tak bisa lepas dari "kue kecil" ini. Ini hebatnya manuver para "tokoh" lokal itu. Pemuka wakil rakyat berpengaruh sendiri juga mendukungnya. Dalam pertemuan-pertemuan dengan para pihak dan juga ketika berkunjung ke keluarga para petani yang dipenjarakan ia berucap: "Perjuangan menuntut hak atas tanah tidak harus dilakukan dengan kekerasan."

Kondisi sudah menjurus pada satu arah yang memihak pemuka masyarakat setempat. Dengan membawa "kue kecil" itu, mereka mendekati tiga orang tetua di sekitar desa Ciseru: pertama, "Bapak" Abdullah (yang kuat posisinya sebagai pemimpin budaya dan agama tapi dalam pandangan dunia yang kelabu)1; kedua, "Bapak" Suksdino (seorang mantan kepala desa dari desa yang bertetangga dengan desa Ciseru); dan ketiga, "Bapak" Ahmad Sulaya (seorang aktivis partai politik setempat). Suatu kekuatan bikinan baru dalam rejim setempat mendorong munculnya tiga orang tokoh itu yang kemudian menamakan diri mereka sebagai "jembatan" antara pemerintah, DPRD dan perkebunan. Inilah skenario "negosiasi" yang selayaknya patut dijadikan titik tolak bagi warga desa untuk melanjutkan tawar-menawar. Sayangnya, tawaran itu tak sempat lagi ditanggapi sepenuhnya, sementara tenaga para pendamping sudah habis. Akibatnya negosiasi terasa sudah ditentukan hasilnya: tanah seluas 11 hektar. Lumayan memang, tapi tak sebanding dengan investasi perjuangan yang telah dipasokkan ke kasus Ciseru selama itu.

Kondisi Ketanbanci yang baru saja mengalami tindak pemidanaan dan trauma pemenjaraan tidak mampu merespons dengan baik sehingga tiga orang tokoh lokal "jembatan" itu membelokkan proses "negosiasi", yang dibuat "seolah-olah petani melakukan gugatan terhadap perkebunan dan tercapai perdamaian." Perundingan dan tarik ulur ini sendiri berjalan cukup alot. Di tengah-tengah keadaan setengah sadar, para warga Ciseru dan para pendukungnya masih mencoba mengajukan prasyarat minim, yaitu pertama, perundingan tak boleh dihadiri oleh aparat militer (babinsa atau kodim setempat) karena kasus ini bukan urusan mereka; kedua, posisi duduk para warga Ciseru dalam perundingan harus berdekatan dengan pintu untuk memastikan praktisnya kemungkinan mengambil sikap untuk menggantungkan buntu selisih sikap dengan "walk-out".

Dalam proses perundingan itu hampir seluruh analisis masalah kasus bergeser. Proses itu memaksa warga Ciseru tak berbicara lain kecuali menerima tiga caucus perundingan. Pertama, menambah kehadiran orang-orang yang mengklaim hak atas tanah sengketa; jumlah 287 kepala keluarga yang mengklaim ditambah menjadi 451 nama, berarti ada 164 nama baru, yang ternyata alamat-alamat pribadinya kebanyakan berada jauh di luar kawasan desa Ciseru sendiri (Jakarta, Kebumen, Semarang, dll), óyang buntutnya setiap orang hanya memperoleh 243,9 meter persegi saja, jauh dari tuntutan semula seluas 1.393,7 meter persegi; kedua, menyingkirkan beberapa nama penting yang saat itu sedang menjalani proses pemenjaraan (Sudiran, Sardju, dan puluhan orang lainnya) ópara motor gerak rakyat; ketiga, pembentukan tim verifikasi pemilikan hak atas tanah itu yang (harus) dianggotai oleh BPN Cilacap, polisi setempat, pengurus Ketanbanci, ketiga tokoh "jembatan", camat Cipari dan masih dipaksakan hadirnya babinsa.

"Tokoh jembatan (seolah-olah juga) melakukan kompromi" dengan pengacara perkebunan dan mengatasnamakan petani menyatakan bersedia untuk mengakhiri sengketa dan pihak perkebunan menyerahkan tanah HGU-nya seluas 11 hektar. Perdamaian tersebut ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Cilacap melalui Putusan Perkara Perdata No 42/PDT.G/2000/PN.Clp, 14 November 2000, dengan rumusan warga Ciseru "tidak akan mengganggu gugat lagi, baik langsung maupun tak langsung, semua tanah HGU perkebunan."

Setelah "negosiasi" tersebut usai hanya dalam dua kali pertemuan pembukaan dan penutupan, perjuangan dilanjutkan dengan proses pelepasan HGU dan pengukuran tanah sampai dengan proses sertifikasi. Walaupun telah memperoleh tanah seluas 11 hektar, beberapa tokoh Ketanbanci masih menganggap perjuangan belum berakhir.

Sebelum mengalihkan strategi, masih ada pelajaran yang perlu ditarik, untuk fakta proses "negosiasi" itu sendiri: Jika semua sumber kekuatan dapat dipersiapkan dengan baik, sebuah tawaran dari pihak yang kuat selayaknya diterima sebagai suatu bentuk titik awal dari sikap terbuka untuk berkomunikasi dan melakukan negosiasi. Sekalipun tawaran itu bisa jadi dirasakan mencurigakan karena belum terkuak semua ruang lingkupnya, namun jika dilanjutkan dengan terus menawar (misalnya meningkatkan jumlah luasan hektar tanah yang ditawarkan), titik awal itu menjadi peluang yang dapat membuka komunikasi selanjutnya. Apalagi tawaran itu sudah diberi kerangka sementara dalam bentuk suatu "negosiasi" oleh pihak lain. Namun, ada prasyaratnya, jika suatu proses negosiasi secara serius hendak dilakukan, semua persiapan termasuk waktu, perhatian dan tenaga negosiator, lawyers dan tim kerja yang siap menanggapi hendaknya sungguh-sungguh tersedia dan diupayakan.

Sekarang keadaan konflik tanah dan kondisi para petani memang sudah seperti harus mulai dari "dasar" lagi. Kasus negosiasi Ketanbanci yang tak sempat ditawar dan ditanggapi lebih serius itu kini mendorong banyak pihak di sekitar kawasan kabupaten Cilacap memperhatikan banyaknya warga petani yang mengalami kasus konflik tanah yang sejenis. Hasil dan pelajaran dari perjuangan warga desa Ciseru dilirik oleh banyak warga petani yang lain, meskipun sementara itu hasil "negosiasi" tersebut terasa bukan apa-apa, karena tak sebanding dengan apa yang (semula) dituntut petani. Warga Ciseru sendiri bermaksud melanjutkan perjuangan memperoleh kembali sisa hak tanah yang masih berada di bawah perusahaan perkebunan dengan cara membuka peluang-peluang baru. Sementara itu disadari pula bahwa terlalu memusatkan pada konflik tanah sendiri akan menutup kemungkinan perluasan perspektif kepemilikan tanah yang berkorelasi dengan cakupan sosial politik yang lebih luas dan lebih memungkinkan dibukanya prospek positif penguatan masyarakat tani.

Inilah saatnya membuka koalisi dengan para warga petani lain di sekitar kabupaten Cilacap untuk perlahan-lahan membangun kekuatan yang akan lebih menghasilkan tombak perjuangan yang lebih tajam dengan hasil capaian yang lebih memadai. Sejak tiga tahun terakhir telah tergabung aliansi petani dalam lima kelompok: (1) kelompok Singa Tangi [Indonesia: "singa bangkit"] dari desa Mekarsari, kecamatan Cipari; kelompok ini menuntut lahan tanaman basah dan kering seluas 150 hektar [atas nama 366 orang petani] terhadap tanah yang dikuasai oleh PT Rumpun Sari Antan [RSA], sebuah perusahaan perkebunan kakao; (2) kelompok Mangkubumi, dari desa Karangreja, kecamatan Cipari; kelompok ini mengupayakan advokasi terhadap kasus tukar guling tanah seluas 34 hektar dari 106 orang petani yang juga dikuasai oleh PT RSA; (3) kelompok Cinta Tani, dari desa Wanareja, kecamatan Cipari; petani di desa ini menghadapi sengketa tanah yang dikuasai oleh PT Perkebunan Negara setempat seluas 85 hektar, terdiri dari 284 orang petani; (4) kelompok Tri Manunggalsari; organisasi tani setempat yang terdiri dari warga kecamatan Cipari dan beberapa warga desa lain, di antaranya desa Penyerang, kecamatan Sidareja; desa Cidadap dan desa Citayem dari kecamatan Karang Pucung; dan desa Bantar Panjang, kecamatan Cimangu; (5) kelompok Mukti Sari, dari kecamatan Gandrungmangu; petani di desa ini menghadapi sengketa tanah seluas 34 hektar dengan Perhutani setempat.2 Pada umumnya kelompok-kelompok tani berkasus ini sedang menjalani proses pendataan kepemilikan dan mendesakkan pengakuan kepada pihak-pihak instansi pemerintah setempat.


Sorot Balik: Proses Penyeimbangan Kekuatan pada Tahap Awal

Warga masyarakat membuka tanah (trukah) pada masa penjajahan Belanda dan hasil trukah tersebut ditengarai sebagai tanah kemenangan rakyat. Semua pihak tampaknya mengingat trukah ini sebagai titik sejarah awal kepemilikan atas sebidang tanah, yang kini tak sepenuhnya berada di tangan warga itu. Tanah tersebut mulai digarap secara intensif oleh petani sejak tahun 1942 dengan luas kurang lebih 45 hektar. Tanggal 4 Maret 1955 tanah garapan petani tersebut memperoleh tanda hak yang disebut sebagai "kartu kuning".

Namun tahun 1966 tanda hak tersebut dirampas oleh aparat tanpa alasan yang jelas. Kondisi politik gonjang-ganjing paska tuduhan pemberontakan G30S/PKI tampaknya menutup semua jenis pertanyaan yang muncul dalam pikiran rakyat. Paska perampasan tanda hak sebagian petani masih menggarap tanah tersebut tapi diharuskan melakukan bagi hasil dengan perkebunan: 40 persen untuk perkebunan dan 60 persen untuk penggarap. Yang lebih parah lagi, mulailah 1973 terjadi penggusuran secara besar-besaran oleh pihak perkebunan dengan dibantu oleh aparat keamanan.

Perjuangan untuk pengembalian hak atas tanah yang telah dirampas telah dimulai tahun 1984 dengan masih mengandalkan keberanian dari beberapa tokoh masyarakat. Selama masa sulit di bawah rejim Soeharto, hanya seorang petani bersemangat bernama Sudiran yang menjadi penggerak utama dari keseluruhan 280 kepala keluarga petani yang mengklaim balik kepemilikan tanah seluas lebih dari 45 hektar.

Aksi menuntut hak dengan cara reklaiming memang telah sekali dilakukan selama rejim otoriter Soeharto masih berkuasa. Tahun 1985 tanah seluas 12 hektar dengan 227 pemilik telah dikuasai kembali oleh petani. Sertifikat baru keluar 1988.3 Pengalaman tahun 1985 ini menjadi ancangan untuk perjuangan tahap berikutnya, kendati situasi sosial politik masih tetap represif. Satu-satunya ruang terbuka hanyalah bentuk formal melayangkan surat desakan tanpa kekuatan melakukan tekanan apa pun. Tapi semua warga sangat sadar bahwa tanah itulah milik mereka. Para tetua warga mengisahkan riwayat keringat dan banting tulang yang mereka lakukan untuk membudayakan tanah milik itu.

Waktu itu penuntutan petani hanya dilakukan dengan mendatangi instansi terkait, yaitu BPN, departemen dalam negeri, Pemda provinsi Jawa Tengah dan Pemda kabupaten Cilacap. Pengajuan tuntutan pada waktu itu sifatnya masih insidental sehingga dirasakan tidak memberikan hasil yang memuaskan. Belum ada strategi yang lebih terpadu, sementara situasi politik memang represif. Namun, dengan keterbukaan paska pergeseran rejim Mei 1998, gerakan perjuangan pengembalian hak dirasakan oleh petani perlu mendapatkan dukungan dari pihak-pihak lain.

Dukungan diperoleh ketika petani mengadukan permasalahannya kepada LBH Yogyakarta, 21 Juni 1998. Itu pun dengan jalan memutar karena ketaktahuan mereka mengenai persoalan yurisdiksi sistem peradilan dan lembaga bantuan hukum di Indonesia. Semula mereka menghubungi LBH Bandung, lalu LBH Semarang, dan akhirnya perpaduan dengan divisi tanah dan lingkungan dari LBH Yogyakarta membuahkan proses belajar yang dapat ditarik di sini.


"Ketanbanci": Trademark Pengorganisasian Petani

Julukan "Ketanbanci" muncul dalam suatu pertemuan awal untuk memperjelas identitas perjuangan menuntut balik tanah hak milik itu. Pengorganisasian dimulai dengan membentuk kelompok kerja ini yang difasilitasi oleh LBH Yogyakarta pada tanggal 21 Oktober 1998. Semula hanya 19 orang warga desa Ciseru yang terlibat, ójumlah yang tak banyak jika dibandingkan dengan kehendak dan cita-cita perjuangan mendapatkan kembali tanah, tapi dari praktik organisasi tampak sedikitnya jumlah tidak menyurutkan langkah untuk berjuang menuntut keadilan dan pengembalian hak dengan terus melakukan komunikasi dan koordinasi.

Dalam perjalanan yang singkat selama 15 bulan antara Oktober 1998 sampai awal Desember 1999, anggota Ketanbanci semakin bertambah. Momentum reformasi membuka peluang mengorganisir rakyat. Kekuatan massa di bawah sudah mencapai 10.000-an jiwa penggugat kepemilikan, baik langsung maupun tak langsung. Bersamaan dengan itu, pertengahan 1999 fasilitasi dari LBH Yogyakarta mendorong berdirinya Serikat Tani Merdeka, sebuah organisasi yang memayungi seluruh perjuangan petani berkasus di Jawa Tengah bagian selatan.


Reklaiming: Sebuah Pilihan Moral

Sementara itu, dukungan ribuan warga desa Ciseru sendiri sudah ada di tangan, karena kondisi pematangan yang tampak sudah lama dilakukan, sampai ke bentuk potensi aksi lapangan, meskipun masih harus selalu dicek lagi oleh para pendamping. Rapat-rapat yang lebih representatif perlu didesakkan agar rencana aksi dapat sungguh jadi terkontrol. Alat komunikasi kampung loud speakers yang biasa dipakai untuk acara perkawinan atau di masjid-masjid disewa untuk mengoordinasikan rapat-rapat bersama menuju proses mengambil keputusan.

Kombinasi pengurus yang cukup ideal kiranya memperkuat pemusatan tombak perjuangan. Sudiran adalah tipe pribadi keras dengan pilihan-pilihan aksi lapangan, Priyono berkepribadian "penuh perhitungan", sementara Sardju adalah seorang "administrator yang baik". Tarik ulur pilihan politik berjalan alot. Jalur formal mendesak instansi-instansi pemerintah, sementara ini, telah dilalui. Masih juga ada yang luput dari potensi aktualisasi kekuatan. Aksi penyeimbangan kekuatan apa lagi yang diperlukan? Pilihan publik tokoh Sudiran rupanya sudah lama mendapatkan momentumnya: tindak nyata memiliki kembali tanah itu harus dilakukan! Reklaiming itulah pilihan yang diperdebatkan dalam rapat-rapat mengambil keputusan. Tapi, mana yang hendak dipilih dalam tindak reklaiming? Menanam dulu dengan berbagai tanaman tumpang sari di antara pepohonan karet, meracun pohon-pohon karet, atau aksi cepat: tebang semua, besok dibersihkan dan lusa bisa ditanam? Masing-masing tindak ini memiliki bobot politik lokal yang berbeda. Pada pilihan yang paling kontroversial, dampaknya dapat jadi tak terduga.

Sementara itu perlu diingat pula, masih tetap adanya selisih pendapat di antara para pegiat petani sendiri tentang pilihan tindak reklaiming. Organisasi intervensi dengan bobot legal di bidang hukum membawa bias tak akan menyetujui aksi yang menjurus pada isyu moral politik yang memiliki implikasi hukum pidana. Sementara konsep perjuangan non-pengadilan belum lagi berkembang. Pilihan-pilihan di luar hukum formal masih sepi dari tanggapan masyarakat, sekaligus tak dapat dibicarakan secara antisipatif-konkrit, kecuali praktik lapangan sendiri yang akan menentukan arah ke mana hendak melangkah. Apakah arti kata "siap" dari para petani sendiri jika pilihan mereka adalah aksi reklaiming dengan total menebang pohon-pohon karet yang sementara itu didukung oleh rejim koersif yang masih efektif? Apakah harus dicegah?


Reklaiming dan Pemidanaan

Tapi, tanggal 7 Desember 1999 menentukan. Bulan puasa. Dilakukan pematokan atas tanah sengketa, kemudian dilanjutkan dengan aksi reklaiming dengan melakukan penebangan semua pohon karet yang ada di tanah sengketa.

Sudah diduga atau pun sengaja tak mau menduga karena pilihan sudah dirasakan matang: aksi reklaiming itu bukan tanpa perlawanan dari aparat keamanan. Aparat keamanan menyikapinya dengan mengirimkan dua truk pasukan Brimob. Hari pertama polisi mobil itu (masih) diam saja. Hari kedua, setelah sahur semua siap sedia sampai dengan lima chainsaws dan parang, warga terus menuju ke lahan hak milik mereka tapi diklaim dengan hukum formal perkebunan milik perusahaan atau lahan sengketa. Pembabatan dilanjutkan. Aparat keamanan meminta petani untuk menghentikan aksi rekaliming tapi para petani tak menghiraukan. Polisi rupanya kesal dan nekad menembak-nembakkan senapan. Memang tak ada korban sampai tewas, tapi sebutir peluru panas melukai pangkal paha kanan seorang kiai tokoh masyarakat warga itu. Seorang kiai tokoh masyarakat tertembak? Ini massa kritis! Bunyi titir ketongan bertalu. Ledakan kemarahan petani tidak dapat dikendalikan. Bentrokan fisik antara petani dengan aparat keamanan terjadi dan dua truk Brimob dibakar oleh massa. Akibatnya, ratusan warga diseret dan diangkut ke Polres Cilacap.

Hari ketiga, aksi reklaiming mereda tapi konsolidasi warga sangat mendesak dilakukan. Para pegiat ikut serta memperantarai sebagai pendukung hak milik petani. Keadaan dapat dikendalikan, sementara polisi mobil tetap berjaga. Begitu pegiat bantuan hukum pergi untuk mengurus kasus penangkapan, saat itulah polisi mobil merangsek warga desa, mengobrak-abrik perumahan warga dan menangkap tokoh petani Sudiran. Para pegiat merasa kecolongan tapi toh kesadaran utuh masih terbatas. Proses belajar warga dan para pendampingnya terus berjalan. Total 36 warga termasuk semua pengurus inti Ketanbanci harus meringkuk dalam penjara, kecuali Priyono.

Ketanbanci mengalami banyak kendala paska "kriminalisasi". Kelompok inti pejuang petani sendiri kocar-kacir. Konsolidasi kelompok tani korban ini tak bisa diteruskan lagi. Para istri mereka menangis mengibakan hati. Bagaimana nasib suami saya di tahanan? Mereka belum biasa menghadapi kejadian semacam ini. Tenaga para pegiat bantuan hukum habis untuk mengurus proses legal pidana. Proses-proses non-pengadilan jadi terbengkalai, tak terperhatikan. Depresi di antara para petani semakin terasa. Para tetua warga Ciseru yang semula diam tak mempertanyakan, kini mulai bimbang pada tindak pemenjaraan warga desa. Pemenjaraan berdampak pada timbulnya rasa rendah diri. Kadangkala, terasa akut dan mengecutkan hati. Di sinilah para pegiat bantuan hukum ditantang untuk berperan menguatkan mental dan semangat petani. Banyak macam cara dapat dilakukan. Intinya adalah bahwa hukum yang berkeadilan harus tetap ditegakkan.

Dampaknya sangat terasa, karena kegiatan non-pengadilan sendiri praktis tetap berhenti, padahal kegiatan itu semestinya lebih ditekankan. Lowong kemasyarakatan dari upaya penegakan keadilan sejati di ruang publik artinya adalah peluang bagi rejim lokal baru untuk memulai menggencarkan proses pembusukan terhadap Ketanbanci. Isyu agama yang sifatnya sensitif pernah dilancarkan. Ketanbanci diisyukan telah mengorbankan suatu umat beragama hanya karena ketua organisasi tani berlainan agama. Dampaknya memang terasa berat, bagaikan dicubit tapi dengan catut membara yang baru saja dipanaskan dalam api. Setelah mengambil tindakan "memotong sebelah tangan sendiri", penyelesaian masalah ini hanya dapat disilih dengan mengedepankan payung organisasi SeTAM, tapi sekaligus juga dengan penampilan yang low-profile.

Gema publik dari kasus Ketanbanci ini sendiri terasa cukup heboh dalam masyarakat di kabupaten Cilacap dan Jawa Tengah. Belum pernah ada kejadian di mana rakyat, yang selama ini tertindas di bawah rejim otoriter, (berani) membakar truk aparat keamanan negara, aparat negara óartinya melawan negara juga secara langsung. Memang, dalam kesadaran para petani yang melakukan reklaiming, negara itu tidak ada. Ketua DPRD Cilacap sangat menyadari pilihan moral politik para petani yang telah lama memendam persoalan hak milik tanah mereka. Ketika berkunjung ke penjara, ia mendukung para tertuduh aksi pembakaran truk dan penghasutan masyarakat dengan pesan moral sekedar menghibur: "Orang-orang ini (warga Ciseru) jangan diapa-apakan ya .." Peran pegiat bantuan hukum sendiri tetap dihormati baik di penjara dan di pengadilan. Inilah potensi kekuatan yang masih ada di tangan para pejuang keadilan.***

Wednesday, April 06, 2005

Access to Land and Social Justice in the Philippines

The search for social justice in the Philippine agrarian reform (on policy) and land reform (on land struggle of the farmer communities) would apparently be harder in the future, as it leaves to date an indication of increasing disparity in land tenures system between the vulnerable majority of farmer communities and the powerful, few landlords. Few changes did comparatively take place, however, despite the government's program of comprehensive agrarian reform (CARP) that has been fought for at least 15 years since the law was passed in 1989 and earlier marked with more optimism.

In general at national level, contrasting the results of land transfer claimed by the government actors and by the social actors working on it, it is safe to say that the minimum of about seventy percent of the working scope of the agrarian reform may be viewed as a fair failure cases, otherwise “half-successful”. The accomplishment data released by the Philippine government refer particularly to the government’s implementation of land transfer to the farmer beneficiaries, emphasizing about 80 percent of land reform’s working scope has been successfully achieved. The data yet hide the necessary post-land transfer programs that are supposed to be sufficiently implemented.

Out of two case studies comparing two provinces, which typically mark the structural characterization of the Philippine rural society, i.e. Tarlac province in Central Luzon that the government claimed to have accomplished over 100 percent of the agrarian reform working scope, and Negros Occidental province of Western Visayas, having reached among the lowest accomplishment, one could see the results of the agrarian reform program may be considered as simply in a dichotomy as weighed against the claim of the close-to-farmer agents of the land reform in the Philippines, i.e. the NGOs. The latter claim only of the maximum of five percents out of about less than 30 provinces in which they have been working with the farmer communities since at least the initial stage of CARP implementation. The success is distinctly understood in term of the integration of the post-land transfer programs, which mostly being neglected by the government.

As for the dichotomy, a disparaging point of the two actors, i.e. state and social, comes across in the juncture of understanding in this research that ——referring to both selected provinces—— where the government claims of relative success, the NGOs claim otherwise. Negros Occidental’s experience is admitted among the “success” by the NGOs (in term of the farmer movements so far), while the government’s accomplishment data show it is among the lowest. Most deem it proper that Negros Occidental and Tarlac’s experiences in land and agrarian reform typically represent an honest recognition for understanding the agrarian reform accomplishment in the Philippines.

Comparing the movements of the farmers in their struggle for land and agrarian reform in each provinces, even though both having strong civil society movements, with Tarlac recently more fervently characterized by the presence of the remnants of communist approach while Negros Occidental with more NGOs and farmer organizations ——many are ex-communists transforming themselves into working together with the government—— one should find out from the history of each that distinguishes the performance of the provinces. Tarlac has more concentrated power of the fewer elite, well linked with the central power of the country as compared to Negros Occidental that has lesser direct association with the post-Marcos Malacañang regimes and their allies yet having scores of land owners, many are fairly not less strong.

In Tarlac, pressures and oppression by the elite’s allies involving the military have rendered the struggle of farm workers for improvement much harder in determining their political choices. The irony becomes stronger as the province is the power base of the former president of Corazon Aquino who passed the agrarian reform law before the program was initiated. The recent incident of killing of at least seven farmers by the military late 2004 tells a lot about the apparently helplessness of pushing through such scheme of agrarian revolution in the Philippines nowadays. The dead end of the labor relation game does not match against the possible opportunities offered by agrarian reform program that is supported by the social actors of the society in taking option to rely on the agrarian reform law. This opportunity balance was apparently used by the local government to move quick yet brief to transfer at least the lands, which is undoubtedly as hastily as providing farmers with official papers, practices that later bring about the post-land transfer program to be quite unattended.

While in Negros Occidental, land reform implementation cases show the intimate links among the civil society and the central government unusually involve the military to help pursue the farmers’ causes on behalf of the agrarian law. Such case is uncommon and therefore could hardly be considered as a pattern for other experience, considering so many other similar cases remain unresolved in the Philippines. In addition, the many land owners’ interests in the province over large tracts of sugar plantations and rampant graft of local politics have not allowed the performance of the local government to even show a report of less high accomplishment of land reform and post-land transfer programs implementation. It infers that the mushrooming NGOs in the province have comparatively much helped to control the balance.

Negros Occidental case study on farmer movements in the last decade show that even though the government has awarded farmer beneficiaries with certificates of land transfer, landlords and their sugar company managements applied all means to retain the lands much longer. The real acquiring and cultivating of the targeted lands of the beneficiaries, therefore, was dragged until a good deal of time later only after it was tediously conducted a careful, full-scale networking between social and state actors in addition to the physical assistance of the military along with the active direct engagement of the farmers themselves.

At national level, the high accomplishment period of the land transfer program implementation was also mainly characterized by the dominance of the central government’s role during a certain period of 1993-1994, particularly when the secretary of the Department of Agrarian Reform was a less politically minded but having strong office management prowess. Working together with the civil society actors of the NGOs, the programs were strongly pushed along with the movements of the farmer communities in the targeted areas. However, this period seems to be a particular case, as compared to tenures of other secretaries, who mostly held political interests not for the farmers. There was also a case when a secretary had to be toppled down after strong team working of different parties behind farmer social movement propelled from the center in capital down to diverse regions in the Philippines.

Another striking feature of the agrarian reform program accomplishment in the Philippines could be inferred from the leading role of the government in crushing the powers that are against their interests. The Philippine political history that is marked by frequent social upheavals, many conducted by the farmer communities along with the armed leftist struggles, has had to involve the government’s force, particularly when the latter really holds the concern to make the programs a success whatever rampant negative interests they may have in politics. After the agrarian law was passed in 1989, the government is noted in the public records to have intensely suppressed the communist movements of the New People’s Army (CPP-NPA). In the mid-1990s (1993-1997), however, the insurgency practically stopped as the agrarian reform program quickly but briefly proceeded in the country. After 1998 onwards the NPA movement has been back strong to further challenge the government’s programs for rural development. The insurgency advances in 2003 and now in 2004 it has reached higher level of physical contacts between the armed left and the government’s military apparatuses that in many cases pitted the farmers in between. As compared to the early period of the CARP implementation, this development may seriously hamper the continuation of the agrarian reform program in the future.

The prospect of the program would apparently still proceed at turtle pace as the gap between the rural and the urban life remains ever increasing in the last decade particularly since mid-1990s. On one hand, though literacy rate of the Philippine population and other human resource development are generally high, they does not seem to affect the performance of rural development. On the other, comparing the development of public companies registered in 2004 and 1994, in Negros Occidental, for instance, which performs low rural improvement as seen in its agrarian reform accomplishment, it has shown instead a relatively fast development of among 5,000 biggest companies in the Philippines. To add the picture not less depressing, this province is also marked by the increasing number of the cities in such gloomy economic situation of rural areas of the island, as compared to the many provinces in the country, including Tarlac in Central Luzon that has only three cities since. The formation of new cities in Negros Occidental does not match with the development of rural population of 57% during the last decade. This supposes an even wider inequality in Negros Occidental. On the other side, with the opposite tendency as compared to the latter, the urban population in Tarlac, having fewer cities, increased only slightly higher as compared to rural population changes. In Negros, comparatively speaking then, while there are big companies in the nearby cities, people would possibly still again witness hunger in between large sugar plantations, as in the past, while the main imbalance of social structure remains unchanged.***

Monday, February 28, 2005

Agama, Adat dan Tantangan Masyarakat Madani

MASYARAKAT madani adalah salah satu benteng yang perlu terus dibangun untuk menegakkan pembangunan negara dalam menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan hidup bersama dalam masyakarat. Sampai dewasa ini perjuangan menuju masyarakat madani yang kuat belum lagi tuntas dan masih banyak ketimpangan serta kekurangan di berbagai lini kehidupan. Dalam membangun masyarakat madani yang kuat inilah agama dan adat budaya masyarakat tetap memiliki peranan kritis yang menentukan untuk ketahanan kehidupan masyarakat.

Apalagi sekarang ketika demokrasi kelembagaan dicoba terus dikembangkan dengan dominasi politik partai dan politik massa terbuka. Demokrasi membuka partisipasi, tapi juga dapat disalahgunakan untuk mendorong kepentingan kelompok secara tertutup. Dalam dimensi yang sejajar, demikian pula agama dan nilai-nilai etno-budaya, kecuali memberi makna pada penghayatan religius dan suku secara pribadi atau kelompok, dapat bermanfaat untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat, namun juga dapat digunakan secara negatif untuk terlalu menekankan kepentingan sempit.

Di satu sini, keadaan ini membuat kita sadar bahwa penataan organisasi-organisasi masyarakat menjadi sangat penting. Namun masalahnya sekarang, ketika peran negara melemah, situasi penataan ormas-ormas belumlah optimal. Tentunya kita tak dapat membandingkannya dengan keadaan semasa kekuasaan Orde Baru yang jelas tak ideal. Mengharapkan peranan negara secara aktif pun sebenarnya sekarang sudah tak mungkin lagi, meskipun tentunya kita tak boleh putus meminta pertanggungjawaban dan aksi-positif dari pemerintah-negara.

Di sini lain, ketika keseimbangan sosial politik berbalik arah, ketika seharusnya kita tak lagi total menggantungkan diri pada negara, kemudian kita jadi terperanjat, karena ternyata masyarakat madani kita tak sekuat seperti dibayangkan ketika masyarakat mendesakkan perlunya reformasi politik. Sementara perubahan politik-ekonomi sudah tak dapat dicegah lagi ketika globalisasi dan politik ekonomi internasional terus mendesak bahkan ke dalam lingkup internal masyarakat, termasuk komunitas-komunitas agama dan adat kita.

Masyarakat kita sekarang ini dituntut bekerja lebih keras lagi daripada sekedar secara internal membangun kelompok-kelompok yang paling dapat memenuhi kepentingan-kepentingan masyarakat secara langsung, seperti partai politik, komunitas keagamaan, masyarakat adat, komunitas bisnis, serikat pekerja, dlsb. Keadaan kelompok, paguyuban dan ormas-ormas itu pada umumnya sekarang masih terpisah-pisah. Masing-masing condong sibuk dengan pemenuhan kepentingan internal. Waktu terserap habis untuk mengurusi kepentingan dapur masing-masing lembaga, lebih daripada berorientasi keluar. Sementara itu, kesulitan ekonomi dan sumberdaya manusia menandai ciri perencanaan strategis dari masing-masing lembaga tersebut.

Dalam keadaan yang masih serba compang-camping itu, apa yang sebenarnya dituntut ketika tantangan keterbukaan ini masih belum kita genggam kuat-kuat dalam tangan? Pertama, mendorong lebih banyak lagi upaya mengorganisasi-kan masyarakat, tapi sekaligus dengan memperkuat dimensi mengaitkan kepentingan internal dengan kepentingan publik di sekitar secara positif dan terbuka. Kedua, membentuk dan menjalin hubungan antarlembaga itu dalam kaitan-kaitan kepentingan yang konkret dan interdependen satu sama lain, malah sejauh mungkin secara kolektif, setidaknya untuk tujuan jangka pendek terlebih dahulu, yaitu memperkuat ketahanan masyarakat madani dari kemungkinan tindak bertujuan pintas, apalagi jika digunakan aksi provokasi.

Kedua hal ini tampaknya sudah kedengaran seperti suatu anjuran yang kuno dan terkesan tak nzamani lagi, ketika politik massa merupakan bagian tak terpisahkan dari demokrasi itu sendiri. Memang inilah salah satu sisi berat dari suatu hal positif yang tiap kali itu juga kita rasakan “kurang menarik” dan “itu-itu juga”, “tak markettable”. Tapi masalahnya adalah harga yang harus dibayar sangatlah tinggi jika terjadi hal-hal yang secara endogen merugikan komunitas-komunitas kita sendiri. Semua ini barulah sekedar “pagar”, atau “pembatas” paling minimal, yang sebenarnya juga belum kita capai secara optimal.
Pengertian masyarakat madani sendiri pun tidaklah cukup hanya condong dimaknai dalam pengertiannya yang “kontroversial”, ketika kita mengartikannya dalam perspektif eksternalnya sebagai penanding kekuatan militer. Namun, saat yang sama tentu saja makna ini tak selayaknya kita abaikan dan kita singkirkan. Justru sebaliknya tetap semestinya menjadi dasar utama. Kita tak bisa melupakan bahwa gerakan anti-militer telah mendorong dan tampaknya masih tetap akan terus memotivasi bangkitnya masyarakat madani.

Namun, lebih serius lagi daripada hal itu, tantangannya sekarang adalah memperkaya makna tersebut dengan dimensi memperkuat kelompok-kelompok madani itu sendiri, termasuk di dalamnya adalah komunitas-komunitas adat dan agama. Masyarakat madani selayaknya mampu membuktikan bahwa mereka tak kalah daripada militer. Jika masyarakat madani sendiri amburadul, perimbangan kekuatan politik segera akan berubah. Belum lagi jika diingat bahwa transformasi dan perpecahan kepentingan dalam tubuh lembaga militer/polisi sudah terbukti menimbulkan perpecahan pula di antara masyarakat sipil, dengan berbagai dalih, salah satunya adalah agama, seperti kasus kekerasan kolektif di Maluku.

Di Indonesia telah terjadi berbagai macam konflik berikut kekerasan yang mengorbankan ribuan nyawa manusia. Mulai dari kekerasan keagamaan, etnik, perjuangan keadilan, persaingan pasar, separatisme, dll. Tapi, dari semua itu agama dan adat sebagai dasar memobilisasi massa dalam persaingan kepentingan politik condong menjadi sarana pengembang mobilisasi politik yang efektif dan efisien. Dalam gabungan kepentingan etnik dan keagamaan, kekerasan yang ditimbulkan bisa sangat berbahaya, terutama karena ciri kekerasan yang ditimbulkan bisa berlangsung paling lama (durability) dan berakibat sangat serius (dalam pengertian jumlah yang tewas dan harta benda yang dirusakkan).

Keterlibatan masyarakat kini juga harus dimaknai dengan mengisi interaksi optimal di antara anggota masyarakat madani itu sendiri. Ada dua hal yang rekomendatif perlu dilakukan. Pertama, membuka diri dan memasuki serta menggunakan perspektif dari agama dan adat budaya lain dari segi dalam, dan kedua, membuka diri untuk memahami kepentingan publik, secara bersama-sama di antara berbagai kelompok dari berbagai latar belakang.

Namun, jaringan minimal ini tidaklah cukup, karena gelombang provokasi berlatar kepentingan masih mampu merusakkan jaringan masyarakat madani yang primitif ini. Berdasarkan pengamatan dan studi mendalam di kota-kota India, di mana kerusuhan berlatar belakang agama tak kalah menyeruak, peranan masyarakat madani dengan ideologi Mahatma Gandhi yang tak tergoyahkan itu pun mengalami pasang surut. Indira Gandhi yang lebih mengutamakan pemerintah nasional bertentangan dengan para pemimpin partai di tingkat lokal. Tapi pelajaran dari praktik ajaran Gandhi sekaligus juga sangat menegaskan bahwa peranan jalinan lembaga-lembaga sipil, sejauh bersikap kritis terhadap kekuasaan, dan konsisten lebih berat memusatkan perhatian pada transformasi sosial di kalangan masyarakat, sangatlah mampu menahan gelombang kerusuhan dan provokasi politik dari kelompok-kelompok kepentingan (Varsney 2002). Pelajaran dari India menegaskan pentingnya dua jenis keterlibatan madani di mana kelompok-kelompok agama menjadi titik putar yang krusial.
Pertama, keterlibatan silaturahmi. Dalam konteks membangun masyarakat, hubungan antarkelompok agama dan budaya dalam konteks sehari-hari dalam masyarakat menjadi sangat penting. Contohnya adalah kunjungan rutin antarwarga dan antarkeluarga yang saling berbeda iman, sejauh mana orang rela makan bersama dengan orang atau kelompok lain, menghadiri perayaan-perayaan, sejauh mana merelakan anak-anak boleh bermain bersama di antara kelompok masyarakat yang berbeda, dst. Pada tingkat ini, kejadian-kejadian penyerangan dan penutupan gereja atau masjid pada tingkat maksimum kabupaten dapat kiranya dicegah. Budaya silaturahmi didasarkan pada sikap tak ingkar janji dan sikap sopan santun secara aktif merupakan kunci utama, yang tampaknya sudah banyak berkarat dalam berbagai kalangan masyarakat kita.

Kedua, keterlibatan asosiasional. Dinamika masyarakat madani haruslah diisi dengan jalinan dan kerjasama yang semakin menguat serta meluas dalam berbagai bidang seperti bisnis mulai dari yang bermodal rendah sampai tinggi, organisasi-organisasi profesi, kelompok-kelompok studi, klub baca, organisasi penyelenggara perayaan publik, kelompok olahraga, serikat buruh, partai politik kader, dlsb. Keterlibatan asosiasional ini menjamin keterlibatan keseharian itu berubah menjadi ketahanan sosial yang ampuh dan bertahan jika harus menghadapi hempasan rangkaian kerusuhan massal yang menghebohkan, seperti peristiwa-peristiwa Situbondo 1996, Tasikmalaya 1996, kerusuhan Mei 1998, dan seluruh badai kekerasan sosial pasca pergeseran rejim sampai menjelang 2001, dlsb.

Keterlibatan yang terakhir ini secara konstitutif merupakan prasyarat mutlak bagi dinamika dasar masyarakat madani yang kuat, karena perasaan keagamaan, etnik, kelompok (dan semua ciri askriptif yang lain) itu sendiri memiliki kodrat yang mendua, yaitu bahwa nilai keagamaan dan nilai budaya lokal etnik, misalnya, dapat mendukung tujuan hidup mulia tapi sekaligus dapat digunakan untuk kepentingan yang mematikan. Kebebasan beragama dan kebebasan berasosiasi pun dapat menjadi kedok.

Ciri-ciri askriptif ini menjadikan kelompok-kelompok masyarakat condong secara internal lebih kuat mengobjekkan kelompok lain secara negatif. Dari berbagai pengalaman tampak jelas bahwa kemungkinan negatif ini sungguh lebih besar daripada setidaknya memandang kelompok lain dari sudut pandang kepentingan publik. Bukankah sulit melihat tengkuk sendiri tanpa menggunakan bantuan cermin?

Mengingat ciri kemenduaan agama, adat dan semua pengelompokan masyarakat yang berciri askriptif dari pengelompokan masyarakat mampu menggoyahkan ketahanan masyarakat, maka keterlibatan asosiasional dan keterlibatan silaturahmi sulit dipungkiri merupakan prasyarat paling minimal jika harmoni antarkelompok hendak dikembangkan sebagai tonggak ketahanan masyarakat madani yang sejati.***