Friday, November 12, 2004

Surat Undangan dari Seorang Sahabat ...












Seperti orang sering bertanya, saya pastikan: "This is a true story."

"Pertobatan" Rekan Saya, Abu Bakar Riry, Seorang Kapitan Perang dari Ambon ..

Setelah didesak oleh teman-teman saya di tim gabungan Muslim dan Kristen yang sebelumnya sudah berproses dalam usaha “rekonsiliasi”, meskipun agak ragu-ragu pada awalnya, saya bersedia ikut pertemuan “rekonsiliasi” yang diselenggarakan, oleh karena mereka menjanjikan kepada saya peluang untuk mengungkapkan pendapat saya. Ini penting sekali, karena itulah kesempatan buat saya bisa menyatakan uneg-uneg saya yang sangat mengganjal dalam diri saya.

Saya bayangkan betapa senang jika saya bisa berbicara tentang sesuatu yang mengganjal kepada pihak yang ingin saya tuju secara langsung, dengan harapan mendapat tanggapan dan peluang untuk membahasnya. Di Maluku, semasa konflik berkecamuk, berbicara adalah suatu hal yang mahal harganya. Hampir-hampir tidak ada peluang untuk berbicara secara jujur dan secara berarti, pada tempatnya dan mencapai sasaran. Kata-kata sudah jadi sedemikian luntur dan tak bermakna. Selama kekacauan berlangsung di Maluku, semua anggota masyarakat sudah dipaksa ikut mau tak mau terlibat dalam seluruh kekacauan, yang diwarnai dengan kekerasan.

Kekerasan demi kekerasan membuat komunikasi bebas dalam masyarakat semakin lama semakin tidak mungkin dilakukan. Itu terlalu mewah. Tekanan represif dari para penanggung jawab kekerasan, dengan alasan mengamankan, sudah berubah menjadi satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah di Maluku. Padahal cara-cara seperti itu sama sekali keliru, karena menutup kemungkinan berbicara dan membahas masalah secara benar dan terpadu. Ketika orang takut berbicara, dan tidak asal bunyi, maka semuanya jadi buntu. Jalan penyelesaian yang asli tidak mungkin dicapai. Bagaimana pun partisipasi masyarakat adalah syarat utama untuk menyelesaikan masalah. Kami semua ini harus diajak ikut serta dalam seluruh proses. Tentu tidak semua orang bisa ikut. Tapi yang seharusnya ikut karena peranan mereka haruslah diikutsertakan dan didengar pendapatnya, sehingga kemungkinan kebuntuan komunikasi bisa jadi terlerai.

Kami tidak khawatir dengan perbedaan, dengan syak wasangka, dengan kecurigaan. Itu adalah keniscayaan yang justru selayaknya diterima, disyukuri dan karena harus diolah bersama. Tapi, selama masa kekacauan Maluku ini, kami sudah tenggelam dalam kebuntuan ketika prasarana minimal untuk mengungkapkan semua itu sudah dilindas oleh sebuah mesin penggilas yang tak kenal ampun: kekerasan dan rejim yang mendukungnya.

Tak jarang saya rasakan di Maluku, semua orang sudah berada dalam keadaan buntu dan tak mampu melihat jalan keluar, karena memang semua itu tidak dimungkinkan. Mundur tak bisa, maju pun tak tahu mau ke mana dengan pasti. Bukan karena takut, tapi karena semuanya sudah dibuat sedemikian rupa sehingga kami jadi tampak tak mampu berbuat apa-apa. Padahal bukankah masalah-masalah kami adalah masalah kami sendiri. Ketika saya tidak bisa membicarakan masalah kami sendiri atau masalah saya sendiri, terus apa yang dapat saya harapkan dari situasi buntu yang dipenuhi dengan kemarahan di lingkungan sekitar saya berada dan menghirup udara?


***

Harapan itulah yang membuat saya ingin ikut upaya rekonsiliasi yang kemudian dijuluki sebagai “BakuBae”. Undangan kepada saya disampaikan Oktober 2000 pada saat keadaan konflik di Maluku masih sedang genting. Peristiwa bentrok kekerasan di Kampung Ponegoro dan Fardes di jalan Antoni Rebok, keduanya di kota Ambon, baru saja terjadi. Ratusan nyawa melayang sia-sia, baik Muslim maupun Kristen. Keponakan saya sendiri tertembak dan tewas dalam peristiwa kekerasan Fardes. Saya dalam keadaan marah. Waktu itu saya masih dipercaya menjadi kepala pasukan “Huamoal” dari desa Luhu, Seram, yang sedang bertugas memperkuat pertahanan masyarakat Muslim di kota Ambon yang terus terdesak. Konflik dan bentrok masih saja berkecamuk di sana-sini.

Menanggapi undangannya, saya katakan pada Abdullah Ely, “Tidak bisa! Kondisi masih kacau begini, kalian undang saya untuk berdamai? Apa maksudnya?” Serta merta sebenarnya saya spontan menolak. Dalam situasi kacau itu, undangan rekonsi-liasi tadi terasa omong kosong saja. Mana mungkin orang diajak berdamai, jika keadaan masih sangat tertutup, komunikasi macet, masing-masing pihak hanya berpikir bagaimana menyerang dan memperta-hankan diri. Kata “damai” atau istilah sopannya “rekonsiliasi” jadi langsung terasa “mengandung tipuan”. Bagaimana orang bisa percaya? Saya tidak percaya. Ratusan orang terbunuh di depan mata kepala saya sendiri, dan saya sendiri pun harus mempertahankan diri, ketika serangan itu datang tiba-tiba. Setidaknya, jika kata-kata saya tidak dipercaya, saya sangat meragukan kegunaan pertemuan untuk melerai pertikaian dan selisih pandang di Maluku yang sudah menelan darah dan nyawa orang-orang yang saya cintai.
Tapi Abdullah Ely tampak tak putus asa. “Bagaimana pun kamu harus ikut,” katanya kepada saya, mendesak lagi, sambil menegaskan pentingnya pertemuan itu karena saya adalah kepala pasukan Huamoal. Justru alasannya itu menambah keraguan saya. Memang saya tidak sampai mencurigainya menjadi pengkhianat, karena memang kami pernah lama bekerja sama di organisasi mahasiswa. Tapi, tanggung jawab yang diberikan kepada saya sebagai kepala pasukan membuat saya semakin mengeras dalam posisi tidak percaya.

Ely berusaha mencari alasan lain dan membujuk saya lagi. Dia katakan saya adalah kepala pasukan “yang paling terpelajar” dan karenanya harus ikut serta. Tapi saya hanya tertawa, merasa itu alasan aneh. Konflik di Maluku sudah jadi semacam “konflik semesta”. Semua orang terlibat dan dipaksa jadi terlibat, tak peduli terpelajar atau tidak terpelajar. Guru, dosen, sampai profesor di perguruan tinggi tersohor di Maluku pun sulit membantah dirinya “terlibat”. Kalau tak mau disebut “terlibat”, setidaknya sulit ambil sikap untuk menyatakan tanggung jawab sosialnya, berbalikan dengan tingginya dan martabat jabatan dan profesi mereka.

Tapi terus-terang ikut kegiatan yang agak bergengsi, mendekat-dekat dengan persoalan luas masyarakat di Maluku, sebagai bagian dari negeri yang sangat luas Indonesia yang kini sedang dilanda krisis ini, membawa daya tarik juga. Apalagi kegiatan itu akan dilaksanakan di Bali dan mengangkat topik yang mengarah pada penyelesaian Maluku. Karenanya saya pikir, ya kenapa tidak dicoba dulu. Barangkali ada hasilnya. Kalau tidak menghasilkan apa-apa, ya setidaknya saya pikir saya sudah ikut menyumbangkan sesuatu.

Saya sendiri masih bimbang kalau sekedar hanya ikut-ikutan “menyumbangkan sesuatu”, hanya karena yang lain juga melakukan hal yang sama. Jangan-jangan tak ada bedanya dengan peribahasa “membuang garam ke laut”, suatu usaha yang tidak ada hasilnya sama sekali. Lalu untuk apa? Bukankah sudah banyak upaya yang disebut-sebut sebagai “rekonsiliasi” itu. Masyarakat Maluku sudah jadi semakin tak percaya dengan usaha-usaha semacam itu yang buntutnya malah hanya memperpahit kekacauan yang sudah getir bagi kami ini.

Setelah kerusuhan pertama sudah dibentuk tim rekonsiliasi di antara para pemuka agama dan masyarakat. Pihak Muslim, Kristen Protestan dan Kristen Katolik, datang bersama-sama, sudah diminta untuk mengkhotbahi umat baik di masjid maupun di gereja. Tokoh masyarakat Muslim Yusuf Ely, pendeta Semmy Titaley, uskup PC Mandagi sudah bergerak dari satu masjid ke gereja lainnya untuk mendesak agar menghentikan kegiatan serang-menyerang. Tapi toh sia-sia. Masyarakat Maluku sudah tidak mau dikhotbahi dengan cara sepihak seperti itu. Itu cara-cara yang jelas sudah tak berguna. Lalu “rekonsiliasi” apa pula yang ditawari sobatku Abdullah ini?

Lain kali ada usaha dari pihak pemerintah daerah provinsi Maluku. Perdamaian Masyarakat Maluku oleh Pemda Maluku yang dihadiri oleh Panglima TNI Wiranto. Di situ sekali lagi hadir tokoh-tokoh agama, kepala desa, kepala pemuda, wakil kelompok etnis Buton, Bugis, Makassar, Toraja, Batak, Jawa, dll. Para wakil diandaikan mewakili “semua unsur masyarakat”. Tentu maksudnya adalah sudah sekalian ditanggung pasti pertikaian dan bentrok yang mengikutinya dapat berhenti. Wah pokoknya tampak seru. Lalu tanpa ada proses deliberasi yang mendalam dan jujur serta terbuka, mereka diminta alias dipaksa menandatangani “surat perdamaian” di hadapan sang jenderal Panglima Tentara Indonesia tadi. Yah, jelas mereka takut untuk tidak menandatangani-nya, kalau kita andaikan ada yang tak setuju. Jendral bintang empat turun membuat para penandatangan tak bisa menolak. Penandatanganan dilakukan di lapangan Merdeka, Ambon, sementara masyarakat menonton kegiatan di lapangan, para wakil di panggung menandatangani surat perdamaian yang kosong.

Kali lain ada kejadian yang lebih lucu lagi. Obor Perdamaian. Kenapa lucu? Karena aslinya kegiatan ini adalah kampanye pro-pemerintah Orde Baru dengan tokoh pahlawan mereka Pattimura alias Thomas Matulessy. Sebuah estafet obor dari desa ke desa. Lalu demi usaha “perdamaian” yang masih diragukan itu, mereka menempelkan begitu saja kata “Perdamaian” ganti “Pattimura”. Tentu sebenarnya kasihan nama Pattimura, diganti begitu saja seenaknya. Pattimura sendiri sebenarnya bukan tokoh perdamaian tapi tokoh perang kemerdekaan. Parang salawaku bukanlah simbol penghentian kekerasan, bentrok dan serang-menyerang. Usaha ini dilaksanakan oleh Pemda Provinsi. Ini gagasan janggal dengan membawa oper-mengoper sebuah obor kepahlawanan dilakukan oleh masing-masing pemuda, berlari, dari menyerahkannya kepada para pemuda desa lain yang telah menunggu. Obor dioper-oper dari pulau Saparua, menyeberang selat menuju ke Tulehu di pulau Ambon melewati desa-desa Suli, Passo, Lateri, Halong, Galala, Tantui, Batumerah dan akhirnya Mardika. Tapi, dasar semangat pemuda di tengah kekacauan, tak mampu membendung semangat yang masih diwarnai pertikaian tak terlerai, membuat suasana serah-menyerah obor antara Batumerah dan Mardika tak terkendali dan pecah bentrok bersenjata.

Ketiga jenis “usaha rekonsiliasi” ini membuat saya tak percaya. Karena toh nanti akan sia-sia. Jadi saya tanyakan sekali lagi pada sobat saya yang terhormat Abdullah. “Lalu yang ikut kegiatan itu siapa siapa saja?” Abdullah menjawab bahwa pertemuan yang sedang dia tawarkan ini berbeda dari contoh-contoh tadi. Yang sudah-sudah dilakukan oleh para elit dan dengan cara yang keliru, menganggap masyarakat bodoh dan tidak mengikutsertakan mereka di dalam proses secara sungguh-sungguh, katanya lagi.

Yang ditawarkannya berbeda karena yang diundang ternyata bukanlah orang-orang elit yang diperdaya oleh elit lainnya lagi dari Jakarta. Jenis-jenis ang diundang adalah kepala desa adat, tokoh agama, kepala pemuda, pimpinan perang, koordinator pengungsi, mahasiswa dan kalangan lembaga swadaya masyarakat. Satu unsur yang sama dengan model-model sebelumnya adalah hadirnya tokoh agama. Memang kerusuhan Maluku sudah sedemikian ditempeli dengan cap agama. Tokoh-tokoh agama berada dalam posisi sulit. Karena kecuali “dipakai”, mereka juga “digunakan”. Hadirnya kalangan-kalangan yang selama ini tak diperhitungkan membuat saya berpikir ulang. Ini pendekatan yang berbeda. Memang. Barangkali ada sesuatu yang baru dari jenis pertemuan yang satu ini. Maka saya merasa tampaknya ada sesuatu yang bisa diharapkan lebih daripada yang sudah-sudah.

Ada beberapa jenis unsur masyarakat yang langsung berhubungan dengan saya. Di antaranya termasuk yang diajak ikut serta adalah kepala desa, kepala adat, kepala pemuda, dan tokoh agama. Pertama, kepala desa, dialah yang bertanggung-jawab atas pengiriman pasukan yang dia percayakan pada saya. Kedua, kepala adat, dialah yang memberikan pengesahan atas pengangkatan saya sebagai kepala pasukan dan atas pembentukan pasukan secara adat. Desa kami masih menganut kepercayaan yang mengacu pada warisan leluhur berupa kerajaan Huamual yang dulu pernah dihancurkan oleh para pedagang bersenjata Portugis di abad XVI. Kendati sudah pernah dihancurkan, tapi semangat adat ini masih tetap bertahan sampai sekarang. Ketiga, kepala pemuda karena dialah yang memberikan dukungan moral kepada kepala pasukan. Keempat, tokoh agama, karena dia membaca doa keselamatan pada acara pengangkatan saya sebagai kepala pasukan. Tugas yang diperintahkan kepada saya atas pengesahan adat itu jelas sekali: memimpin pasukan, dia jadi komandan, yang memberi perintah untuk penyerang atau bertahan. Di bawah tangan dan perintah saya adalah 165 orang yang terdiri dari para pendaftar atas pemberitahuan di mana dinyatakan keniscayaan moral membela saudara-saudara sesama beragama Islam yang sedang terdesak di kota Ambon.

Lebih dari itu, keempat orang tadi telah berembug bersama menentukan penentuan diri saya sebagai kepala pasukan. Dalam kaitan dengan akutnya kekacauan Maluku, keempat peran masyarakat adat itu menjadi begitu penting. Kegentingan kekacauan mengisyaratkan kepada mereka untuk bersiaga tingkat paling nol, tidak hanya siaga satu. Secara khusus tokoh agama, yang dalam hal perpolitikan di Indonesia ini selalu jadi bulan-bulanan dan bersikap ganda, juga terus dihantui dan menghantui diri mereka sendiri dengan lukisan imajiner bahwa “selama ini agama kita diserang, maka kita harus membela agama, bukankah kerusuhan ini diatasnamakan agama ..” Agama sudah jauh sekali dipereteli, dibikin tak berdaya, dan masyarakat adat pun dipaksa ikut terseret ke dalam kekerasan dan kekelaman, darah dan anti-kemanusiaan.

Sedangkan kepala pemuda juga memberikan dukungan moral kepada saya. Dukungan itu penting untuk saya. Saya merasa sedang berhadapan dengan pembelaan dan pertahanan diri karena solidaritas dan martabat yang terjepit. Terdengar, dikabarkan dan saya rasakan betapa selama empat bulan sejak awal kerusuhan Januari 1999 sampai April 1999, warga Muslim dijadikan objek kekerasan. Bulan Juli 1999 gelombang bentrok berulang. Sementara pendapat yang bergentayangan di udara Maluku dipenuhi dengan pengutuban frontal antara Islam dan Kristen. Penciptaan pendapat ini adalah sesuatu yang kemudian saya sadari sudah sampai pada batas yang tak masuk akal. Tapi waktu itu, saya rasakan solidaritas sesama warga beragama Islam tidak mungkin lagi diam saja. Tawaran dan penunjukan menjadi kepala pasukan bagi saya menjadi suatu keniscayaan yang tak perlu dipertanyakan.

Abdullah juga mengatakan pada saya bahwa yang akan hadir dalam perte--muan itu adalah para koordinator pengungsi. Saya merasa bahwa kehadiran mereka untuk berbicara sangatlah penting. Selama ini mereka adalah orang-orang yang tertimpa langsung dampak dan kerugian dari kekacauan dan ambur adul zonder hukum di Maluku, ketika masyarakat dan manusianya sudah tak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah. Para pengungsi itu adalah orang-orang yang tergusur, banyak anggota keluarganya tewas dalam bentrok dan serang-menyerang. Habis harta bendanya. Rumah dan isinya dibakar ludes. Mereka hanya bisa membawa sedikit perlengkapan super penting pergi meninggalkan tempat tinggal asalnya. Keadaan ini dialami oleh kedua belah pihak, baik Muslim maupun Kristen. Mereka menjadi manusia-manusia yang terlunta-lunta bahkan di negeri-negeri dan tanah mereka sendiri.

Tapi mereka pulalah orang-orang yang dipenuhi dengan dendam sekaligus orang-orang yang hilang akal mau berbuat apa ketika semuanya terjungkir balik. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kemendesakan keperluan untuk diberi penjelasan efektif yang meyakinkan tentang apa yang terjadi dalam perspektif penghormatan terhadap hidup mereka sendiri. Banyak pertanyaan yang tak sampai sungguh jadi pertanyaan dalam benak mereka ketika mereka mati sia-sia karena semangat dendam yang mereka rasakan harus disalurkan.

Memang, tak ada orang yang dapat memahami sesehat-sehat dan sekuat-kuat kesadaran siapa pun yang pernah merasa dirinya jadi manusia, ketika mereka perlu bertanya mengapa mereka sampai terusir dari rumah dan kampung mereka. Orang tak tahu apa persoalannya dan duduk perkaranya, tahu-tahu sudah harus dipaksa tinggal di barak pengungsian. Tentu belakangan mereka terpaksa menyadari bahwa mereka tidak dapat menerima, sekaligus tidak puas dan marah atas kerugian yang mereka rasakan dan mereka alami.

Mereka merasa perlu “sekedar” membalas dan melampiaskan dengan tindakan yang setidaknya sama nilainya dengan yang mereka alami, baik harta maupun nyawa. Darah ganti darah. Nyawa ganti nyawa. Dan rumah ganti rumah. Apa yang dapat dikatakan? Kesia-siaan. Itulah. Akankah kita membiarkan mereka terjungkal tenggelam dalam kekelaman. Ini harus dihentikan, kalau orang masih punya akal sehat. Sementara jumlah mereka mencapai ratusan ribu, di tengah-tengah keseimbangan kependudukan Maluku yang sangat sedikit. Hanya tiga juta! Satu juta di kawasan kesatuan etnis Ambon-Lease. Seluruh timbangan demografi Maluku sudah bergeser, kaki jadi kepala dan kepala jadi kaki.

Menyadari semuanya ini, sobat saya Abdullah sendiri menyadari sepenuhnya kebuntuan yang kami hadapi bersama-sama menyangkut keadaan di Maluku. Karenanya dia juga cepat bisa menangkap apa yang bisa jadi menarik untuk saya. “Nanti di sana ose bisa mengungkapkan apa yang mengganjal di hatimu,” katanya melanjutkan usahanya menjanjikan apa yang bisa diperoleh dari pertemuan itu. Butir inilah yang masih menarik untuk saya. Begitu banyak hal yang ingin saya ungkapkan. Dan memang saya akui, saya sendiri punya banyak ganjalan dan pengalaman lembar hitam selama kerusuhan, sehingga memang selayaknya merasa harus secara terbuka menyatakan uneg-uneg kepada pihak-pihak yang saya bayangkan bersangkutan agar dapat dibicarakan untuk dicarikan jalan keluar. Insya`allah, itu ada. Waktu itu saya berharap bahwa dengan penentuan pihak-pihak yang benar-benar “tidak hanya bersifat representatif”, tapi sekaligus juga mempertimbangkan kepentingan mereka yang paling menderita, akan memberikan langkah-langkah awal untuk memenuhi apa yang dirindukan oleh para korban. Mereka meminta dan mendesak agar semuanya didudukkan pada tempatnya dengan akal sehat dan sikap bertanggung jawab. Itulah harapan saya waktu itu ketika diajak ikut serta dalam proses bicara dari hati ke hati yang kemudian disebut dengan “BakuBae”.***

Klik juga yang berikut ini:

MEDIA INDONESIA
http://www.thejakartapost.com/yesterdaydetail.asp?fileid=20020601.C03
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0109/08/nasional/perl08.htm
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2002/04/29/brk,20020429-35,id.html
http://www.media-indonesia.com/beritakhusus.asp?Id=502&cat=&IdBerita=&Judul=&Type=&LNav=RA
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0205/08/sh05.html
http://www.indomedia.com/bernas/052002/01/UTAMA/01uta3.htm

SURAT KABAR INTERNATIONAL
http://krant.telegraaf.nl/krant/vandaag/teksten/bui.molukken.leger.geweld.html

WEBSITE NGO
http://www.infid.be/sno171-040513.html
http://www.religionandpolicy.org/show.php?p=1.1.1147

INTERNATIONAL WEBNEWS
http://www.insideindonesia.org/edit82/edit82_p15.html

JARINGAN TRANSKONFLIK INTERNASIONAL
http://www.transnational.org/forum/meet/2002/SathaAnand_Conflict.html

WEBSITE KEAGAMAAN INTERNASIONAL
http://www.asianews.it/view_p.php?l=it&art=757

1 comment:

Anonymous said...

Ya, mungkin karena itu