Monday, February 28, 2005

Agama, Adat dan Tantangan Masyarakat Madani

MASYARAKAT madani adalah salah satu benteng yang perlu terus dibangun untuk menegakkan pembangunan negara dalam menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan hidup bersama dalam masyakarat. Sampai dewasa ini perjuangan menuju masyarakat madani yang kuat belum lagi tuntas dan masih banyak ketimpangan serta kekurangan di berbagai lini kehidupan. Dalam membangun masyarakat madani yang kuat inilah agama dan adat budaya masyarakat tetap memiliki peranan kritis yang menentukan untuk ketahanan kehidupan masyarakat.

Apalagi sekarang ketika demokrasi kelembagaan dicoba terus dikembangkan dengan dominasi politik partai dan politik massa terbuka. Demokrasi membuka partisipasi, tapi juga dapat disalahgunakan untuk mendorong kepentingan kelompok secara tertutup. Dalam dimensi yang sejajar, demikian pula agama dan nilai-nilai etno-budaya, kecuali memberi makna pada penghayatan religius dan suku secara pribadi atau kelompok, dapat bermanfaat untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat, namun juga dapat digunakan secara negatif untuk terlalu menekankan kepentingan sempit.

Di satu sini, keadaan ini membuat kita sadar bahwa penataan organisasi-organisasi masyarakat menjadi sangat penting. Namun masalahnya sekarang, ketika peran negara melemah, situasi penataan ormas-ormas belumlah optimal. Tentunya kita tak dapat membandingkannya dengan keadaan semasa kekuasaan Orde Baru yang jelas tak ideal. Mengharapkan peranan negara secara aktif pun sebenarnya sekarang sudah tak mungkin lagi, meskipun tentunya kita tak boleh putus meminta pertanggungjawaban dan aksi-positif dari pemerintah-negara.

Di sini lain, ketika keseimbangan sosial politik berbalik arah, ketika seharusnya kita tak lagi total menggantungkan diri pada negara, kemudian kita jadi terperanjat, karena ternyata masyarakat madani kita tak sekuat seperti dibayangkan ketika masyarakat mendesakkan perlunya reformasi politik. Sementara perubahan politik-ekonomi sudah tak dapat dicegah lagi ketika globalisasi dan politik ekonomi internasional terus mendesak bahkan ke dalam lingkup internal masyarakat, termasuk komunitas-komunitas agama dan adat kita.

Masyarakat kita sekarang ini dituntut bekerja lebih keras lagi daripada sekedar secara internal membangun kelompok-kelompok yang paling dapat memenuhi kepentingan-kepentingan masyarakat secara langsung, seperti partai politik, komunitas keagamaan, masyarakat adat, komunitas bisnis, serikat pekerja, dlsb. Keadaan kelompok, paguyuban dan ormas-ormas itu pada umumnya sekarang masih terpisah-pisah. Masing-masing condong sibuk dengan pemenuhan kepentingan internal. Waktu terserap habis untuk mengurusi kepentingan dapur masing-masing lembaga, lebih daripada berorientasi keluar. Sementara itu, kesulitan ekonomi dan sumberdaya manusia menandai ciri perencanaan strategis dari masing-masing lembaga tersebut.

Dalam keadaan yang masih serba compang-camping itu, apa yang sebenarnya dituntut ketika tantangan keterbukaan ini masih belum kita genggam kuat-kuat dalam tangan? Pertama, mendorong lebih banyak lagi upaya mengorganisasi-kan masyarakat, tapi sekaligus dengan memperkuat dimensi mengaitkan kepentingan internal dengan kepentingan publik di sekitar secara positif dan terbuka. Kedua, membentuk dan menjalin hubungan antarlembaga itu dalam kaitan-kaitan kepentingan yang konkret dan interdependen satu sama lain, malah sejauh mungkin secara kolektif, setidaknya untuk tujuan jangka pendek terlebih dahulu, yaitu memperkuat ketahanan masyarakat madani dari kemungkinan tindak bertujuan pintas, apalagi jika digunakan aksi provokasi.

Kedua hal ini tampaknya sudah kedengaran seperti suatu anjuran yang kuno dan terkesan tak nzamani lagi, ketika politik massa merupakan bagian tak terpisahkan dari demokrasi itu sendiri. Memang inilah salah satu sisi berat dari suatu hal positif yang tiap kali itu juga kita rasakan “kurang menarik” dan “itu-itu juga”, “tak markettable”. Tapi masalahnya adalah harga yang harus dibayar sangatlah tinggi jika terjadi hal-hal yang secara endogen merugikan komunitas-komunitas kita sendiri. Semua ini barulah sekedar “pagar”, atau “pembatas” paling minimal, yang sebenarnya juga belum kita capai secara optimal.
Pengertian masyarakat madani sendiri pun tidaklah cukup hanya condong dimaknai dalam pengertiannya yang “kontroversial”, ketika kita mengartikannya dalam perspektif eksternalnya sebagai penanding kekuatan militer. Namun, saat yang sama tentu saja makna ini tak selayaknya kita abaikan dan kita singkirkan. Justru sebaliknya tetap semestinya menjadi dasar utama. Kita tak bisa melupakan bahwa gerakan anti-militer telah mendorong dan tampaknya masih tetap akan terus memotivasi bangkitnya masyarakat madani.

Namun, lebih serius lagi daripada hal itu, tantangannya sekarang adalah memperkaya makna tersebut dengan dimensi memperkuat kelompok-kelompok madani itu sendiri, termasuk di dalamnya adalah komunitas-komunitas adat dan agama. Masyarakat madani selayaknya mampu membuktikan bahwa mereka tak kalah daripada militer. Jika masyarakat madani sendiri amburadul, perimbangan kekuatan politik segera akan berubah. Belum lagi jika diingat bahwa transformasi dan perpecahan kepentingan dalam tubuh lembaga militer/polisi sudah terbukti menimbulkan perpecahan pula di antara masyarakat sipil, dengan berbagai dalih, salah satunya adalah agama, seperti kasus kekerasan kolektif di Maluku.

Di Indonesia telah terjadi berbagai macam konflik berikut kekerasan yang mengorbankan ribuan nyawa manusia. Mulai dari kekerasan keagamaan, etnik, perjuangan keadilan, persaingan pasar, separatisme, dll. Tapi, dari semua itu agama dan adat sebagai dasar memobilisasi massa dalam persaingan kepentingan politik condong menjadi sarana pengembang mobilisasi politik yang efektif dan efisien. Dalam gabungan kepentingan etnik dan keagamaan, kekerasan yang ditimbulkan bisa sangat berbahaya, terutama karena ciri kekerasan yang ditimbulkan bisa berlangsung paling lama (durability) dan berakibat sangat serius (dalam pengertian jumlah yang tewas dan harta benda yang dirusakkan).

Keterlibatan masyarakat kini juga harus dimaknai dengan mengisi interaksi optimal di antara anggota masyarakat madani itu sendiri. Ada dua hal yang rekomendatif perlu dilakukan. Pertama, membuka diri dan memasuki serta menggunakan perspektif dari agama dan adat budaya lain dari segi dalam, dan kedua, membuka diri untuk memahami kepentingan publik, secara bersama-sama di antara berbagai kelompok dari berbagai latar belakang.

Namun, jaringan minimal ini tidaklah cukup, karena gelombang provokasi berlatar kepentingan masih mampu merusakkan jaringan masyarakat madani yang primitif ini. Berdasarkan pengamatan dan studi mendalam di kota-kota India, di mana kerusuhan berlatar belakang agama tak kalah menyeruak, peranan masyarakat madani dengan ideologi Mahatma Gandhi yang tak tergoyahkan itu pun mengalami pasang surut. Indira Gandhi yang lebih mengutamakan pemerintah nasional bertentangan dengan para pemimpin partai di tingkat lokal. Tapi pelajaran dari praktik ajaran Gandhi sekaligus juga sangat menegaskan bahwa peranan jalinan lembaga-lembaga sipil, sejauh bersikap kritis terhadap kekuasaan, dan konsisten lebih berat memusatkan perhatian pada transformasi sosial di kalangan masyarakat, sangatlah mampu menahan gelombang kerusuhan dan provokasi politik dari kelompok-kelompok kepentingan (Varsney 2002). Pelajaran dari India menegaskan pentingnya dua jenis keterlibatan madani di mana kelompok-kelompok agama menjadi titik putar yang krusial.
Pertama, keterlibatan silaturahmi. Dalam konteks membangun masyarakat, hubungan antarkelompok agama dan budaya dalam konteks sehari-hari dalam masyarakat menjadi sangat penting. Contohnya adalah kunjungan rutin antarwarga dan antarkeluarga yang saling berbeda iman, sejauh mana orang rela makan bersama dengan orang atau kelompok lain, menghadiri perayaan-perayaan, sejauh mana merelakan anak-anak boleh bermain bersama di antara kelompok masyarakat yang berbeda, dst. Pada tingkat ini, kejadian-kejadian penyerangan dan penutupan gereja atau masjid pada tingkat maksimum kabupaten dapat kiranya dicegah. Budaya silaturahmi didasarkan pada sikap tak ingkar janji dan sikap sopan santun secara aktif merupakan kunci utama, yang tampaknya sudah banyak berkarat dalam berbagai kalangan masyarakat kita.

Kedua, keterlibatan asosiasional. Dinamika masyarakat madani haruslah diisi dengan jalinan dan kerjasama yang semakin menguat serta meluas dalam berbagai bidang seperti bisnis mulai dari yang bermodal rendah sampai tinggi, organisasi-organisasi profesi, kelompok-kelompok studi, klub baca, organisasi penyelenggara perayaan publik, kelompok olahraga, serikat buruh, partai politik kader, dlsb. Keterlibatan asosiasional ini menjamin keterlibatan keseharian itu berubah menjadi ketahanan sosial yang ampuh dan bertahan jika harus menghadapi hempasan rangkaian kerusuhan massal yang menghebohkan, seperti peristiwa-peristiwa Situbondo 1996, Tasikmalaya 1996, kerusuhan Mei 1998, dan seluruh badai kekerasan sosial pasca pergeseran rejim sampai menjelang 2001, dlsb.

Keterlibatan yang terakhir ini secara konstitutif merupakan prasyarat mutlak bagi dinamika dasar masyarakat madani yang kuat, karena perasaan keagamaan, etnik, kelompok (dan semua ciri askriptif yang lain) itu sendiri memiliki kodrat yang mendua, yaitu bahwa nilai keagamaan dan nilai budaya lokal etnik, misalnya, dapat mendukung tujuan hidup mulia tapi sekaligus dapat digunakan untuk kepentingan yang mematikan. Kebebasan beragama dan kebebasan berasosiasi pun dapat menjadi kedok.

Ciri-ciri askriptif ini menjadikan kelompok-kelompok masyarakat condong secara internal lebih kuat mengobjekkan kelompok lain secara negatif. Dari berbagai pengalaman tampak jelas bahwa kemungkinan negatif ini sungguh lebih besar daripada setidaknya memandang kelompok lain dari sudut pandang kepentingan publik. Bukankah sulit melihat tengkuk sendiri tanpa menggunakan bantuan cermin?

Mengingat ciri kemenduaan agama, adat dan semua pengelompokan masyarakat yang berciri askriptif dari pengelompokan masyarakat mampu menggoyahkan ketahanan masyarakat, maka keterlibatan asosiasional dan keterlibatan silaturahmi sulit dipungkiri merupakan prasyarat paling minimal jika harmoni antarkelompok hendak dikembangkan sebagai tonggak ketahanan masyarakat madani yang sejati.***

No comments: