Monday, February 28, 2005

Setelah Kekerasan Militer yang Menewaskan 14 Petani, 17 November 2004, Pembaruan Agraria Filipina Bakal Mengambang?

Ironi sangat pahit harus ditelan lagi oleh masyarakat Filipina. Sampai Rabu 17/11/2004 ini, sebanyak 14 orang petani dan keluarganya, termasuk 2 anak kecil, telah tewas dilindas tindakan sangat keras tentara di Filipina. Kejadian brutal itu mulai berlangsung Selasa 16/11 di sekitar pintu gerbang masuk perkebunan swasta seluas 6.000 hektar Hacienda Luisita, Provinsi Tarlac, Luzon Utara, milik keluarga mantan presiden Filipina Cory Aquino, yang justru terkenal secara internasional karena semangat anti-kekerasannya.

Gerebeg timah panas yang dilakukan sejumlah 200-300 pasukan anti-hura-hara dari tentara Filipina (AFP) dengan menarik picu senjata api otomatis secara sporadis telah menewaskan di tempat 7 orang petani. Ratusan terluka. Hari berikutnya 7 mayat lain ditemukan, termasuk anak-anak kecil tewas tak bisa bernafas karena konsentrasi gas air mata yang tinggi.

Kejadian kekerasan terhadap petani yang kesekian kalinya ini sekarang mencapai titik yang lebih pahit daripada sekedar ironi. Kita ingat bagaimana negeri tetangga yang dikenal dengan revolusi damai 1986 ini juga sangat tersohor karena program pembaruan agrarianya berada di antara yang paling berhasil di dunia.

Kejadian kekerasan 17 November di Tarlac mengingatkan peristiwa sejenis yang terjadi di jembatan Mendiola di Metro-Manila, 22 Januari 1987, yang menewaskan 13 orang petani, ketika ratusan organisasi tani hendak mendesak masuk ke Istana Malacañang. Setelah kejadian itu proses pengundangan pembaruan agraria tampak berjalan lancar. Tapi para penguasa dan tuan tanah tidak mau menyerahkan begitu saja. Sekalipun UU Pembaruan Agraria (UU PA 1988) telah disahkan, kekuasaan nyata atas tanah tetap berada di tangan segelintir tuan tanah. Demokrasi rakyat telah lama dibajak, demokrasi bossisme meraja.

Banyak pembaharu agraria di dunia mencoba belajar dari program transformasi agraria di Filipina. Filipina berada di urutan ke-5 setelah Cuba, Bolivia, Nicaragua, dan Chile. Menurut data dari bagian perencanaan Departemen Pembaruan Agraria (DAR) yang belum lama ini saya hubungi, Filipina telah mencapai di atas 83% dari target redistribusi tanah. Data ini bisa saja terlalu dipakai untuk membenarkan diri pemerintah.

Tapi, bagaimana pun dengan terulangnya kebrutalan terhadap petani, program itu sekarang sedang diuji ulang oleh para penegaknya sendiri dan masyarakat Filipina umumnya. Banyak pihak mengatakan program pembaruan agraria menyeluruh ini sudah dapat dikatakan gagal. Jika tidak diupayakan resolusi konflik yang memadai, kejadian sejenis sangat mungkin terjadi lagi di masa depan jangka dekat, dengan dampak negatif yang lebih parah, sementara globalisasi pasar neo-liberal terus sangat mempersulit kehidupan ekonomi masyarakat sampai di desa-desa.

Akar konflik
Akar konflik antara para petani dan tuan tanah di Hacienda Luisita sebenarnya mengacu pada kewajiban semua pihak menjalankan pembaruan agraria sebagai bagian dari tuntutan masyarakat pasca jatuhnya rejim otoriter Ferdinand Marcos 1986. Namun, para tuan tanah berusaha menghindarkan diri dari kewajiban itu. Memang cara yang ditempuh oleh para tuan tanah tidaklah sampai mengubah UU PA 1988. Namun, karena prosesnya dapat menjadi sangat fleksibel, prosedur hubungan pembaruan agraria dengan mudah dapat diubah-ubah oleh tuan tanah.

Tentunya, yang diharapkan petani pada umumnya adalah redistribusi dan pemilikan sepenuhnya atas tanah, namun para tuan tanah tak akan merelakan begitu saja. Berbagai macam prosedur dicoba diselenggarakan. Untuk tanah-tanah yang dulu dikuasai oleh mantan president Marcos, sebagian besar sudah dapat diredistribusikan melalui pengalihan-wajib (compulsory acquisition, CA), atau melanjutkan program sejenis yang sudah dimulai Marcos sendiri dengan dekritnya (No.27) yaitu dengan modus operation land transfer, OLT. Namun pada kenyataannya masih banyak areal tanah yang berada di bawah penguasaan para tuan tanah, meskipun mereka tidak memiliki hak sah berdasarkan hukum. Tanah-tanah yang berareal luas inilah yang sekarang menimbulkan kesulitan luar biasa dalam menjalankan kerangka program di bawah legalitas UU PA 1988 (CARP).

Karena masing-masing tuan tanah itu independen, bahkan karena kepintaran, pendidikan dan penguasaan seluk-beluk hukum, politik lokal dan nasional serta perekonomian global, banyak cara diupayakan untuk menghindarkan pelaksanaan UU itu di areal-areal perkebunan yang mereka kuasai. Manajemen hacienda milik keluarga Cojuangco (ayah Cory), misalnya, dikelola atas nama ayah Cory, yaitu José Cojuangco, setelah menantunya Benigno Aquino, si martir demokrasi Filipina itu, tewas tertembak. Manajemen Cojuangco sangat aktif mencari jalan pencegahan pelaksanaan pembaruan agraria yang disahkan oleh Cory sendiri dan malah sangat memanfaatkan kedudukan adiknya yang waktu itu sedang jadi presiden. Menjelang Revolusi Damai 1986, Danding Cojuangco, adik ipar Cory, terpaksa melarikan diri bersamaan dengan Marcos, namun kroni Marcos ini berhasil masuk lagi dan menguasai kembali areal tanah luas di Visayas yang sedianya harus sudah masuk ke dalam program CARP.

Cara mempertahan tanah
Ada dua cara pencegahan yang ditempuh oleh para tuan tanah, yang sebenarnya tak mengandung unsur redistribusi tanah yang substansial. Cara pertama --inilah yang ditempuh Cojuangco dan diikuti tuan-tuan tanah yang lain-- adalah mengajak para buruh tani untuk mempertahankan hubungan kerja yang sama tapi memberikan janji pembagian hasil yang lebih baik untuk para buruh tani. Modus ini disebut stock distribution option (SDO). Kedua, pemindahan pemilikan tanah secara sukarela (voluntary land transfer, VLT), yang sangat dikaitkan dengan kebutuhan pasar global dengan membudidayakan hanya tanaman-tanaman produktif yang laku di pasar global, seperti pisang, ananas, mangga, asparagus (market-led agrarian reform, MLAR). Cara kedua ini didorong habis-habisan ketika Filipina berada di bawah presiden mantan jenderal militer Fidel Ramos. Dalam statistik Departement Pembaruan Agraria, setidaknya tampak jelas lonjakan hasilnya.

Namun, dalam praktik SDO, tuan tanah mengatakan bahwa petani tidak akan bisa mengongkosi biaya produksi karena tak punya uang. Fakta tak punya biaya ini memang diakui oleh para buruh tani. Sementara itu, tuan tanah terus membujuk petani agar lebih baik menerima modus SDO karena petani akan menjadi bagian dari perusahaan perkebunan dan akan mendapatkan bagian yang besar dengan bagi-hasil panen yang lebih baik. Namun, dalam perkembangan selama 15 tahun lebih, keadaan petani tidak membaik, malah memburuk. Pemuka petani mengeluh bahwa pada awalnya mereka memperoleh antara 5 s.d. 6 hari kerja, tapi sekarang 3 s.d. 4 hari saja, malah banyak yang hanya satu hari kerja dalam seminggu. Menurut ketua serikat buruh tani Luisita, rata-rata setiap hari seorang petani dan keluarganya entah bagaimana caranya harus hidup dengan upah sebesar 9,5 peso (~Rp 1.520). Hacienda Luisita, dengan berbagai pengembangan lain seperti jasa komersial, pariwisata, olahraga dan tempat hiburan, mempekerjakan 5.000 lebih buruh tani dan 500 pegawai. Total asetnya mencapai US $28,39 juta, klaim pemasukan bersih per tahun pada Juni 2002 mencapai 14 juta peso (~Rp 2,24 milyar).

Sementara itu, seperti dituduhkan oleh para musuh petani, terutama para tuan tanah, pemerintah pusat dan pihak militer, gerakan petani di kawasan Luzon Tengah ini telah ditunggangi oleh para politisi kiri, bahkan oleh para komunis dalam barisan Partai Komunis Filipina (CCP) atau bahkan gerakan radikal bersenjata (NPA). Dalam sejarah, kawasan ini pernah menjadi daerah kekuasaan para pemberontak Hukbalahap setelah mereka ikut berjuang mengusir pasukan pendudukan Jepang. Tapi pertengahan tahun 1950-an pemerintah Magsaysay sudah melumpuhkannya. Usaha melumpuhkan kelompok bersenjata NPA pun terus dilakukan, termasuk oleh Cory Aquino sendiri.

Saling tuduh
Para anggota Kongres pendukung petani mendesak Malacañang melakukan investigasi resmi atas kekerasan yang terjadi. Tapi President Gloria M. Arroyo menolaknya. Polisi menuduh para petani membawa senjata ketika berdemonstrasi dan memprovokasi tentara dan polisi. Polisi menyatakan ada snipers yang bersembunyi di balik truk-truk pengangkut tebu. Organisasi petani membantah keras karena bukti-bukti senjata yang ditemukan itu bukan milik mereka tapi bisa saja dimiliki oleh para satpam dari hacienda. Cory Aquino di rumahnya merasa cukup dengan memanjatkan doa perdamaian.

Tuduh-menuduh memanas. Senator oposisi mantan jenderal Juan Ponce Enrile mempertanyakan mengapa tentara sampai harus dikirimkan ke perkebunan itu. Sementara itu sekretaris Menteri Tenaga Kerja Filipina Patricia Sto. Tomas membantah bahwa dirinya memerintahkan para tentara di perkebunan untuk menarik picu senjata. Para tuan tanah di Filipina memiliki pasukan bersenjata dan sering menyewa para tentara atau brigade mobil polisi untuk menjaga keamanan hacienda. Di pihak para petani Tarlac, mereka akan mengarak jenazah para korban untuk menghormati para pahlawan perjuangan tanah yang gugur, dan bersumpah tidak akan berhenti mendesak semua pihak. Namun, yang lebih memprihatinkan, Departemen Pembaruan Agraria (DAR) tegas menyatakan tidak memiliki wewenang untuk mencampuri konflik di hacienda Luisita. Keadaan tampak semakin rumit dan dapat menegang lagi.

Di balik aksi tuduh-menuduh yang menandakan rumitnya keadaan hubungan agraria dengan semua anasir sistem politik masyarakat Filipina, kasus kekerasan di hacienda Luisita ini sendiri menyimpan bara yang sulit dipadamkan dalam sistem perundangan yang ada. Keluarga Cojuanco sudah berhasil memaksakan lolosnya modus SDO dalam sebuah momorandum “kesepakatan” (deferment) untuk masa 30 tahun sejak disahkan Mei 1989. Selama itu legalitas dan legitimasi apa pun dari segi pembaruan agraria, sekalipun sudah disahkan oleh negara, sulit digunakan untuk mendesak keluarga kaya itu meredistribusikan tanah-tanahnya.

Karenanya jalan satu-satunya yang diambil oleh para buruh tani Tarlac adalah memanfaatkan saluran hukum perburuhan, seperti diindikasikan oleh modus SDO itu. Namun, jalan ini adalah jalan sangat terjal karena legalitas modus SDO ini telah menundukkan para petani di bawah kerangkéng hukum tuan tanah dan hukum pasar global. Para petani di Tarlac telah kehilangan peluang hukum yang sebenarnya tersedia di bawah UU PA 1988. Namun, sekalipun UU ini dapat dijadikan pijakan politik rakyat, masih tetap harus ditanggapi dengan pandangan kritis dan wawasan demokrasi dari bawah yang harus dibangun selama bertahun-tahun.

Kunci sukses
Dalam pengalaman pembaruan agraria (CARP) selama lebih dari 15 tahun di Filipina, keberhasilan proses redistribusi tanah hanyalah dapat dijamin jika kepastian perundangan pembaruan agraria itu sungguh-sungguh dihidupkan, yaitu bahwa suatu areal tanah memang memiliki legalitas yang dapat diproses oleh para aktor negara dan aktor masyarakat, mulai dari tingkat pusat, provinsi sampai kabupaten/kotamadya, dengan hasil yang sangat bervariasi dan tersebar-sebar.

Di desa Magsalisi, provinsi Nueva Ecija, dibutuhkan rentang waktu 1992-1997, untuk mentransformasikan tanah seluas 12.000 ha; di Candaba, San Luis, Pampanga 1992-1996, 1.000 ha; di perkebunan kepala hacienda Maloles, Sta. Catalina Sur, Candeleria, Quezon, 1992-1997, 6.000 ha. Namun di hacienda Esperanza, Negros Occ., dibutuhkan 13 tahun dengan perjuangan gigih anti-kekerasan dari para petani dan para pendukungnya (1991-2003), 572 ha; di desa Catulin, Buenavista, Quezon, 1996-2002, dengan dampak pembunuhan dua tokoh petani oleh para enkargardos (intel-satpam-tukang pukul) dan komplikasi politik elektoral di tingkat kabupaten serta kerjasama antara tuan tanah dan gerakan ekstrim NPA melawan petani dan pemerintah.

Dalam hal ini, Departemen Pembaruan Agraria Filipina memainkan peranan penting. Namun, tanpa kerjasama dari berbagai kantor pemerintah yang lain di semua tingkat dan lembaga bank tanah (LBP), ditambah dengan desakan militan dari para petani dan koalisi organisasi-organisasi tani beserta aktor-aktor masyarakat, baik yang memiliki cakupan pengaruh nasional maupun para organizers masyarakat petani di lapangan, keberhasilan pembaruan agraria masih akan memakan waktu yang lama. Akankah para petani di Tarlac menunggu sampai 2018 untuk merintis pelaksanaan UU PA 1988 di Filipina ini?

No comments: