Friday, November 12, 2004

“Kerukunan dalam Perbedaan”

Vesti virum facit.


1. Proses duduk berbicara dan berproses bersama
Penyelesaian masalah bentrok-bentrok yang (kemudian) diatasnamakan komunitas beragama atau latar belakang krusial yang lain tidak akan dapat diraih seketika. Dibutuhkan proses yang panjang, tapi juga tak terelakkan perlunya mengambil langkah jangka dekat. Yang paling penting adalah bagaimana membangun kerangka dan suasana para pihak yang berkepentingan selayaknya duduk berbicara dan berproses bersama secara bertahap serta satu sama lain memegang komitmen untuk tetap melanjutkan proses komunikasi terbuka.

2. Pilihan strategi kerukunan dan pembangunan
Dalam hal ini, pilihan strategi yang paling mendasar adalah mengutamakan para pihak yang paling dirugikan dalam praktik hidup sosial politik dalam masyarakat. Pilihan ini menjadi lebih genting lagi tingkat kepentingannya jika diterapkan di daerah-daerah konflik. Kepekaan dan rasa prihatin dari pihak-pihak yang ada di tingkat pusat sangat diharapkan. Berbagai bentuk pengaturan dan perundangan yang sentralistik serta sepihak telah terbukti lebih banyak mempersulit perkembangan dan pembangunan masyarakat yang sesungguhnya. Jika masyarakat tidak merasakan kepekaan minimum yang diharap-kan, masyarakat umumnya "akan jalan sendiri", sekalipun pemerintah "mengatur".

3. Jaminan sukses mengatasi kerawanan sosial
Indonesia telah tergolong sebagai kawasan "potensial konflik" karena krisis berkepanjangan sejak terjadi pergantian rejim 1998. Di daerah-daerah potensi itu malah telah meledak. Fakta berbagai bentrok berdarah dan kehancuran sosial itu, apa pun latarbelakangnya, selayaknya membuka pilihan strategi penyelesaian konflik dan pembangunan masyarakat menuju preferensi dasar kinerja para pihak yang berkepentingan dengan pendekatan “dari bawah”, berwawasan dari para pihak yang paling dirugikan. Kehancuran masyarakat di kawasan-kawasan konflik sudah membuka mata hati siapa saja untuk tidak perlu meragukan pilihan strategi ini, karena pendekatan ini sudah sampai pada tingkat “tidak terelakkan“.

4. Prasyarat dasar hidup bersama dalam perbedaan dalam masyarakat
Perbedaan apa pun bentuknya, entah agama, etnik, pilihan politik, warna kulit, jenis kelamin, dsb. adalah fakta yang tak terbantahkan di mana pun manusia berada dan hidup. Perbedaan menjadi masalah sosial dan politik, bahkan (mendorong terjadinya) bentrok-bentrok berdarah, jika kondisi yang memungkinkan perbedaan itu difahami bersama sebagai fakta sosial yang normal dan wajar tidak diselenggarakan bersama secara memadai. Pengalaman konflik berdarah berdasarkan agama dan etnik di Indonesia telah membuktikannya. Setidaknya terdapat beberapa pokok yang menjadi prasyarat/kondisi/jamin-an yang dibutuhkan manusia yang berbeda-beda untuk dapat hidup bersama secara aktif.

a) Prakondisi kerukunan:
Pendidikan dasar yang berorientasi pada kemandirian pribadi dan akal budi manusia bersama dengan komunitas-komunitasnya; pendidikan agama mendorong pada pencapai-an prasyarat ini.
Kekuatan-kekuatan anti-kerukunan:
Kebodohan sebagai akibat dari proses marginalisasi masyarakat secara sistematis dalam jangka waktu yang lama

b) Prakondisi kerukunan:
Komunikasi terbuka di antara para pihak dalam masyarakat yang dikembangkan secara kelembagaan dalam lingkup sosial dan politik
Kekuatan-kekuatan anti-kerukunan:
Korupsi, instabilitas keamanan, kepemim-inan yang lemah, konflik antarelit politik-militer, birokrasi sebagai tangan implementasi ideologis; over-politisasi agama

c) Prakondisi kerukunan:
Penyelenggaraan hidup sosial dan ekonomi yang adil; program-program ekonomi yang konkret
Kekuatan-kekuatan anti-kerukunan:
Senjang sosial ekonomi, kemiskinan, masalah ekonomi makro

d) Prakondisi kerukunan:
Perlindungan bagi hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial dan budaya dari semua individu dalam masyarakat
Kekuatan-kekuatan anti-kerukunan:
Diskriminasi sosial, agama, etnik, ras


5. “Mewaspadai perbeda-an”
Jika prasyarat-prasyarat dasar ini dipenuhi, tidak akan condong muncul kekhawatiran dari siapa pun sehingga perlu “mewaspadai” perbedaan. “Mewaspadai perbedaan” justru menjadi suatu ungkapan yang kontradiksi pada dirinya sendiri. Warga masyarakat yang terlalu mendahulukan “sikap waspada” akan mengerdilkan dirinya sendiri. Sebab, perbedaan bukanlah pertama-tama harus diwaspadai, tapi selayaknya diterima dan dikembangkan secara memadai dalam lingkup hidup sosial, hukum, dan politik yang mengembangkan pribadi masing-masing warga masyarakat. Perbedaan tidak cukup hanya diakui, tapi perlu diamini, disyukuri, dikembangkan menjadi identitas (pribadi & komunitas) yang sifatnya terbuka. Karenanya, perbedaan dan kekhawatiran (terutama pada tingkat komunitas) sangat perlu dikomunikasikan, dibicarakan, dijadikan ajang pendidikan pribadi dan masyarakat secara terbuka. Sejauh komunikasi sosial yang memadai dapat dikembangkan, kekhawatiran terhadap kerawanan sosial dan politik dapat dilerai, ancaman dapat ditangkal dan diubah menjadi tantangan bersama.

6. Tujuan hidup rukun, saling pengertian, saling menghormati
Komponen-komponen masyarakat yang berbeda-beda, tapi hidup dengan rukun, saling pengertian dan saling menghormati adalah tujuan dan sasaran umum dari cita-cita masyarakat itu secara bersama-sama. Tujuan mulia ini bukanlah ada pada dirinya sendiri dari manusia dan masyarakat manusia yang berbeda-beda tersebut. Tujuan mulia yang jadi usang karena terlalu sering dipakai, sementara dalam kenyataan jadi sangat rentan, hanya dapat dicapai dengan cara menjalani proses bersama. Memperluas pilihan-pilihan berbasis komunitas bersama di luar jalur dan ruang resmi yang sudah buntu perlu terus dicari dan diupayakan. Peluang-peluang yang ada tidaklah sesempit seperti kebanyakan orang mencemaskannya. Dalam hal ini, kebersamaan, komunikasi, deliberasi dan negosiasi menjadi prioritas dalam menempuh proses mencapai tujuan tersebut. Ketika proses tersebut dipatahkan melulu demi “tujuan”, atau “tujuan” tersebut belum teruji dalam dan oleh proses, maka kesalingan dan perbedaan dalam proses tidak mendapatkan jaminan keberadaannya. Ancaman kerawanan sosial timbul.

7. Program-program bersama yang terasa dampaknya secara langsung
Agama-agama dan iman yang dihayati memiliki paradoks yang sifatnya membantu tapi juga dapat mengganggu. Dalam upaya menuju tujuan berproses hidup rukun dalam perbedaan, paradoks ini perlu diangkat menjadi tantangan yang mendorong para pihak dalam masyarakat menemukan rentang pilihan kegiatan “kebersamaan” (common ground) yang sifatnya konkret, terasa dampak positifnya secara langsung (tangible), tidak hanya sekedar bermakna simbolik, namun sekaligus juga mengangkat harkat kemanusiaan dan kedamaian batin yang mendalam. Hanya dengan sikap mendasar dalam menghayati iman secara mendalam para pihak yang berbeda-beda mampu terus mencari dan menemukan titik temu. Secara mendasar “agama” tidaklah hanya yang mengacu pada yang resmi (diakui), tapi juga penghayatan nilai-nilai kemanusiaan secara universal, tak peduli apa pun keyakinan mereka. Pada gilirannya, berbagai mitos yang menyesatkan, dalam ruang sosial keagamaan dan politik, seperti dikotomi mayoritas-minoritas, perbedaan sebagai ancaman, kebodohan dan ketertutupan karena salah didik, dsb. dapat diatasi oleh para pihak itu sendiri dalam proses sosial secara bersama-sama.

7. Pemerintah yang kompeten
Masyarakat berhak memiliki dan menentukan pemerintah yang kompeten, artinya memiliki kemampuan (setidaknya mampu/mau terus belajar dari pengalaman) untuk melayani masyarakat secara memadai. Kecondongan untuk “mengatur” tanpa menghiraukan apa kepentingan dasar hidup dalam perbedaan justru akan memundurkan kemampuan masyarakat untuk menangani masalah-masalah yang tidak dapat dijangkau oleh pemerintah. Pemerintah dituntut untuk menjadi “fasilitator”, artinya memudah hidup masyarakat, bukan “imperator” yang memerintah secara sepihak. Pemerintah dituntut tidak hanya untuk memahami aspirasi dasar masyarakat seumumnya, tapi juga berkompeten mewujudkan saluran-saluran aspirasi masyarakat secara terbuka. Proses-proses deliberasi bersama dengan para pihak (tidak hanya melalui sistem politik yang diakui, tapi juga yang tak terjangkau oleh sistem namun nyata ada dan hidup dalam masyarakat) selayaknya lebih diutamakan dan lebih dikembangkan.***

No comments: